“Apa maumu, Tristan?” Bela bicara dengan rahang terkatup rapat, mendesis marah sambil mengunci pintu butiknya dengan kasar.
“Masih perlu nanya?” sahut Tristan di ujung telepon. “Gini aja, Bel. Gimana kalau kita buat perjanjian? Aku nggak akan merilis video itu ke publik dan kamu berjanji akan menyerahkan anak itu padaku setelah lahir.”
Langkah Bela terhenti seketika, tangannya mencengkram ponsel erat-erat, menahan gelegak amarah yang semakin tak terkendali.
Tristan menggunakan segala cara untuk membuat Bela memberikan anak yang ia kandung padanya. Kali ini ia berhasil mengungkap kecurangan ayah Bela dalam berbisnis. Ayah Bela menyelundupkan banyak barang ilegal ke pabriknya, lalu dijual dengan harga tinggi. Tak heran keuangan keluarga Bela membaik dalam waktu cepat.
“Aku sudah bilang, aku nggak akan pernah menukar anak ini dengan apapun!” Bela berseru di ujung kalimatnya. Suaranya bergetar, menahan gumpalan yang membuat kerongkongannya tercekat.
“Bahkan dengan nama baik keluargamu? Kamu lebih memilih mengorbankan bisnis ayahmu daripada menyerahkan anak itu?” tanya Tristan dengan nada mengejek.
Bela seperti berada di persimpangan jalan. Satu jalan menuju keluarganya, jalan lain menuju masa depan bersama anak yang ia kandung. Dua-duanya adalah hal penting bagi Bela. Ia takkan ada di dunia ini tanpa orang tuanya. Pun ia telah mendambakan seorang anak sejak menikah dengan Davka—terlepas dari pernikahan mereka yang tanpa cinta.
“Nggak bisa memutuskan sekarang?” Suara Tristan kembali terdengar, tenang tapi sarat akan cemoohan.
Bela menarik nafas dalam, mencoba menenangkan badai yang bergulung-gulung di dadanya. “Aku—”
“Aku beri waktu sampai minggu depan,” potong Tristan cepat. “Pikirkan baik-baik, Bel. Aku bisa melakukan banyak hal. Aku bisa memberimu bayaran yang layak atas jasamu mengandung dan melahirkan anakku. Aku juga bisa menjamin keamananmu selama kamu hamil meski kamu menolak menikah denganku. Tapi … kamu juga bisa menyia-nyiakan semua itu dan mengorbankan bisnis ayahmu.”
Hening sejenak. Tristan seolah sengaja menjeda kalimatnya agar ketegangan di antara mereka semakin terasa.
Bela tahu betul, dengan posisi Tristan sebagai COO sebuah perusahaan keamanan, ia punya harta yang cukup untuk ‘membayar’ Bela. Tapi apakah itu cukup untuk membeli hati nurani Bela yang ingin melindungi anak di kandungannya?
“Aku menolak,” ucap Bela tegas. “Terserah kamu mau melakukan apa dengan temuanmu soal ayahku itu, tapi aku tetap menolak memberikan anak ini padamu.”
Jeda sejenak, lantas tawa Tristan menggema tiba-tiba. Tawa itu sama sekali tidak terdengar humoris, lebih terdengar berbahaya dan penuh ejekan.
“Kamu akan menyesal, Bel, kamu akan menyesal. Tapi ….” Tristan berdehem pelan. “Karena aku baik hati, aku tetap akan memberimu waktu satu minggu. Pikirkan baik-baik sebelum kamu menyesal seumur hidup.”
Panggilan telepon diputus oleh Tristan. Bela masih berdiri mematung di ujung tangga dengan ponsel yang menempel ke telinga. Keheningan di dalam butik itu terasa menghimpit dadanya, menekan tubuhnya, hingga seluruh energinya terasa merosot habis tiba-tiba.
Bela jatuh terduduk di lantai. Baru merasakan betapa beratnya beban yang ia tanggung sekarang. Bercerai dari Davka, menghadapi Tristan yang terus-menerus menekannya untuk memberikan hak asuh anak itu padanya, dan orang tuanya yang tak mau menerima kepulangannya.
Bahu Bela terasa berat. Begitu banyak beban yang harus ia tanggung sendiri. Namun saat tangannya turun dan menyentuh perut tempat buah hatinya tumbuh, rasa hangat perlahan menjalari tubuhnya, menghangatkan dadanya dan menumbuhkan kekuatan yang hampir saja menghilang dari tubuhnya.
Bela perlahan bangkit kembali, mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.
“Selama bersamamu, Nak, Ibu akan terus jadi kuat,” gumamnya sambil tersenyum, menunduk, menatap penuh sayang perutnya yang bahkan belum buncit sedikit pun.
***
Tristan menatap ponselnya yang sudah padam, lantas mendengus pelan. “Dari dulu sama aja, keras kepala,” gumamnya lantas beranjak untuk keluar dari kamar.
“Baru aja mau Mama panggil buat turun, Kak.” Hesti—ibu Tristan menyambut putranya di depan pintu. Wanita lewat paruh baya itu tersenyum lembut.
“Oh, kenapa, Ma?” Tristan gegas memperbaiki ekspresinya yang tadi masih kesal pada Bela.
Wajah Hesti berubah serius. “Papa mau bicara sama kamu. Ini sudah hampir satu tahun kamu bertunangan sama Dhea, kapan kamu mau melamarnya?”
Dhea adalah tunangan Tristan sekaligus salah satu anak dari kolega kerja papanya. Mereka bertunangan bukan karena Tristan mencintai Dhea atau sebaliknya, karena sebenarnya Tristan sudah lebih dulu menikah dengan pekerjaannya dan sama sekali tidak berpikir soal menikahi seorang wanita. Tapi karena tuntutan dari Gunawan—papa Tristan yang ingin putranya segera memiliki penerus untuk kerajaan bisnis mereka, Tristan terpaksa menyetujui usulan papanya untuk bertunangan dengan Dhea.
“Nggak usah dijawab sekarang,” sergah Hesti cepat ketika melihat putra sulungnya hendak membuka mulut. “Kita bicara di bawah aja, papa udah nunggu.”
Tristan hanya mengangguk dan mengekor mamanya untuk turun ke bawah.
Di ruang tengah, Gunawan sudah menunggu sembari menggulirkan jempolnya di atas layar ponsel. Begitu istri dan putranya duduk di sofa, ia segera menyingkirkan ponselnya.
“Bagaimana hubunganmu dengan Dhea?” tanya Gunawan tanpa basa-basi.
“Baik, Pa.” Tristan menjawab pendek, tanpa ekspresi.
“Baik?” Gunawan mengangkat sebelah alisnya, skeptis. “Kapan kamu mau melamar Dhea? Orang tua Dhea sudah mulai meragukan kesungguhan kamu, Tristan.”
Hening sesaat. Tristan menarik nafas dalam, ia siap menghadapi situasi sini.
“Tujuan dari pernikahanku dan Dhea cuma untuk memproduksi keturunan, benar kan, Pa? Karena Papa nggak setuju dengan ideku soal membayar perempuan untuk mengandung anakku—”
“Tristan!” Gunawan berseru marah, memotong kalimat Tristan. “Jangan pernah menyebut ide gilamu di depan Papa lagi!”
“Maaf, Pa,” ucap Tristan tanpa rasa bersalah.
Hesti mengusap lengan suaminya, mencoba menenangkannya. “Sabar, Pa,” lirihnya sambil melempar tatapan tajam pada Tristan, menegur putra sulungnya.
“Jadi kapan kamu akan melamar Dhea?” Gunawan mengulangi pertanyaannya, kali ini lebih tegas dan tajam.
“Kalau aku bilang ….” Tristan menatap kedua orang tuanya bergantian. “Aku sudah punya anak dengan perempuan lain, gimana?”
Hening seketika. Hesti ternganga kaget, Gunawan mengetatkan rahang—ekspresinya campuran antara terkejut dan marah.
“Jangan main-main, Tristan!” seru Gunawan murka.
“Aku nggak main-main, Pa. Dulu Papa menyuruhku segera menikah supaya aku bisa mengamankan penerus kan? Nah, sekarang sudah ada perempuan yang mengandung anakku. Jadi bisa dibilang, aku sudah memenuhi permintaan Papa, kan?” Tristan bertanya santai, padahal ia baru saja menjatuhkan bom atom di depan orang tuanya.
Gunawan mengepalkan tangannya kuat-kuat, seolah siap meninju putranya. “Kamu tidur dengan p*****r? Kamu membayar w************n untuk mengandung anakmu?” tuduhnya sengit.
Tristan tertawa pelan, menggeleng. Lantas ia menceritakan soal kesalahan fatal yang terjadi pada Bela. Ia juga menjelaskan bahwa itu murni kesalahan rumah sakit. Dan penjelasannya membuat ruang tengah di rumah besar itu senyap seketika. Atmosfer tegang yang tadi sempat tercipta, kini perlahan melunak.
“Lalu ….” Hesti yang lebih dulu memecah hening. “Apa yang akan kamu lakukan, Tristan?”
Sudut bibir Tristan terangkat membentuk seringai tipis. “Kalau harus menunggu Dhea yang hamil, kemungkinannya belum seratus persen dan masih butuh waktu lama. Jadi … aku akan membawa Bela ke rumah ini, sekaligus anak yang dia kandung.”
“Tapi Dhea gimana?” tanya Hesti, mendadak merasa gelisah.
Namun, melihat ekspresi Tristan yang tenang, pria itu jelas sudah memiliki rencana. Tapi masalahnya, siapa yang paling dirugikan dalam rencananya itu?
Hanya waktu yang bisa menjawab.