Bab 6 - Dasar Playboy!

1096 Kata
Hari ini aku berangkat ke kampus lebih pagi. Aku tak ingin kesusahan mencari kendaraan lagi. Ini lebih baik daripada tiba-tiba bertemu dengan Panji dan harus menebeng padanya. Bagaimanapun, aku tak tahu pria seperti apa Panji itu. Jadi, menghindarinya adalah pilihan terbaikku. Bisa saja, kan, Panji merupakan salah satu pria pendusta. Pendusta? Ya, aku akui memang belum terlalu mengenalnya, tidak sepantasnya berbicara seperti itu terlebih dia dosenku. Namun, pemikiran yang aku tanamkan sejak Ayah berkhianat pada Bunda, membuat pemikiran itu semakin kuat dan tidak bisa diganggu gugat. Di satu sisi, sebenarnya aku masih kepikiran masalah kemarin. Rasa takut dan malu masih menghinggapi benakku. Aku tak menyangka, dosen yang kuanggap menyeramkan itu ternyata adalah Panji! Lupakan, Felis, lupakan kejadian itu! Kamu akan baik-baik saja, toh Panji tak mempermasalahkannya. Sesampai di kampus, kulirik jam tangan. Kelas baru akan dimulai satu jam lagi. Akhirnya, kuputuskan untuk membaca buku di perpustakaan saja. Tampak beberapa mahasiswa yang sedang serius membaca. Kuambil salah satu buku yang terletak di rak, saat berbalik badan, sosok tampan yang sedari kemarin menghantuiku berdiri dengan manisnya. “Hai,” sapanya ramah. Walau sedikit terkejut, aku hanya membalasnya dengan senyuman, kemudian langsung mencari tempat duduk yang kosong untuk menghindarinya. Dalam hatiku mengeluh, mengapa Panji seakan ada di mana-mana? Sudah datang lebih pagi, tapi tetap bertemu dengan pria ini. “Ternyata gadis sepertimu rajin juga.” Suaranya tiba-tiba terdengar, dan … oh, Tuhan, dia malah duduk di depanku! “Biasa saja. Aku hanya iseng, kok,” jawabku cuek. “Bolehkah aku duduk di sini?” tanyanya sambil terus menatapku. Padahal, pria ini sudah duduk, untuk apa dia meminta izin? Jujur, aku sangat tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Benar-benar seperti diintimidasi. Entah mengapa, tatapannya seolah ingin membunuhku. “Tidak boleh!” jawabku ketus, tak sedikit pun aku mengalihkan pandangan dari buku. Padahal semenjak kedatangannya, aku tak sedikit pun berkonsentrasi dengan bacaanku. Bagaimana bisa membaca, aku sungguh tak fokus lagi. “Kenapa tidak boleh?” tanyanya lagi dengan nada ramah yang tak pernah mau hilang dari ucapannya. Tiba-tiba ponselku berdering. Syukurlah panggilan telepon dari Rere menyelamatkanku dari keadaan ini. Tanpa ragu, aku langsung mengangkatnya. “Halo, Re. Aku di perpus, tunggu di situ ya, aku segera meluncur ke sana.” Sambungan telepon pun terputus. Aku sangat senang bisa keluar dari perpustakaan. Kalau saja Rere tidak meneleponku, mungkin aku sudah terbunuh oleh tatapan Panji. *** Sepulang dari kampus, Rere mengajakku ke bioskop. Karena tidak ada kegiatan lagi, akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Kami antre dengan sabar untuk membeli tiket. Sepertinya film yang sedang booming-lah yang menjadi penyebab bioskop cukup ramai meskipun ini bukan weekend. “Pokoknya aku mau paling ujung aja!” pintaku. “Iya tenang, Fel, pasti kebagian, kok,” jawabnya manja. Rere memang memiliki ciri khas berbicara dengan suara manja, bahkan mereka yang mengenalnya di kampus pasti sudah memaklumi cara bicaranya. “Durasinya berapa jam ya, Re? Aku tidak mau pulang terlalu sore,” ujarku, tapi tak ada jawaban darinya. Kulihat ternyata mata Rere fokus ke satu arah, refleks aku mengikuti tatapan matanya menatap objek yang sedari tadi Rere perhatikan sampa-sampai mengabaikan pertanyaanku. Oh Tuhan, pemandangan yang kulihat kali ini adalah pemandangan penuh dusta. Pantas saja Rere melongo. Ternyata dosen baru kami tengah berkencan dengan seorang wanita. Tampak mereka sangat serasi. Ya, Panji sangat cocok dengan wanita itu. “Ngapain sih, Re, lihatin mereka?” “Aku nggak nyangka ternyata ceweknya Pak Panji cantik banget,” katanya dengat mata terus menatap ke arah pria itu dan wanita di sampingnya. “Mulut lelaki, kan, memang berbahaya, Re. Dia bisa membual dengan cara apa pun agar wanita incarannya tertarik. Paling juga, tuh, cewek sudah kemakan tipuannya Panji. Aku yakin bukan cewek itu aja, pasti masih banyak cewek lain yang jadi korban. Lelaki itu penipu, Re, penipu!” “Ah, kamu berburuk sangka aja sama cowok, Felishaku yang cantik. Dengerin aku ya, kamu boleh trauma dengan semua persoalan keluargamu. Aku tahu ibumu terkena serangan jantung saat tahu ayahmu berselingkuh, aku juga tahu pamanmu mengkhianati tante kesayanganmu. Aku bahkan tahu kakekmu mempunyai tiga istri, ditambah mantan-mantanmu yang selingkuh hingga kamu tak ada minat untuk berpacaran. Bahkan kamu tak tertarik sedikit pun pada lelaki yang bagiku tampan sekali. Jangan-jangan kamu jadi penyuka sesama jenis nantinya,” tebak Rere yang tentu saja kalimat terakhirnya merupakan candaan. Memang iya, aku sedikit kesal dengan kalimat terakhirnya. Sekalipun itu candaan, Rere benar-benar jahat menilai orientasi seksualku. Aku lebih memilih diam, tega-teganya ia berbicara seperti itu. Namun, tiba-tiba ia memelukku erat. “Tapi bagaimanapun, suatu saat aku berharap kamu menemukan pria yang tepat dan dapat membuat kamu bahagia. Jika kamu tak bisa membuang banyak rasa bencimu pada lelaki, setidaknya kamu membuang sedikit aja, dan memberi celah kepada mereka yang menyukaimu untuk masuk ke dalam hatimu,” ucapnya sambil tersenyum tulus padaku. Aku tahu, gadis manja ini sangat menyayangiku. Aku mengerti apa yang dia katakan tadi tidak lain merupakan kepeduliannya terhadapku. “Iya, Re, iya. Makasih ya, kamu udah peduli sama aku.” “Iya. Kamu tahu, kan, Devan?” tanyanya, aku pun mengangguk. “Dia dulu playboy, dan aku tidak takut dia mengkhianatiku. Aku memberinya kepercayaan, kuharap dia mampu mengindahkan rasa percaya dariku,” tambahnya. “Bicara soal Devan, aku pun berharap begitu. Semenjak dia memutuskan menjadikanmu pacar, seharusnya dia sudah melepaskan status playboy-nya sepenuhnya. Awas saja kalau dia berani macam-macam sama kamu, Re.” “Wah, Devan pasti takut kalau mendengar ancamanmu, Fel.” “Sampaikan saja padanya, aku tidak akan tinggal diam kalau dia berani menyakitimu.” “Senangnya punya sahabat sepertimu, Fel. Aku jadi merasa dilindungi, membuatku merasa aman.” Tiba-tiba sampai sudah giliran kami untuk membeli tiket. “Mau nonton film apa, Kak?” tanya petugas bioskop dengan senyuman ramahnya. Aku diam sejenak. Mengingat di tempat ini ada Panji bersama pacarnya. Entah mengapa mood menontonku jadi hilang. “Maaf sepertinya kami tidak jadi nonton,” kataku dengan lembut pada petugas yang berdandan tebal itu. “Tiba-tiba kami ada urusan yang tak bisa dilewatkan,” sambungku berdalih. Langsung saja aku menarik Rere dari tempat itu. Entah mengapa selera untuk nonton mendadak hilang seketika. Kejadian hari ini membuatku semakin yakin bahwa Panji adalah playboy, super-playboy tepatnya. Aku kini memiliki alasan menghindarinya saat dia berusaha mendekatiku. Jujur, aku tak bermaksud percaya diri tentang Panji yang berusaha mendekatiku. Tapi dari sikapnya sudah jelas bahwa dia berusaha mencari celah dalam hidupku. Dasar perayu ulung! Penipu! Pengkhianat! Jangan sampai aku terjatuh dalam muslihatnya. Sekarang, bagaimana mungkin aku bisa percaya pada makhluk yang bernama lelaki? Lagi pula Panji ada-ada saja, sudah punya kekasih … kenapa malah berusaha mendekatiku? Ya, kenapa harus aku di antara banyaknya wanita di dunia ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN