Tiba-tiba aku tersadar, sepertinya aku kenal tempat ini. Ya, saat ini aku sudah berada di apartemen. Aku baru ingat setelah dari bioskop bersama Rere, aku pulang dan tertidur tanpa sempat mengganti pakaian. Mungkin terlalu kelelahan sampai ketiduran seperti ini.
Kulihat jam di atas nakas, ternyata baru pukul setengah sembilan malam. Namun rasanya seperti tertidur dalam jangka waktu yang sangat lama. Kulirik ponsel berkedip tanda ada pesan masuk.
Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup. Aku tak ingin kau sakit. Jaga kesehatan, ya.
Seketika aku terheran membaca pesan tersebut. Siapa yang mengirimiku pesan seperti itu? Haruskah aku membalas pesan dengan nomor yang tak kukenal tersebut? Ah, aku tak peduli, mungkin itu hanya orang iseng atau bahkan salah kirim.
Entah kenapa tiba-tiba aku jadi teringat kejadian tadi sore. Ya, dipikir pakai logika pun aku masih belum bisa menangkap maksud Panji mendekatiku. Sungguh, sikapnya padaku bukan seperti sikap dosen pada mahasiswa pada umumnya. Panji lebih seperti pria genit yang sedang berusaha mendekati seorang wanita. Dan aku rasa … dia punya tujuan tertentu.
Astaga, bisa-bisanya bangun tidur langsung memikirkan yang seharusnya tak boleh dipikirkan. Sekarang lebih baik aku menuju dapur. Tenggorokanku terasa kering sehingga butuh air dingin yang banyak.
Berjalan menuju dapur, aku langsung membuka kulkas lalu mengambil sebotol air dingin. Selama beberapa saat aku menenggaknya dari yang tadinya penuh hingga tersisa seperempatnya.
Kembali ke kamar, ponselku berdering tanda ada panggilan masuk. Rupanya Rere yang menghubungiku. Timing-nya pun tepat sekali karena jika Rere menghubungiku setidaknya sepuluh menit yang lalu, aku pasti masih tidur.
Hmm, tumben sekali sahabatku itu meneleponku malam-malam. Biasanya dia lebih suka menghubungiku di pagi-pagi buta, terlebih saat aku masih tidur dia pasti membangunkanku. Seperti alarm yang memaksaku beranjak dari tidur yang lelap.
Daripada penasaran, aku pun mengangkat panggilannya. “Iya, Re? Tumben banget nelepon. Aku pikir kamu lagi sibuk video call sama Devan.”
“Pacaran, sih, pacaran … tapi tidak sampai tiap menit selalu komunikasi juga kali, Fel.”
Aku terkekeh. “Terus ada apa? Ini bahkan hampir tengah malam.”
“Aku mau kita menjadwal ulang buat nonton. Gara-gara tidak sengaja lihat Pak Panji, malah tak jadi nonton. Pokoknya aku mau kita nonton di hari lain.”
“Iye, Re. Iya. Jadwalkan aja. Aku tidak masalah.”
“Sejujurnya aku masih bingung, kenapa tadi kita harus batal nonton? Memangnya apa, sih, yang mengganggu pikiranmu setelah melihat Pak Dosen? Jangan bilang kamu kurang nyaman melihat Pak Panji dengan wanita lain sehingga kehilangan mood buat nonton.”
“Astaga, Re. Pemikiran konyol macam apa itu?”
Di ujung telepon sana Rere terkekeh. “Konyol, kan?”
“Udah tahu konyol malah dibahas.”
“Aku cuma merasa kamu seperti benci banget sama Pak Panji. Terlepas dari dia memang pria yang pasti dalam benakmu itu tertanam pemikiran bahwa itu pendusta … tetap aja aku merasa ada yang janggal, Fel.”
“Kamu serius malam-malam nelepon aku hanya untuk bahas itu?”
Rere terkekeh. “Aku hanya penasaran aja. Rasanya ada yang aneh.”
“Aku bukan hanya benci sama dosen itu, tapi semua pria. Jangan lupakan fakta itu.”
“Tapi sama Devan, tidak sampai segitunya, bukan?”
“Kalau Devan, aku masih menghargai kalau dia itu pria yang kamu sayangi. Kalau Devan bukan pacarmu, aku bakal menganggapnya sama.”
“Baiklah, baiklah. Aku pilih stop bahas tentang pria aja deh, karena tidak akan ada ujungnya. Kamu pasti tetap teguh kalau pria itu pendusta.”
“Itu tahu.”
Setelah itu, obrolan kami berganti topik menjadi seputar tugas mata kuliah. Sampai pada akhirnya kami sama-sama bosan dan merasa cukup teleponannya. Setelah sambungan telepon terputus, aku merebahkan diri di atas tempat tidur.
Rasa kantuk yang hilang membuatku memutuskan membuka Netflix untuk menonton lanjutan serial yang aku ikuti belakangan ini.
Mungkin baru sekitar dua puluh menit menonton, beberapa saat kemudian terdengar bunyi bel. Tega sekali orang yang bertamu di jam yang tidak seharusnya seperti ini. Makhluk macam apa di sana yang tak tahu waktu. Benar-benar tidak sopan. Aku pun melangkah dengan malas untuk membuka pintu.
“Halo, Nona Felis yang cantik,” sapa pria playboy ini. Bagaimana tidak, tadi sore aku melihatnya dengan seorang wanita dan saat ini dia berdiri depan pintu dengan membawa mawar putih.
“Ada apa kamu datang kemari? Apa kamu tak punya jam hingga datang ke sini di waktu yang tidak tepat?” tanyaku dengan sedikit membentak. Jujur, aku ingin sekali menghormatinya sebagai dosen bahkan seharusnya memanggil dengan sebutan ‘Pak’, tapi sikapnya sama sekali tak pantas untuk dihargai.
“Aku merindukanmu, Felis. Terimalah bunga ini,” ujarnya kemudian bertekuk lutut dan menyodorkan mawar putih itu. Bagiku sikapnya sangatlah berlebihan dan tidak wajar baik sebagai dosen maupun sebagai orang yang baru mengenalku.
Apa-apaan ini? Dia memang benar-benar gila! Rindu macam apa yang dia maksud? Bukankah sangat tidak masuk akal? Selain karena kami baru saling mengenal, aku juga adalah muridnya. Tidak sepantasnya dia begini.
“Maaf, sepertinya kamu salah orang, seharusnya kamu memberikannya pada wanita yang tepat dan wanita itu bukan aku. Jadi tolong berhenti mengejarku,” kataku tanpa sedikit pun mau menyentuh bunga yang disodorkannya.
“Bagaimana mungkin aku berhenti mengejarmu, Felis? Aku merasakan hal berbeda pada dirimu. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Jika aku boleh cerita, saat itu aku tengah berdoa pada Tuhan agar mengirimkan pendamping untukku karena aku sudah bosan menjalin cinta dengan wanita yang hanya mengincar hartaku atau sekadar mengagumi ketampananku. Saat itu aku mendengar suara bahwa ada tamu di luar, dan ternyata kamu yang datang. Semenjak saat itu aku sudah memutuskan untuk mendapatkanmu dan tidak akan kulepaskan satu kali pun,” jelas Panji padaku dengan tatapan mata tajamnya.
“Cinta pada pandangan pertama? Itu sangat tidak masuk akal. Jadi, hentikan semua omong kosongmu, jangan datang padaku lagi. Aku sangat lelah, selamat malam,” kataku dan seketika langsung menutup pintu.
Sayang sekali kakinya mampu menahannya, lalu dia mendorong kuat hingga pintu kembali terbuka dan Panji tersentak ke dalam. Dengan pelan dia mendekat ke arahku, refleks aku mundur pelan. Langkah mundurku terhenti saat aku berada di ujung tembok.
Panji terus melangkah dengan pelan hingga kini wajahnya dan wajahku hanya berjarak beberapa senti saja. Wajah kami sangat dekat hingga aku dapat merasakan embusan napasnya, bahkan harum tubuhnya sangat kentara. Kesempatan itu tak dilewatkan sedikit pun olehnya. Perlahan, dia mengecup bibirku dengan lembut. Hanya beberapa detik saja kemudian melepaskanku. Aku terlalu tercengang sehingga tak sempat menghindar.
Satu hal yang pasti, aku yakin dia tidak waras!
“Jaga dirimu, sampai jumpa besok, ya,” ucapnya lembut tepat di telingaku kemudian bergegas pergi keluar dari apartemenku. Entah apa yang ada dalam benakku saat Panji mencium bibir ini. Bahkan ini sangat cepat sekali. Boro-boro sempat menolak, aku seakan terhipnotis oleh pesonanya.
Bagaimana ini?