“Hahaha!” Davka tertawa terbahak-bahak saat membaca surat gugatan cerai yang diberikan Bela padanya. “Apa gugatanmu? Aku nggak mau menerima kehamilanmu? Bukannya itu justru menegaskan kalau kamu selingkuh?”
“Aku nggak selingkuh.” Bela berkata tegas. “Aku sudah mencantumkan di sana kalau itu kesalahan medis dan aku bahkan sudah menuntut rumah sakit karena kesalahan fatal itu.”
Davka masih tertawa, mengibaskan surat gugatan cerai itu seolah itu bukan apa-apa. “Aku akan buktikan kalau kamu yang selingkuh sampai mengandung anak laki-laki lain. Tapi tenang aja, Bel, aku nggak akan menahanmu kali ini. Kita akan bercerai karena aku nggak sudi merawat anak yang bukan darah dagingku. Tapi ….”
Hening. Davka sengaja menjeda kalimatnya. Ia menatap Bela dengan sorot mata jijik yang sama sekali tidak ditutupi.
“Tapi aku nggak akan pernah mau memberimu nafkah untuk menghidup anak itu,” pungkasnya telak.
Nafas Bela tertahan. Meski ia sudah menduga ini sebelumnya, ternyata saat benar-benar terjadi rasanya tetap menyakitkan. Tapi ia sudah menghitung semuanya, Bela punya tabungan, bisnis butiknya juga berjalan cukup baik akhir-akhir ini. Ia yakin ia bisa menghidupi dirinya dan anak yang ia kandung nantinya.
“Aku juga nggak akan pernah mengemis hartamu, Dav,” balas Bela tak kalah tajam.
Davka kembali terbahak, suara tawanya terdengar mengejek dan merendahkan. “Kita lihat aja nanti. Terutama kalau keluargamu tahu mereka akan kehilangan donatur tetap untuk menutupi kerugian bisnis ayahmu.”
Tangan Bela terkepal di samping tubuhnya, rahangnya mengetat. Ia tahu Davka sengaja menguji kesabarannya. Tapi ia takkan membiarkan dirinya terpancing.
“Aku berangkat kerja dulu,” ucap Bela sambil berbalik.
“Tunggu!” Davka berseru, menahan langkah Bela.
“Apa lagi?” Bela berbalik, bertanya datar. Kini, mereka layaknya orang asing yang tinggal serumah.
“Keluar dari rumahku,” ucap Davka dingin.
“Apa?” Bela tak menyangka ia akan diusir secepat ini dari rumah Davka.
“Ini rumahku dan aku nggak mau kamu tinggal di sini.” Davka menyedekapkan tangan di depan d**a, menatap Bela tajam. “Besok pagi, aku memberimu waktu sampai besok pagi.”
Bela mengetatkan rahang, menahan amarah yang menggeliat hendak lepas. Tapi ia tak mau terlihat lemah dan mengemis belas kasihan Davka.
“Oke,” pungkasnya mantap lalu berbalik dan pergi dari ruang tengah tanpa menoleh lagi.
Tahun lalu, saat ia menikah dengan Davka, hidupnya terasa sempurna. Punya suami kaya dan terhormat, orang tuanya kembali menunjukkan sikap hangat dan kasih sayang setelah mendiamkannya usai dirinya bebas dari penjara. Namun begitu ia masuk ke dalam rumah Davka, ia baru menyadari bahwa rumah tangganya sama sekali bukan rumah tangga yang tenang dan hangat.
Davka hampir selalu meninggalkannya sendirian. Pekerjaan Davka sebagai pilot menuntutnya untuk sering pergi dari rumah dalam waktu yang lama. Meski begitu, hari-hari sebagai istri Davka masih terbilang cukup menyenangkan. Ia bisa fokus meniti karir yang sempat berantakan selama dirinya dipenjara selama sembilan bulan.
Dan hari ini, satu tahun berlalu, saat ia merasa hidupnya sempurna berkat kehamilan yang amat ia tunggu-tunggu, justru saat inilah hidupnya terasa jungkir balik.
“Aku harus ke mana?” gumam Bela sambil memasukkan pakaian ke dalam koper. “Pulang ke rumah bukan pilihan, ayah pasti marah banget.”
Tangannya bergerak otomatis, memasukkan pakaian dan barang-barang esensial. “Sewa apartemen mahal. Sewa kamar kos ….” Ia terdiam.
Lalu, sebuah ide terbersit di kepalanya. Membuat senyum di wajahnya kembali mekar.
***
Menjadi desainer adalah salah satu impian Bela sejak kecil. Meski sempat ditentang orang tuanya, tapi karena ia berhasil mendapatkan uang dari bekerja sebagai desainer, jadi mereka mau tak mau harus membiarkan Bela.
Dan butik dua lantai yang diberi nama La Belle Attire ini adalah satu-satunya aset Bela. Daripada harus mengeluarkan uang lagi untuk menyewa apartemen atau kamar kos, Bela menyulap lantai dua butiknya menjadi tempat tinggal sementara untuknya.
“Kak, kamu beneran mau tinggal di sini?” Astrid—salah satu karyawan butik bertanya. Ia adalah karyawan paling lama yang bekerja dengan Bela.
“Iya.” Bela hanya menjawab pendek dan tersenyum.
Astrid menatap bosnya itu sendu. “Kak, aku nggak tahu apa yang terjadi sama kamu, tapi tidur di sofa kan nggak nyaman?”
Ya, Bela belum membeli kasur untuk tempat tidur. Tak masalah baginya, Bela sudah pernah merasakan hidup yang jauh lebih pahit dari sekedar tidur di sofa.
Maka ia hanya tertawa pendek. “Nggak apa-apa, Astrid. Lagipula sofanya empuk kok. Besok-besok aku beli kasur lipat deh buat tidur sementara di sini.”
Ekspresi iba masih tidak pergi dari wajah Astrid. “Kak Bela, kamu hamil loh. Emang nggak apa-apa tidur di sofa begini?”
Bela hampir lupa bahwa Astrid adalah satu-satunya karyawan butik yang tahu soal kehamilannya. Maka tak heran bahwa gadis dua puluh lima tahun itu tampak sangat kasihan pada Bela.
“Nggak apa-apa. Aku cuma sementara di sini. Cuma sampe dapet apartemen yang cocok,” kata Bela sambil tersenyum, berharap Astrid berhenti bertanya.
Benar saja. Astrid akhirnya menghela nafas pelan dan mengemasi barang-barangnya. “Ya udah, Kak. Hati-hati ya di sini sendiri, aku pulang dulu.”
“Iya. Hati-hati juga buat kamu.”
Sepeninggal Astrid, hanya hening dan sepi yang menemani Bela. Butik yang biasanya ramai oleh pekerja dan pengunjung, kini terasa begitu senyap. Awalnya, Bela berusaha tidur dengan memejamkan mata dan mencari posisi yang nyaman. Namun setelah sepuluh menit berusaha, ia merasa sesak karena perasaan sepi yang mencekam.
“Bikin sketsa aja deh,” gumamnya, lantas bangkit dan duduk di meja kerjanya.
Namun, baru saja ia mengeluarkan pensil dan kertas sketsa, ponselnya sudah berdering panjang. Dan jantungnya nyaris lepas dari rongga dadanya saat melihat siapa yang menelepon, ayahnya.
Setelah mengumpulkan keberanian, Bela akhirnya menerima telepon itu.
“Halo, Yah?”
“Kenapa kamu selalu nyusahin Ayah sih?!” Seruan penuh amarah langsung menyambut pendengaran Bela.
Tapi ia sudah menduga itu. “Ayah, bicara pelan-pelan,” kata Bela dengan tenang.
“Sudah bagus kamu bisa menikah dengan Davka, tapi kamu malah menceraikannya. Di mana otakmu, Bela?! Kenapa bodoh sekali, hah?!”
Kuping Bela berdenging mendengar teriakan kemarahan ayahnya. “Ayah nggak tahu posisi aku di sini. Aku nggak bisa sama Davka lagi, Yah.”
“Ayah sudah dengar semuanya! Davka bilang kamu selingkuh sama mantan kamu kan?! Mantan kamu yang anak konglomerat itu?! Kalau kamu nggak bisa meminta mantanmu untuk bertanggung jawab, jangan pernah pulang ke rumah lagi!”
Sambungan telepon terputus tiba-tiba, menyisakan Bela terpaku dalam senyapnya ruangan.
“Hah ….” Ia menghela nafas yang tanpa sadar tertahan sejak tadi. “Nggak bisa, Yah. Aku nggak mau bergantung sama laki-laki manapun lagi,” katanya seolah ayahnya bisa mendengar.
Bela tersenyum getir, menatap ponselnya yang sudah padam. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk meratapi nasibnya. Ia harus bekerja keras demi menghidup dirinya dan anak yang ia kandung.
Lagi-lagi, baru saja Bela menempelkan ujung pensil ke kertas sketsa, ponselnya berdering lagi. Tapi kali ini, deringnya pendek-pendek dan berkali-kali, membuat Bela mengernyit bingung.
Ia gegas membuka pesan yang masuk dari nomor tak dikenal. Ada belasan—tidak, bahkan mungkin puluhan video rekaman CCTV yang masuk ke ponselnya. Bela membuka salah satu video itu.
Dan seketika, nafasnya tercekat.