Aku benar-benar tidak menyangka jika Panji adalah dosen baruku! Dia bukan mahasiswa seperti yang kupikir sebelumnya. Dan … apa saja yang tadi aku katakan padanya tentang dosen baru? Mampus aku! Seketika wajahku memerah layaknya udang rebus. Rasanya ingin lompat ke lantai satu saat ini juga. Malu dan takut bercampur menjadi satu. Aku hanya bisa menunduk selama kelas berlangsung.
Panji mengajar dengan sangat ramah dan bersahabat tanpa sedikit pun menyinggung apa yang kukatakan tadi di mobil. Aku yakin, dia pasti menyadari keberadaanku di kelas ini. Aku juga yakin dia sedang berusaha menyembunyikan tawanya karena melihatku malu.
Sepanjang kelas aku merasa tak tenang. Dua jam seperti setahun. Akhirnya, aku bisa bernapas lega saat jam pelajaran pria itu selesai. Sejujurnya aku ingin meminta maaf, tapi untuk menatapnya saja rasanya aku tak berani.
Bodoh! Kenapa aku beranggapan bahwa dia hanyalah mahasiswa? Harusnya aku sadar bahwa Panji itu seorang dosen. Kenapa pula penampilannya tak mencerminkan seorang dosen? Pakaiannya benar-benar seperti anak muda pada umumnya. Rere bahkan baru saja berkata bahwa dosen baru kami sangat tampan.
“Setelah ini kamu mau ke mana, Fel?” tanya Rere.
“Aku tidak ada kelas lagi, jadi mau pulang aja. Aku perlu beres-beres. Sejak kembali dari pulkam, aku belum beres-beres sama sekali.”
“Astaga. Sahabatku ini rajin sekali,” sindirnya dengan nada bercanda.
Aku tersenyum. “Sindiran macam apa itu? Tapi ngomong-ngomong, sepertinya kamu mau ke suatu tempat.”
“Kok tahu?” Rere terlihat heran.
“Tahu dong, dari tadi kamu lihatin aja cermin. Untung tidak sampai retak.”
“Dasar,” balas Rere. “Sebenarnya aku punya janji ketemuan sama Devan.”
“Cieee, yang punya pacar baru. Kelihatannya happy banget.”
“Kamu benar, sepertinya aku senang banget. Semoga kamu juga bisa nyusul ya, Fel. Punya pacar. Jadi nanti kita sama-sama tidak jomlo lagi.”
“Aku? Pacaran?” kekehku.
“Iya, iya. Aku tahu di otakmu selalu berpikir kalau laki-laki itu pendusta dan tidak bisa dipercaya. Tapi sebagai sahabat … boleh, kan, aku berharap kamu menemukan lelaki terbaik yang bisa membuatmu bahagia?”
“Aduh, makasih banget doanya ya, Re. Aku jadi terharu.”
“Aku serius, Fel,” kata Rere. “Oh iya, dosen yang tadi ganteng banget, ya? Kelihatannya masih muda. Bau-baunya masih single.”
Tuh kan, Rere memuji Panji lagi!
“Terus apa urusannya kalau single, Re?”
“Kali aja kamu mau daftar,” kekeh Rere.
“Mohon maaf aku tidak berminat.”
“Kelihatannya juga baik.”
“Astaga Rere, mana bisa menilai orang hanya dalam satu kali pertemuan? Pertama, dia belum tentu baik. Dan kedua, kalau menurutmu dia ganteng … mana ada, sih, orang ganteng jomlo? Jangan-jangan dia udah punya istri. Kamu mau dicap pelakor?”
Alih-alih menjawab, Rere malah tertawa.
“Ya semoga aja masih jomlo, Fel.”
“Buat kamu aja kalau gitu.”
“Sayangnya aku udah punya Devan. Astaga, kenapa kita malah ngobrol panjang padahal aku harus ketemu Devan sekarang juga?”
“Nah kan, lupa jadinya. Ya udah sana, jangan sampai Devan lumutan nunggu kamu yang kelamaan.”
“Kalau gitu aku duluan ya, Fel. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Devan.” Rere berpamitan dan langsung terburu-buru keluar.
Aku pun menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya yang semringah itu. Dasar pasangan baru! Tapi tak apalah, asal Rere senang, aku pun juga merasa senang. Sekarang lebih baik aku juga bersiap-siap pulang karena setahuku, hari ini memang sudah tak ada jadwal lagi.
Saat aku beranjak, samar-samar terdengar mahasisiwi di kelas membicarakan Panji. Ternyata bukan hanya Rere yang membahas Panji. Semuanya ikut-ikutan memuji ketampanan pria itu. Sepertinya sebuah sihir telah menyerang para wanita di kelas ini, atau bahkan seluruh gadis-gadis di kampus ini.
Benar-benar perayu ulung! Oke, aku akui Panji memang tak merayu, tapi sikap ramah Panji selama mengajar membuat mereka mabuk kepayang. Ya, anggap saja mereka tidak waras jika terkena jebakan sihir Panji.
Aku? Aku pastikan tidak akan ikut-ikutan terkena sihirnya seperti yang lain. Aku masih tetap teguh dengan pikiranku, tidak mau semudah itu terpesona apalagi memercayai makhluk bernama pria.
***
Aku tergesa-gesa meninggalkan area kampus. Akan sangat berbahaya jika bertemu dengan Panji. Mau taruh di mana wajahku ini? Semoga saja aku tidak bertemu dengannya.
“Felisha!” teriak seorang pria yang kucurigai suara Panji.
Benar, ternyata Panji melihatku, dan dia berada di dalam mobil saat ini. Setengah berlari aku menuju jalanan. Aku menoleh ke belakang, ternyata pria itu mengikutiku. Syukurlah ada bus yang berhenti untuk mengambil penumpang di dekatku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menaikinya.
“Selamat!” ujarku dalam hati menarik napas lega.
Kesalahan konyolku adalah memercayai kekonyolan Rere yang kini bagai menjadi bencana. Kini aku benar-benar seperti seorang buronan.
Perlahan mobil Panji yang sedari tadi mengikuti kian lenyap. Pikiranku mulai stabil kembali saat bus yang membawaku sampai di jalan Melati Putih. Aku hanya cukup berjalan kaki sedikit untuk sampai ke apartemenku.
Aku berjalan tergesa-gesa. Berharap segera sampai apartemenku. Tiba-tiba, aku dikejutkan dengan kehadiran Panji di depanku. “Kenapa, ka, ka, kamu ada di sini?” ucapku gugup dan terbata-bata.
“Kenapa kamu menghindariku? Apa aku ada salah padamu?” tanyanya dengan nada menggoda. Sangat berbeda dengan sikap manisnya saat kami pertama bertemu.
Aku makin yakin kalau Panji sudah mulai mengeluarkan identitas aslinya di depanku. Jadi benar, kan, kalau dia itu memang bukan pria baik-baik?
“Maaf aku harus segera masuk, aku agak pusing saat ini.” Aku langsung menjauh dan mempercepat langkahku.
“Kamu sakit, Fel? Mari aku antar,” ajaknya dan menggandengku dengan posesif. Tentu saja aku langsung menolak dan melepaskannya, lalu mempercepat langkahku lagi. Sayangnya, pria ini lebih cepat dari gerakanku.
“Oke, aku minta maaf soal yang di kampus tadi. Maaf atas kekonyolanku menilaimu. Aku benar-benar tidak tahu dan ini di luar dugaanku.” Aku memberanikan diri membahasnya.
“Ya ampun, jadi karena itu kamu menghindariku?” Panji setengah tertawa sebelum melanjutkan kalimatnya. “Asal kamu tahu, ya … aku bahkan tak mau memedulikannya. Kalau gitu, mari aku antar pulang.”
“Jadi kamu tidak marah?” tanyaku memastikan.
“Sama sekali tidak. Aku hanya akan marah jika kamu menolak bantuanku untuk mengantarmu,” jawabnya tegas.
Bahkan aku tak menduga jika dia tak marah, kupikir nilaiku akan jadi taruhannya.
Selama beberapa saat aku berpikir, jika Panji tidak marah, untuk apa dia datang menemuiku ke sini? Selain itu, dia bahkan menawarkan untuk mengantarku yang hanya tinggal jalan kaki saja sampai. Menurutku apa yang dilakukannya tidaklah masuk akal. Sekalipun aku berkata pusing, tetap saja Panji tidak punya kewajiban untuk mengantarku.
Namun, jika aku menolak … apa ia akan marah seperti yang dikatakannya barusan?
“Baiklah.” Aku pun menyetujuinya meski dalam hati aku sedikit ragu terhadap keputusanku.
Tunggu, apa aku gila sehingga mau diantar lagi olehnya?