Panji menggendong Felis menuju ruang keluarga. Sepanjang perjalanan, mereka tak hentinya melempar tawa. Keduanya tampak sangat bahagia. Belum pernah mereka sebahagia ini sebelumnya. “Apa kamu tidak ada rencana untuk menurunkanku?” tanya Felis. Kurang dari sepuluh meter lagi mereka akan mencapai pintu. “Kenapa harus turun, bukankah sebentar lagi sampai?” “Justru karena sebentar lagi sampai, semua akan menatap kita dengan tatapan aneh jika kamu terus menggendongku, Pak Dosen.” “Kenapa tatapan mereka harus aneh? Memang apa salahnya?” Felis tersipu, bahkan Panji masih bersikap seperti itu. Felis berharap agar selamanya Panji bersikap sangat menggemaskan seperti ini. “Jangan terus menatapku seperti itu, Nona cantik. Aku tahu ketampananku itu permanen.” Felis langsung mengalihkan pandanga