Keheningan malam seakan bersekutu dengan gelap yang menyelimuti ruangan tua di pinggiran kota itu. Di dalamnya, Keisha duduk terikat di sebuah kursi kayu. Kedua tangan dan kakinya dibelenggu, bukan dengan kekerasan fisik yang menyakitkan, tapi cukup kuat untuk menahannya tak bisa ke mana-mana. Nafasnya tercekat. Matanya sembab, penuh air mata yang sejak tadi terus mengalir. Ia masih belum sepenuhnya percaya... bahwa ini dilakukan oleh orang yang selama ini ia panggil Mama dan Papa. “Papa… Mama… tolong… lepaskan aku,” suara Keisha lirih. Terdengar seperti tangisan anak kecil yang memohon perlindungan. Namun, tidak ada simpati dalam tatapan Rendi, lelaki paruh baya yang kini berdiri di depannya. Mata itu dingin. Tak ada kelembutan seorang ayah di sana. Sementara di sudut ruangan, Clara ber