Bab 5. Penkhianatan

1112 Kata
Belum sempat Bela melihat rekaman video itu sampai akhir, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Masih dari nomor tak dikenal itu. Ia mengernyit, ragu hendak menerima telepon itu. Tapi akhirnya, ia mengangkat panggilan itu juga. “Halo?” sapanya waspada. “Video itu nggak gratis.” Sebuah suara bariton seorang pria menyapa pendengaran Bela. “Tristan?” Hening di ujung telepon. Kemudian terdengar helaan nafas pelan. “Video itu nggak gratis. Kalau kamu mau terbebas dari suamimu tanpa harus menanggung kerugian finansial, pakai video itu sebagai bukti untuk menyudutkan Davka. Tapi kamu harus menyerahkan anakmu padaku.” “Nggak akan pernah.” Bela menyahut tanpa pikir panjang, rahangnya mengetat, darahnya mulai mendidih. “Kamu akan menyesal, Bela. Serahkan anak itu padaku dan kamu akan mendapatkan kebebasan yang kamu inginkan.” Tristan bersikeras. “Sekali lagi aku katakan, Tristan, aku nggak akan pernah menyerahkan anak ini pada siapapun. Selama aku masih hidup, aku yang akan bertanggung jawab atas anak ini,” kata Bela mantap dan penuh percaya diri. Satu tahun lebih Bela mendambakan kehadiran seorang anak. Terlepas dari desakan keluarga Davka, ia memang ingin menimang buah hati. Dan sekarang, ketika anak itu telah hadir di rahimnya, tentu ia takkan pernah menukarnya dengan apapun. Tristan berdecak kesal di ujung telepon. “Kamu mau apa? Aku bisa memberikan apapun yang kamu mau.” “Aku mau anak ini dan nggak akan ada yang bisa mengambilnya dariku,” pungkas Bela tegas, lantas memutus sambungan telepon dengan cepat. Nafas Bela memburu karena amarah, cengkramannya pada ponsel semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. Saat ia menyadari dirinya hampir dikuasai emosi, Bela akhirnya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. “Nggak boleh, aku nggak boleh stres,” gumamnya sembari duduk di kursi dan meneguk air mineral untuk menenangkan diri. Bela kembali membuka ponselnya dan ternyata Tristan sudah menghapus puluhan video yang dikirim ke Bela tadi. “Ah, sialan!” Bela mengumpat kesal. Jemarinya gegas bergerak, membuka album foto dan video. Beruntung, Bela sudah sempat mengunduh beberapa video tadi. Ia kembali membuka salah satu video itu. Di dalam rekaman CCTV itu—yang sepertinya diambil dari CCTV di sebuah lobi hotel, sepasang pria dan wanita tampak berbicara dengan resepsionis. Setelah beberapa saat, mereka menerima kunci sebuah kamar dan berjalan menuju lift. Apa yang membuat Bela tercekat adalah pria dalam video itu. Ya, pria di dalam video itu adalah Davka. Tapi ia tidak masuk ke hotel bersama Bela yang notabene adalah istrinya, melainkan dengan perempuan lain. Bela menghela nafas pelan dan panjang, berusaha tidak emosi demi kesejahteraan janin yang ia kandung. Ia membuka video kedua yang sudah sempat ia unduh. Isinya sama, Davka dengan perempuan lain—perempuan yang berbeda dengan perempuan di video pertama. “Astaga,” desah Bela sambil menutup mulutnya dengan tangan. Dadanya terasa nyeri, matanya memanas melihat pengkhianatan suaminya. “Sudah berapa lama dia begini?” gumamnya dengan suara bergetar. Ada sekitar lima video yang berhasil diunduh Bela dan lima-limanya berisi hal serupa. Davka masuk ke dalam hotel yang berbeda-beda dengan perempuan yang berbeda-beda pula. *** Bela tahu ia tidak seharusnya menggunakan video itu karena Tristan mengancamnya jika ia menggunakan video itu, maka ia harus menyerahkan anak yang ia kandung pada Tristan. Tapi sejak semalam, Bela sama sekali tidak bisa tidur karena video-video bukti perselingkuhan Davka terus berputar di kepalanya. Maka siang ini, di antara jeda jam buka butiknya, ia mendatangi Davka di rumahnya. Bela tahu jadwal penerbangan Davka dan hari ini, Davka tidak ada jadwal penerbangan sama sekali. “Jelaskan!” bentak Bela sembari memperlihatkan video rekaman CCTV itu pada Davka. Pria itu hanya melirik layar ponsel Bela sekilas, lalu mendengus sembari menyedekapkan tangan di depan d**a. “Apa yang harus aku jelaskan?” “Jadi selama ini kamu selingkuh?” tuduh Bela dengan mata memicing tajam. Davka mengedikkan bahu. “Kamu ngomong apa sih? Nggak jelas.” Ia berdiri, hendak meninggalkan ruang tamu tempatnya mengobrol dengan Bela. “Kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi, sana pergi. Aku mau istirahat.” “Tunggu, Davka!” Bela berseru, menahan langkah pria yang akan segera menjadi mantan suaminya itu. “Aku akan bawa video ini ke pengadilan. Terserah kamu mau mengaku atau enggak, tapi dengan video ini, kamu nggak bisa lagi menuduhku selingkuh karena kamu sebenarnya yang selingkuh!” Hening seketika. Sepasang pria dan wanita yang dulu pernah mengucap janji setia di hadapan banyak orang itu kini justru saling menatap tajam. Lantas, tiba-tiba saja Davka terbahak. Bahunya berguncang saking kerasnya ia tertawa. Membuat Bela mengernyit bingung. “Kenapa kamu ketawa?” “Ah, karena sudah begini ….” Davka menoleh ke arah kamar dan berseru. “Keluar. Udah perlu sembunyi.” Bela semakin bingung. Siapa yang Davka suruh keluar? Jawabannya hadir di hadapan Bela beberapa saat kemudian. Seorang wanita berambut panjang dengan tubuh langsing dan tinggi keluar dari kamar tidur yang dulunya merupakan kamar tidur Davka dan Bela. Wanita itu terlihat menggunakan gaun tidur tipis yang dibalut sebuah kimono tidur. Rambutnya berantakan dan terdapat … beberapa bekas kemerahan di leher dan dadanya. Seolah sengaja memanas-manasi Bela, Davka menyambut wanita itu dengan mesra. Ia melingkarkan lengannya di pinggang si wanita dan mencium pelipisnya. “Kamu membosankan, Bel. Kamu selalu sibuk bekerja, nggak bisa nemenin aku seharian kalau aku lagi libur. Dan yang paling membuatku muak adalah kamu nggak jago di ranjang, kamu nggak bisa memuaskanku, Bela.” Kalimat Davka diucapkan dengan tajam dan tanpa tahu malu. Bela merasakan matanya memanas, dadanya sesak karena rasa sakit atas pengkhianatan yang dilakukan Davka padanya. Meski pernikahan mereka tidak berlandaskan cinta, tapi Bela selalu setia dan patuh pada Davka. Sedangkan yang dilakukan Davka justru menodai janji suci mereka. “Kamu—” Bela tercekat, lidahnya kelu untuk sekedar memaki Davka. Padahal otaknya bergumul dengan ratusan kalimat cacian yang ingin ia lontarkan. Bibir Bela bergetar menahan rasa sakit di dadanya, tapi ia mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menenangkan badai emosi yang menerpa dirinya. “Bisa-bisanya aku setia sama laki-laki sepertimu,” lirihnya bergetar. Davka mendengus, mencemooh. “Itu salahmu, Bel. Coba kamu bisa lebih genit dan binal, mungkin aku setia sama kamu. Tapi ….” Lengannya mengerat di pinggang wanita di sampingnya. “Kamu bahkan nggak bisa membangkitkan gairahku, Bel.” “Cukup!” Bela berteriak marah. “Ini terakhir kalinya kamu menyakitiku, Dav. Setelah ini … aku bersumpah karma akan menghampirimu atas pengkhianatan yang kamu lakukan!” Tanpa menunggu reaksi Davka, Bela berbalik dengan langkah kasar. Ia mengusap wajahnya, menegakkan punggung dan mengangkat dagu, menolak untuk terlihat lemah. Namun, belum juga ia pulih dari rasa kecewa, terkejut, dan sakit di hatinya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal kembali masuk ke ponselnya. Lagi-lagi, berisi beberapa rekaman video CCTV. Bedanya, kali ini bukan Davka yang ada di dalam video itu. Melainkan … ayah Bela.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN