Saat ini aku sedang duduk di depan kaca rias. Geram rasanya jika harus mengingat kejadian semalam. Sedikit demi sedikit, kupoles wajahku dengan rangkaian make-up natural. Sungguh, bayang-bayang semalam masih setia mengobrak-abrik pikiranku.
Kacau, Felisha, benar-benar kacau! ucapku pada bayangan yang tak lain adalah diriku sendiri di cermin.
Bisa-bisanya bibir ini menempel dengan bibir Panji yang diyakini sering menempel dengan banyak bibir wanita. Ingin sekali memutar waktu kembali pada kejadian semalam dan saat itu aku tak membuka pintu sehingga tidak akan ada cerita kalau Panji mencium bibirku.
Bagaimana bisa aku membiarkan hal menggelikan itu terjadi? Ini sangat berbahaya jika sahabatku tahu. Akan kututup rapat-rapat masalah ini. Buat semuanya seolah tak terjadi apa-apa.
Jika Tuhan mengabulkan satu saja permintaanku, kuharap diriku ini tak mengenal makhluk yang bernama Panji. Mimpi apa aku sehingga bisa mengenal pria yang tiba-tiba mendekatiku? Sepertinya dia salah mendekati wanita karena aku tipikal wanita yang membenci pria, bahkan semua pria di dunia ini. Itu adalah poin penting yang harus Panji ketahui.
Aku tak bisa membayangkan perasaan wanita yang kemarin bersamanya di bioskop. Pasti akan sangat kecewa dan begitu menyakitkan hingga tersayat hatinya jika tahu pria yang dipacarinya mengejar wanita yang sama sekali tak tertarik sedikit pun pada Panji.
Jujur, Panji memang tampan adanya, tapi sayangnya, penipu hatinya. Sampai kapan pun penipu tetaplah penipu!
Aku bergegas menuju kampus. Seperti biasa sangat sulit menemukan kendaraan umum di sini. Maklum saja apartemenku bukanlah apartemen elite yang strategis. Aku harus ekstra sabar menanti bus melintas. Ojek online? Aku tidak terbiasa menggunakannya. Selain itu, aku takut karena pernah mendapatkan pengalaman buruk sebelumnya.
Dari kejauhan, bus mendekat ke arah tempatku berdiri. Dalam hati aku merasa sangat senang akhirnya dapat tumpangan juga. Aku masuk dan belum sempat duduk, seketika bus langsung melesat lagi hingga membuatku hampir jatuh kehilangan keseimbangan, beruntung seorang wanita membantu menahanku.
“Terima kasih,” ucapku pelan dibarengi senyuman untuknya.
“Iya kembali kasih, silakan duduk di sampingku,” katanya dengan amat ramah. Aku pun duduk di sampingnya.
“Sepertinya aku pernah berjumpa denganmu,” kataku dan terus memperhatikan raut wajahnya dengan intens.
“Oh, ya? Di mana, ya? Sepertinya ini kali pertama aku bertemu denganmu, Nona,” jawabnya lembut.
Oh Tuhan, kenapa aku sedikit janggal dengan panggilan ‘nona’ yang wanita ini ucapkan. “Hm, tidak, kok, sepertinya hanya salah lihat,” ralatku kemudian.
Aku baru ingat, ternyata dia adalah wanita yang bersama Panji kemarin! Sangat cantik jika ditatap dari arah dekat. Kurasa dia gadis yang baik dan bersahabat, tapi malang sekali nasibnya harus memiliki kekasih yang buaya seperti Panji. Betapa bodohnya Panji yang menyia-nyiakan wanita bak bidadari ini.
Ingin rasanya aku menceritakan padanya, tapi segera kutepis keinginan itu karena akan lebih menyakitan jika dia tahu semuanya dariku. Panji benar-benar gila, wanita sesempurna ini tega-teganya diduakan, atau ditigakan, bahkan lebih dari itu. Bodoh!
“Nona baik-baik saja, kan?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Aku baik-baik saja,” jawabku sekenanya untuk mengalihkan agar dia tak curiga.
“Gracia....” Dia mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangan itu dengan hangat.
“Felisha, panggil saja Felis,” jawabku.
“Maaf … sepertinya aku harus duluan, senang bisa berkenalan denganmu, Nona,” kata Gracia seraya pergi dan turun dari bus. Kulihat dari jauh dia mulai memasuki supermarket. Mobil kemudian melaju sehingga Gracia tidak terlihat lagi.
Sesampai di kampus, aku langsung bergegas menuju kelas. Aku yakin Rere sudah lama menunggu.
“Felis!” Tiba-tiba terdengar suara pria yang berteriak memanggilku. Kuharap bukan Panji. Aku menoleh ke arah suara tersebut. Syukurlah ternyata Devan.
“Iya?” tanyaku.
“Gue mau minta bantuan, Fel,” ujarnya to the point, itu lebih bagus. Aku muak pada orang yang terlalu bertele-tele.
“Bicaralah,” kataku.
Tak lama kemudian Devan memberikan amplop hitam padaku.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Jangan banyak tanya, kasih aja sama Rere,” jawabnya.
Aku pun mengangguk tanda mengerti. “Jangan dibuka, awas lo kalau berani buka, gue kutuk jadi jones alias jomlo ngenes seumur hidup!” ledeknya.
Sial, bisa-bisa Devan menyumpahiku seperti itu. Dasar tidak tahu terima kasih, padahal baru saja meminta pertolongan.
“Tenang, lagian aku bukan cewek kepo, kok, jadi semuanya aman,” kataku sambil menahan tawa.
“Kenapa tertawa?” tanyanya.
“Sejak kapan surat cinta berwarna hitam pekat seperti ini?” tanyaku lagi sembari memperhatikan surat milik Devan. “Lalu, apa zaman secanggih sekarang masih musim kirim surat cinta?” lanjutku.
Sontak kami tertawa.
“Katanya bukan cewek kepo, terserah gue dong mau warna apa aja.” Lalu dia pergi meninggalkanku.
Aku pun berjalan menuju tempat tujuan utamaku. Baru beberapa langkah, aku mendengar teriakan lelaki lagi, “Felis!”
Mudah-mudahan ini juga bukan Panji.
“Iya?” Syukurlah, ternyata Devan lagi.
“Terima kasih ya, sudah bantu gue.”
“Iya sama-sama, Dev, ya udah aku ke kelas dulu ya,” kataku kemudian menuju kelas.
Semoga barusan aku salah lihat, tadi sepertinya Devan memberikan kedipan mata untukku. Dia memang bersikap baik, tapi kembali lagi pada prinsipku, pria itu pendusta. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Rere kalau Devan itu pendusta.
Aku memang tak punya bukti kalau Devan itu penipu, hanya saja pemikiran tentang pria yang aku tanam sudah sangat mutlak. Meski Devan tadi bersikap seperti itu, tetap saja aku tak mudah percaya. Semoga saja dia tak menyakiti Rere, sahabatku.
Sesampainya di kelas, aku melihat pemandangan yang menggemaskan. Rere kini tengah cemberut. Namun aku sudah tahu alasan dia cemberut seperti itu, pasti karena aku yang selalu telat untuk sampai ke kampus.
“Re….”
“Iya aku maafkan, bahkan sebelum kamu meminta maaf aku sudah memaafkannya. Aku tahu kamu telat bangun, aku juga tahu sangat sulit mendapatkan kendaraan menuju ke sini. Dulu aku menyarankan agar kamu pindah ke tempat yang lebih strategis, tapi kamu menolaknya dengan alasan di sana lebih murah sehingga bisa lebih berhemat. Ya aku tahu, aku sudah memaafkanmu,” omelnya dengan nada manja.
Sontak aku tertawa mendengarnya, bukan karena apa yang dia katakan, tapi karena cara Rere menyampaikan isi hatinya sanggat membuatku gemas. Dan bagiku itu lucu sekali.
“Tapi bukan karena itu saja aku telat sampai di kelas,” lanjutku.
“Memangnya apa?” tanyanya penasaran.
“Seseorang memanggilku dan menyuruhku memberikan ini padamu!” Aku menyodorkan amplop titipan dari Devan.
Seketika wajah Rere langsung berbunga-bunga. Dia langsung mengambilnya dari tanganku, menghirup wanginya. Entah untuk apa ia melakukan itu, padahal menurutku surat itu tak wangi sedikit pun.
“Terima kasih, Fel,” katanya dengan amat semringah.
“Cowok kamu aneh, masa surat cinta warnanya hitam gitu kaya tidak ada warna lain aja.” Kemudian kami terkekeh bersama.
Saat kami sedang asyik berbincang dan tertawa, aku heran melihat para mahasiswa berhambur keluar ruangan. Apa yang sebenarnya terjadi sampai kelas ini hampir kosong.
Lalu aku menahan salah satu mahasiswa, “Kenapa pada keluar?” tanyaku.
“Loh, kamu nggak tahu kalau Pak Panji berhalangan hadir? Jadi ngapain kita di kelas? Lebih baik pulang aja. Eh, tidak tahu juga, sih, kalau kamu ada kelas lain? Kalau aku jelas pulang karena hari ini hanya satu,” katanya seraya pergi meninggalkan kelas.
Hari ini aku pun memang hanya ada satu mata kuliah, yaitu mata kuliah Panji. “Sialan, berperan sebagai dosen aja ingkar, apalagi berperan sebagai pacar!” umpatku yang ternyata didengar oleh Rere.
“Maksud kamu?” tanya Rere penasaran.
Bodoh! kenapa harus melontarkan kalimat seperti itu di depan Rere, jangan sampai dia curiga.
“Ah, tidak. Pulang aja yuk, aku sepertinya butuh hibernasi!” Dia pun menyetujuinya.
Syukurlah Rere tak curiga. Jangan sampai kalimat berbahaya itu muncul lagi ke permukaan. ***
Aku kembali menaiki bus untuk pulang ke apartemenku. Jangan tanya ke mana Rere karena rumah kami berlainan arah, lagi pula dia pulang bersama Devan.
Sial sungguh sial, kenapa bisa sangat macet seperti ini? Pikirku dalam hati. Bukankah tadi pas berangkat jalanan lancar-lancar saja. Kini tepat di depan supermarket, aku jadi teringat kepada Gracia. Refleks aku menengok ke arah supermarket, betapa terkejutnya aku melihat mobil yang kukenal.
Harusnya aku tak terkejut, sudah sewajarnya seorang pria menemani kekasihnya ke mana pun wanitanya pergi. Dan bukan hal yang aneh kalau Panji menjemput Gracia. Dari dalam bus, kulihat Gracia yang sedang kesulitan membawa tiga buah kantong belanja, lalu sosok yang mendatangiku semalam muncul membantu Gracia membawakan barang belanjaannya ke dalam mobil. Kemudian mobil Panji pun melaju.
Karena suasana yang sedang macet, mataku jadi lebih mudah mengikuti ke mana pun arah mereka. Mobil Panji kini berhenti dan parkir di sebuah klinik, sayangnya bus yang aku tumpangi kian melaju sehingga aku tak bisa menatap mereka lagi.
Sungguh kurang kerjaan! Untuk apa aku menatap mereka? Ini benar-benar di luar kendaliku. Aku hanya refleks mengikuti setiap gerak-gerik muda-mudi itu.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata Rere meneleponku.
“Halo, Re?”
“Fel, kamu sekarang lagi di mana?”
“Aku masih di bus, tapi bentar lagi nyampe, kok.”
“Bisakah nanti malam kamu ikut menemaniku? Please.”
“Ke mana?”
Rere lalu menyebutkan nama sebuah tempat.
“Hmm, aku tak bisa janji, tapi aku pasti usahakan, kok.”
“Aku berharap kamu bisa. Kalau bisa secepatnya kabarin, ya. Nanti kita ketemu di kafe aja.”
“Iya tenang, memangnya jam berapa dan di kafe mana?”
“Jam tujuh malam, di kafe Intan.”
“Oke. Re, aku turun dulu ya, sudah mau sampai apartemen nih, nanti lagi neleponnya.” Sambungan telepon terputus.
Akhirnya sampai juga di tempat teristimewa, kasur tercinta. Saatnya untuk bertualang ke dunia mimpi.