Bab 3. Syarat dari Tristan

1178 Kata
“Syarat pertama, menikah denganku sampai anak itu lahir. Kamu pasti nggak mau anak itu lahir tanpa ayah kan?” Tristan bicara sambil menatap Bela lekat, memperhatikan reaksinya. Wanita itu mengangguk. Melahirkan anak seorang diri pasti sangat menyakitkan bagi seorang ibu. Tapi ia belum mengatakan apapun, menunggu Tristan melanjutkan. “Kedua, setelah anak itu lahir kita akan bercerai. Tapi hak asuh anak itu akan jatuh ke tanganku.” Bela sudah menduga syarat itu. Maka dengan cepat, tanpa berpikir dua kali, ia menggeleng tegas. Menolak. “Enggak. Aku nggak akan pernah menyerahkan hak asuh anak ini pada siapapun,” katanya mantap. “Tapi kamu harus.” Tristan tidak goyah, ia butuh anak itu untuk mengamankan posisinya sebagai ahli waris keluarga. “Karena setelah kita bercerai nanti, kamu akan jadi single parent dan aku akan menikah dengan perempuan lain. Kehidupan rumah tanggaku jauh lebih layak untuk membesarkan seorang anak daripada kamu yang single parent nantinya.” Bela tertawa getir, melempar lirikan sinis pada Tristan. Bagaimana bisa pria itu mengatakan hal demikian tanpa berkedip sama sekali, seolah itu takkan menyakiti hati Bela? Namun, Bela tahu Tristan pria seperti apa. Bahkan dulu, saat mereka harus putus karena Tristan selingkuh, pria itu hanya berbalik dan melangkah pergi. Tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Seolah lima tahun waktu yang mereka habiskan bersama tidak berarti apa-apa. Maka Bela menegakkan punggung, menguatkan diri demi anak yang ia kandung. “Aku nggak akan pernah menyerahkan anak ini pada siapapun,” ulangnya lebih tegas. “Anak ini akan aku asuh sendiri, akan aku besarkan sendiri. Aku menolak syarat darimu, Tristan. Kalau kamu cuma menginginkan seorang anak, lakukan dengan istrimu nanti. Jangan ambil anakku.” Tristan mengetatkan rahang. Ia tahu negosiasi dengan Bela tidak akan mudah. “Tapi kamu butuh bantuanku untuk bercerai dari Davka sebelum dia menuduhmu selingkuh denganku, Bel.” Bela tersenyum masam. “Itu urusanku.” Tristan mengernyit, tak suka dengan nada pasrah dalam suara Bela. “Kamu mau bertahan sama dia?” Untuk sesaat, Bela sedikit terhenyak mendengar nada khawatir dalam suara Tristan. Tapi ia menggeleng cepat, menganggapnya sebagai halusinasi semata. “Dan kamu bilang itu urusanmu?” imbuh Tristan dengan kernyitan di dahi. “Kamu nggak mikir kalau itu juga urusanku? Apa kata keluargaku dan keluarga tunanganku kalau namaku menjadi alasan dari perceraian rumah tanggamu?” Bela mengerti sekarang. Tristan hanya peduli soal reputasinya. “Kamu tinggal bilang kalau itu kesalahan dari rumah sakit,” sahut Bela dingin. “Nggak semua orang akan percaya, Bela.” “Tunjukkan bukti, tuntut rumah sakitnya, kamu punya cukup uang buat melakukan itu, Tristan. Menyuruhku setuju dengan syarat konyol darimu itu bukan solusi.” Tristan diam, tapi ketegangan di wajahnya sama sekali tidak berkurang. “Jadi kamu nggak akan menyerahkan anak itu dan lebih memilih bertahan dengan suami yang menuduhmu selingkuh?” “Sekali lagi, Tristan, itu bukan urusanmu. Silakan keluar.” Bela menunjuk pintu, ia sudah muak dengan semua drama ini. Hening. Tristan tidak juga bergerak untuk pergi dari ruangan itu. Ia hanya berdiri mematung, menatap Bela dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Keluar,” ulang Bela dengan rahang mengetat menahan amarah. “Aku nggak akan pernah berubah pikiran.” Akhirnya Tristan berdecak kesal dan berbalik, keluar dari ruangan dengan kedua tangan di saku celana. Setelah suara mobil Tristan menjauh, Bela baru bisa menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungnya di kursi. Ia memejamkan mata, memijit pelipis, merasakan penat yang semakin menjadi-jadi. “Aku harus segera memutuskan,” gumamnya pada diri sendiri. Satu tangannya turun menyentuh perutnya yang masih rata. “Aku nggak mau terikat dengan siapapun. Aku harus kuat demi anak ini.” *** Langkah pertama yang Bela lakukan adalah menuntut rumah sakit yang melakukan kesalahan fatal itu. Dengan tuntutan ini Bela sekaligus menegaskan pada keluarganya dan keluarga Davka bahwa dirinya tidak selingkuh. Langkah kedua, karena Davka tidak mau menerima dirinya yang mengandung benih dari pria lain meski tanpa disengaja, Bela telah memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Davka. “Apa? Kamu bercanda kan?” Wulan—ibu Bela itu menatap putrinya tak percaya. “Kamu mau cerai dari Davka?” Bela mengangguk kecil. “Iya, Bu. Davka nggak bisa menerima kehamilan ini dan aku nggak bisa menyerah dengan anak ini. Bu, Ibu harusnya tahu betapa berharganya seorang anak buat seorang ibu kan?” “Terus gimana dengan bisnis keluarga kita, Bela? Selama setahun ini bisnis kita bisa jalan karena suplai finansial dari mertuamu. Kalau kamu cerai, hutang-hutang kita … aduh!” Wulan memegangi kepalanya yang mendadak pening. “Bu, jangan dipikirkan.” Bela buru-buru memegangi ibunya, khawatir penyakit vertigo yang biasanya Wulan alami saat banyak pikiran mendadak kambuh. “Aku akan kerja keras supaya bisnis ayah nggak bangkrut.” Bisa dibilang, keluarga Bela tidak terlalu beruntung dalam berbisnis. Dulu, mereka pernah punya pabrik tekstil yang produknya merajai toko-toko baju di ibukota. Namun, karena manajemen yang kurang baik, pabrik itu akhirnya gulung tikar dengan meninggalkan hutang di mana-mana. Bertahun-tahun kemudian, setelah hutang terbayarkan, ayah Bela kembali mencoba bisnis lain dengan menjadi distributor sembako. Berjaya di tahun-tahun awal, lalu lagi-lagi bangkrut begitu memasuki tahun kelima. Dan kali ini, dengan bantuan suplai finansial dari keluarga Davka yang kaya, perusahaan distribusi barang elektronik milik keluarga Bela bisa berjalan lancar. “Kamu beruntung karena ayahmu itu kakak kelas orang tua Davka, karena itu kalian bisa dijodohkan.” Wulan mendesah lelah, wajahnya memelas. “Jangan bercerai, Bela. Pikirkan keluargamu. Pikirkan ayahmu yang susah payah merintis bisnis ini sampai besar seperti sekarang.” Bela merasakan hatinya tersayat. Bagaimana bisa ibunya tidak memikirkan soal perasaannya? “Tapi Davka menyuruhku menggugurkan anak ini kalau aku nggak mau cerai, Bu. Aku nggak mau.” Bela menjelaskan lebih lembut, meminta pengertian. Wulan menghela nafas berat dan lelah. “Bicarakan lagi, pokoknya jangan bercerai.” “Tapi, Bu—” “Sudah, sudah.” Wulan memotong cepat, lalu berdiri sambil merapatkan kardigan yang menutupi tubuhnya. “Jangan sampai ini didengar ayahmu. Ibu masih bisa sabar, tapi ayahmu pasti akan langsung marah. Pokoknya kalau kamu kembali ke sini lagi, Ibu nggak mau dengar soal perceraian.” Tanpa menunggu jawaban dari putrinya, Wulan berbalik dan masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Bela yang duduk termenung di ruang tamu. “Hah ….” Bela menghembuskan nafas tajam, merasakan hatinya seperti diremas kuat. Sakit, sakit sekali. Ia tertunduk, kedua tangannya meremas rambutnya frustasi. Selalu begini. Tak ada yang mau mengerti dirinya. Dulu, ketika ia terjerat kasus dengan salah satu kliennya dan harus mendekam di balik jeruji besi, tak pernah sekalipun orang tuanya datang untuk mengunjunginya di penjara. Saat keluar dari penjara pun, Bela harus berjalan seorang diri hingga menemukan taksi yang mau dibayar murah untuk kembali ke rumah. Tak ada sambutan hangat, yang ada hanya tuntutan agar Bela membersihkan nama keluarganya dengan menikahi Davka. Selalu begitu. Bela selalu menanggung masalahnya sendiri, menyelesaikan masalahnya sendiri, lalu bangkit sendiri. Wanita itu menahan air matanya saat bulir-bulir bening itu nyaris melompat jatuh. Ia mengusap wajahnya cepat, tangan lainnya membelai perutnya yang masih rata. Meski bayi yang ia kandung belum cukup besar, ia bisa merasakan kehangatan di sana. “Tapi sekarang Ibu punya kamu, Nak. Ibu akan jadi lebih kuat demi kita,” bisiknya dengan senyum getir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN