“Maaf.” Satu kata yang tak pernah sempat Tristan ucapkan pada Bela itu akhirnya terucap.
Dan tentu saja membuat Bela terhenyak kaget. Tujuh tahun ia menunggu Tristan meminta maaf padanya atas pengkhianatan yang pernah dilakukan oleh pria itu. Tujuh tahun tanpa kabar dari Tristan karena pria itu lebih memilih kabur ke luar negeri dengan alasan melanjutkan kuliah.
Setelah tujuh tahun, setelah Bela menyerah menunggu Tristan, setelah penantian itu berubah menjadi rasa benci di hatinya, akhirnya kata itu terucapkan.
“Maaf?” ulang Bela sinis. “Setelah bertahun-tahun, kamu baru minta maaf sekarang?”
Kepala Tristan jatuh tertunduk. “Aku tahu ini udah sangat terlambat. Tapi aku ingin egois kali ini aja dan berharap kamu mau memberi kesempatan buatku membuktikan kalau aku benar-benar menyesal.”
Bela mendengus, mencemooh. “Egois kali ini aja? Tristan, kamu selalu egois!” Suaranya meninggi di akhir kalimat, cerminan dari emosinya yang bergulung-gulung di dadanya.
“Aku tahu.” Tristan mendesah pelan, menyerah. Ia sudah membuka mulut, namun Bela lebih dulu meledakkan kekesalannya.
“Butuh lebih dari tujuh tahun buat kamu minta maaf? Dulu, aku kasih kamu waktu berbulan-bulan buat jelasin ke aku apa yang salah dengan hubungan kita sampai kamu harus selingkuh. Aku berusaha sabar, aku berusaha introspeksi diri mungkin aku juga ada salah. Tapi kamu terus menghindar, kamu mau hubungan kita berlanjut tapi kamu nggak mau menyelesaikan masalah sebelumnya! Kamu pikir aku bisa nerima kamu lagi setelah kamu mengkhianatiku?!”
Dada Bela bergerak naik turun dengan cepat, bergemuruh oleh emosi yang sudah bertahun-tahun ia pendam. Yang baru ia sadari, ternyata tersimpan rapih di sudut hatinya.
Tristan kehabisan kata-kata. Hatinya ngilu melihat Bela menatapnya penuh luka. Ia ingin meraih Bela dan memeluknya erat. Tapi tangannya hanya bisa berhenti di tengah jalan karena Bela kembali menumpahkan seluruh emosinya.
“Kamu nggak tahu sebesar apa perasaanku sama kamu, Tris. Tapi kamu ….” Suara Bela tercekat di kerongkongan, matanya memerah menahan tangis. “Seandainya kamu mau minta maaf saat itu dan mengakui kesalahan kamu ….”
Hening. Hanya suara isak tangis Bela yang tak mampu lagi ditahan. Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, terlalu sakit, terlalu menyedihkan. Setelah sekian lama, Bela tak ingin terlihat masih mengharapkan Tristan.
Namun, apa yang Tristan lakukan kemudian membuat Bela tercengang.
Tristan berlutut di samping ranjang, kedua tangannya menggenggam tangan Bela, keningnya bersandar di lutut Bela.
“Maaf, maaf, maaf.” Pria itu terus menggumamkan satu kata itu seperti mantra. “Maaf, Bel, maaf.”
“Kenapa baru sekarang, Tristan?” Bela terisak, kalimat itu keluar secara spontan. Ia pun tertunduk, tangannya membalas genggaman Tristan erat.
“Maaf. Aku bodoh dan terlalu naif. Aku nggak mau terlihat menyedihkan dengan mengakui kesalahanku. Aku ….” Tristan memindahkan tangannya, kini merengkuh pinggang Bela dan membenamkan wajahnya di perut sang wanita. “Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”
Kalimat itu seperti bom yang meledak di tengah ruang rawat inap yang sunyi. Bela seperti tersadar dari nostalgia kandasnya hubungan mereka. Ia mendorong Tristan menjauh, membuat pria itu terkejut.
“Apa maksud kamu nggak mau kehilangan aku lagi?” tanya Bela dengan tatapan seperti melihat hantu. Seolah kalimat Tristan seperti momok menakutkan yang membuatnya bergidik ngeri.
Tapi Tristan sudah terlanjur membuka diri, menanggalkan sikap dingin yang biasanya ia tunjukkan pada orang-orang. Maka ia kembali merangsek maju, menggenggam tangan Bela meski sempat ditepis.
“Aku nggak tahu apa yang merasukiku dulu, Bel. Tapi percayalah, cuma kamu yang aku cintai.” Tristan berkata pelan, menatap Bela lurus-lurus.
“Jadi … kenapa dulu kamu selingkuh?” tanya Bela lagi.
Tristan menelan ludah, menyiapkan diri untuk mengakui hal yang sejak dulu ia hindari.
Ia tetap berlutut di sana, dagunya bersandar di lutut Bela, kedua tangannya tak mau melepaskan tangan Bela sama sekali.
“Dia … anak kolega papaku. Dia baru pulang dari Inggris dan karena dulu kami teman masa kecil, jadi papa memintaku buat nemenin dia keliling Jakarta. Awalnya cuma makan siang biasa, jadi aku pikir nggak perlu ngasih tahu kamu. Tapi kemudian, satu makan siang itu berubah jadi makan malam dan berakhir jadi sering pergi ke pesta bareng.”
Bela mendengarkan dengan seksama, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tak lagi memiliki hati untuk pria ini. Tapi nyatanya, saat cerita itu mengalir dari bibir Tristan, luka lama itu kembali terbuka.
“Aku bingung harus mulai dari mana menjelaskan ke kamu soal kami, bahwa kami nggak ada hubungan spesial sama sekali. Sebelum aku sempat menemukan cara terbaik buat bilang ke kamu, kamu sudah memergokiku jalan sama dia di mall. Dan bodohnya aku, aku terlanjur kesal karena kamu menuduhku selingkuh.”
Hening sesaat. Tristan hanya menatap Bela lekat, melihat reaksi sang wanita.
“Aku nggak pernah mencintai siapapun selain kamu, Bela,” lanjut Tristan lirih, suaranya terdengar rapuh tapi tulus.
Bela menelan ludah, menyingkirkan rasa tercekat di kerongkongannya akibat pengakuan Tristan barusan.
Tiba-tiba sebuah senyum tipis mengambang di bibir Tristan. Tatapannya turun ke perut Bela, satu tangannya bergerak hendak mengusapnya.
“Dan sepertinya, Tuhan tahu betul aku masih mencintaimu. Karena itu kita ditakdirkan menjadi orang tua dari anak ini.”
“Dhea.” Suara Bela yang dingin menusuk tiba-tiba memecah sunyi di antara mereka.
Gerakan tangan Tristan terhenti, ia mendongak dan mendapati ekspresi Bela sudah sedingin kutub utara. Bagaimana Bela mengenal Dhea?
Bela tersenyum getir, mendorong Tristan menjauh. “Kamu bilang cinta sama aku padahal kamu masih bertunangan sama Dhea.”
Sial. Tristan mengumpat dalam hati. Dhea pasti menceritakan hubungannya pada Bela, entah dalam konteks apa.
“Beri aku waktu,” ucap Tristan kemudian. “Setelah kamu resmi bercerai dari Davka, setelah aku memutuskan pertunanganku dengan Dhea, aku akan menikahimu dan kita akan membesarkan anak ini bersama.”
Bela menggeleng, mendorong Tristan saat pria itu mencoba mendekat. “Kamu nggak mungkin beralasan terpaksa bertunangan dengan Dhea, seperti waktu kamu deket dengan anak dari kolega papamu itu?”
“Tapi … tapi memang itu kenyataannya. Papaku ingin segera punya cucu, karena itu aku dijodohkan sama Dhea. Dan sekarang kamu sudah mengandung anakku, aku nggak punya alasan untuk tetap bertahan sama dia, Bel,” jelas Tristan cepat, sedikit frustasi dengan penolakan Bela.
Bela kembali menggelengkan kepala. “Aku nggak mau jadi pilihan kedua.”
“Kamu selalu jadi yang pertama, Bela!” sergah Tristan cepat, yang membuat Bela sedikit terhenyak kaget.
Hening sesaat. Mereka hanya saling pandang dengan emosi masing-masing.
“Bahkan ….” Tristan melanjutkan. “Waktu aku tahu kamu pingsan dan perdarahan, yang pertama terlintas di benakku itu kamu, baru kemudian anak yang kamu kandung.”
Pengakuan Tristan membuat jantung Bela berdetak lebih cepat. Detaknya seolah membuka pintu di hati Bela yang sudah lama tertutup. Namun, luka pengkhianatan Tristan masih terasa begitu nyeri dan menganga lebar.
“Buktikan,” ucap Bela menantang.
Tristan mengernyit. “Buktikan apa?”
“Buktikan kalau kamu bersedia meninggalkan Dhea demi aku.”
***
Dhea baru saja turun dari mobil usai bepergian dengan teman-temannya. Seorang satpam rumah menghampirinya.
“Non, ini mobil punya tamu Nona Amanda sebaiknya saya masukkan atau gimana, ya?” tanya satpam itu.
Amanda adalah kakak kandung Dhea yang seorang seniman. Ia juga yang melakukan pemotretan prewedding dengan Bela dan Alya tadi siang. Dan karena pingsan dan perdarahan tadi, Bela dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil Alya.
“Kok tanya aku? Tanya Kak Manda dong,” sahut Dhea sedikit ketus.
“Masalahnya Nona Amanda belum keluar rumah sejak tadi. Saya jadi bingung harus tanya ke siapa.” Satpam itu memang terlihat kebingungan.
Dhea berdecak kesal. “Di mana sih mobilnya?”
“Itu, Non. Masih diparkir di samping.” Satpam itu menunjuk ke sebuah mobil putih yang terparkir di dekat pagar samping rumah.
Dhea mengikuti arah yang ditunjuk si satpam, mengernyit saat mengenali mobil putih itu. “Mirip banget kayak yang dibeli Mas Tristan.”