08. Pelan Tapi Pasti

1307 Kata
Keisha melangkah keluar dari kamar dengan langkah gontai. Rambutnya yang terurai berantakan menambah kesan betapa malasnya pagi itu untuk dirinya. Gaun tidur tipis berwarna pastel yang dikenakannya melayang ringan saat ia berjalan menuju dapur. Ia mengusap mata, masih mengantuk. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat sosok yang tak disangka-sangka. Brian, kakak iparnya, berdiri di dapur. Tubuh tegap pria itu dibalut kaus lengan pendek, ditutupi apron cokelat yang tampak sedikit kebesaran. Di tangannya ada sendok kayu yang sedang ia gunakan untuk mengaduk sesuatu di wajan. Aroma gurih dari nasi goreng yang sedang dimasaknya memenuhi ruangan. Keisha membelalak, terkejut. Brian mendongak, menyadari keberadaan Keisha. Pandangan pria itu sejenak terpaku. Mata tajamnya menatap langsung ke arah adik iparnya. Ia berusaha mengalihkan pandangan, tapi tatapannya sempat tertahan pada gaun tidur yang dikenakan Keisha. Wajahnya memerah. Ia segera menelan salivanya dan pura-pura sibuk dengan masakannya. Keisha yang merasa tatapan Brian tertuju padanya langsung merasakan semburat panas di wajahnya. Ia buru-buru berbalik, masuk ke kamarnya lagi, dan menutup pintu dengan cepat. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. "Kenapa sih aku keluar begitu saja? Duh, malu banget!" gumamnya pada diri sendiri. Tak butuh waktu lama, Keisha keluar lagi dari kamar dengan pakaian yang lebih sopan. Kali ini ia memakai piyama panjang bermotif bunga kecil. Ia berjalan pelan menuju dapur dengan langkah canggung. Ada jeda panjang sebelum ia akhirnya memecah keheningan. "Kak Brian... masak apa pagi-pagi di sini?" Brian menoleh dan tersenyum kaku. "Oh, maaf ya, Keisha. Aku tadi nggak izin dulu. Aku cuma lagi masak nasi goreng. Kamu akan ke kampus pagi ini, jadi aku mau pastikan kamu sarapan dulu." Keisha mengangguk kecil, merasa sedikit terhibur oleh perhatian kakak iparnya itu. "Oh, iya. Terima kasih ya, Kak.” Brian menyelesaikan masakannya dengan penuh semangat. Ia meletakkan sepiring nasi goreng di meja makan, tepat di depan Keisha yang sudah duduk menunggu. "Coba dimakan sekarang. Kalau nggak enak, bilang aja terus terang," katanya sambil tersenyum. Keisha tertawa kecil, mengangkat garpu, dan menyuap nasi goreng itu. "Enak kok, Kak. Serius. Kamu jago masak juga ya." Brian mengulum senyum. Pujian itu berhasil membuat hatinya berbunga-bunga. Baginya, ini bukan hanya soal membuat sarapan. Ini adalah bagian dari rencananya. Perlahan tapi pasti, ia ingin masuk ke dalam hati Keisha. Gadis itu adalah jawaban dari kekosongan yang selama ini ia rasakan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana, ia bisa memiliki Keisha—dan lebih dari itu, ia bisa mendapatkan keturunan. Pikiran Brian melayang jauh, membayangkan kehidupan yang ia dambakan. Keisha yang muda, cantik, dan ceria akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Ia tahu ini salah, mengingat ia sudah menikah dengan Kaila, kakak Keisha. Tapi hubungan mereka terasa semakin hambar belakangan ini. Dan yang paling membuat Brian kecewa, Kaila tak bisa memberinya anak. Namun, Brian menyadari ia harus berhati-hati. Ia tak bisa terburu-buru. Ia harus membuat Keisha jatuh cinta padanya tanpa menyadari rencananya yang sebenarnya. Ia duduk di kursi di samping Keisha, berpura-pura memperhatikan sesuatu di meja. Saat Keisha sedang menyuap makanan, Brian pura-pura tanpa sengaja menyentuh tangan Keisha yang ada di atas meja. Keisha langsung terkejut, menoleh ke arah Brian dengan tatapan bingung. "Eh, Kak?" Brian memasang wajah terkejut juga. "Wah, maaf, Keisha. Aku nggak sengaja," ucapnya dengan nada menyesal. "Aku cuma mau ambil garpu tadi." Keisha mengangguk kecil, meskipun ada rasa aneh yang muncul di hatinya. Ia berusaha menepis pikiran itu dan melanjutkan makannya. Setelah beberapa suap, ia meletakkan garpu dan berdiri. "Aku mau masuk kamar dulu, Kak. Bersiap-siap ke kampus." Brian mengangguk. "Oke, Keisha. Jangan buru-buru, santai aja." Keisha tersenyum tipis lalu berjalan kembali ke kamarnya. Namun, ia bisa merasakan tatapan Brian yang mengikuti setiap langkahnya. Ada sesuatu di balik tatapan itu yang membuatnya tidak nyaman. Brian memperhatikan pintu kamar Keisha yang tertutup, kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi dengan senyum tipis di wajahnya. Semuanya berjalan sesuai rencana. Keisha adalah kunci untuk masa depannya yang ia idamkan. Ia hanya perlu bersabar dan memainkan peran ini dengan baik. Di dalam kamar, Keisha berdiri di depan cermin. Ia merapikan rambutnya sambil memikirkan kejadian tadi. Sentuhan "tidak sengaja" dari Brian terus terulang dalam benaknya. Hatinya merasa aneh. Ada rasa hangat yang muncul, tapi di saat yang sama, ada keraguan. "Kenapa aku mikirin itu sih? Kak Brian cuma nggak sengaja," gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Namun, ia tak bisa menghilangkan rasa canggung setiap kali mengingat cara Brian menatapnya. Sesuatu terasa berbeda. *** Keisha keluar dari kamar dengan dress selutut berwarna krem yang sederhana namun manis, rambutnya diikat rapi ke belakang, memperlihatkan leher jenjangnya. Langkahnya ringan, namun cukup untuk membuat Brian yang sedang duduk di sofa langsung memandanginya tanpa berkedip. "Keisha..." gumam Brian dalam hati. Keindahan gadis itu membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Dalam benaknya, ia kembali membandingkan Keisha dengan Kaila. Bukan hanya secara fisik, Keisha memiliki pesona yang lebih segar dan ceria, sesuatu yang sudah lama tidak ia temukan dalam pernikahannya. Brian berdeham pelan, mencoba mengendalikan dirinya. Ia sudah mengenakan pakaian yang rapi—kemeja biru muda dan celana panjang hitam—memberi kesan profesional. "Keisha, aku antar kamu ke kampus, ya," katanya sambil berdiri dan merapikan kerah kemejanya. Keisha berhenti sejenak dan memandang Brian dengan alis terangkat. "Hah? Diantar, Kak? Nggak usah, aku bisa naik ojek online kok. Takut merepotkan Kakak," jawabnya sambil tersenyum kecil. Brian menggeleng cepat. "Nggak akan merepotkan. Lagipula, aku juga ada urusan. Setelah antar kamu, aku mau ke hotel yang dekat kampusmu. Aku ada janji ketemu klien di sana." Keisha masih terlihat ragu, namun akhirnya mengangguk pelan. "Oh, kalau memang begitu... ya sudah, Kak. Tapi jangan sampai Kakak terlambat ketemu klien ya, gara-gara aku." Brian tersenyum tipis, namun matanya tak bisa menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam. "Nggak apa-apa kok. Kalau untuk Keisha, nggak ada yang merepotkan." Keisha tertegun mendengar itu. Ia memiringkan kepalanya, matanya memandang Brian dengan heran. "Maksud Kakak?" tanyanya, nada suaranya penuh kebingungan. Ucapan Keisha membuat Brian sadar bahwa ia telah berbicara terlalu jauh. Ia segera tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Maksudku... ya, kamu kan adik iparku. Aku cuma mau memastikan kamu aman. Itu aja." Keisha mengangguk dan tersenyum, merasa lega mendengar penjelasan itu. "Oh, begitu. Kakak memang baik banget, deh. Makasih ya." Namun, dalam hati Brian, ia merasa lega sekaligus gelisah. Ia tahu ia hampir ketahuan. Tapi senyum Keisha membuatnya merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Perlahan tapi pasti, ia yakin Keisha akan semakin dekat dengannya. "Ya sudah, ayo kita berangkat," ajak Brian, mengambil kunci mobil yang ia letakkan di meja. Keisha mengikutinya dengan langkah ringan, meskipun ada sedikit rasa canggung. Ia masih teringat kata-kata Brian tadi, namun memilih untuk tidak memikirkannya terlalu jauh. Kakaknya memang selalu mengatakan bahwa Brian adalah pria yang baik dan perhatian, dan Keisha merasa itu memang benar. Di dalam mobil, suasana terasa hening di awal. Namun, Brian berusaha mencairkan suasana dengan bertanya tentang kegiatan Keisha di kampus. Keisha menjawab dengan semangat, bercerita tentang tugas yang sedang ia kerjakan dan rencana untuk bergabung dengan sebuah proyek penelitian. Brian mendengarkan dengan saksama, sekali-sekali mengangguk atau memberikan komentar yang membuat Keisha merasa dihargai. Dalam hati, Brian merasa semakin yakin bahwa ia bisa merebut hati Keisha. Gadis itu memiliki kehangatan dan kepolosan yang membuatnya berbeda dari Kaila. Sementara itu, Keisha mulai merasa nyaman dengan percakapan mereka. Ia merasa Brian adalah sosok yang pengertian dan suportif, sesuatu yang jarang ia temui dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, Keisha tidak menyadari bahwa di balik perhatian itu, Brian memiliki niat lain. Bagi Brian, ini adalah langkah kecil menuju tujuan besarnya—mendapatkan Keisha, dan menjalani kehidupan baru yang telah ia impikan. Setibanya di kampus, Keisha turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih dengan senyuman manis. "Hati-hati ya, Kak, jangan sampai telat ketemu klien." Brian hanya tersenyum dan mengangguk. "Pasti, Keisha. Semangat juga untuk harimu di kampus." Keisha melambaikan tangan sebelum berjalan masuk ke area kampus. Brian memperhatikannya dari dalam mobil, matanya tak lepas dari sosok gadis itu. Ia menarik napas panjang, senyum tipis terukir di wajahnya. "Perlahan tapi pasti, Keisha. Kamu akan jadi milikku," gumamnya lirih sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi menuju hotel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN