Brian berdiri tegap di depan universitas ternama di Singapura, mengenakan kemeja putih bersih dan celana panjang hitam yang rapi. Di tangannya, ada buket bunga mawar merah muda yang segar, melambangkan kelembutan dan perhatian. Di tangan lainnya, ia menggenggam sebuah paper bag kecil berisi hadiah spesial—sebuah kalung berliontin yang ia yakin akan disukai Keisha.
Ia memasukkan tangan ke saku celana, matanya menelusuri kerumunan mahasiswa yang mulai keluar dari gedung kampus. Hingga akhirnya, pandangannya tertuju pada sosok yang ia tunggu-tunggu. Keisha berjalan keluar dengan senyuman di wajahnya, mengenakan dress berwarna krem yang sederhana namun elegan. Rambutnya dibiarkan terurai, menambah kesan anggun yang membuat Brian tak bisa melepaskan pandangannya.
“Keisha!” panggil Brian sambil melambaikan tangannya.
Keisha menoleh, dan senyum manis langsung merekah di wajahnya ketika melihat Brian. Ia melangkah mendekat, sedikit terkejut melihat buket bunga di tangan kakak iparnya. "Kak Brian? Kok ada di sini?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Brian tersenyum lebar dan langsung menyerahkan buket bunga itu ke tangan Keisha. "Ini untuk kamu. Selamat ya, untuk wisuda kemarin. Aku minta maaf nggak memberikan hadiah waktu itu."
Keisha memandangi bunga di tangannya dengan mata berbinar. Ia tersentuh oleh perhatian Brian. "Wah, makasih banget, Kak. Nggak nyangka Kakak sampai repot-repot kayak gini."
Brian mengulurkan paper bag kecil itu. "Ini juga ada hadiah kecil untukmu. Buka nanti aja di rumah, ya."
Keisha menerimanya dengan ragu-ragu, merasa sedikit tak enak hati. Namun, senyum Brian yang hangat membuatnya merasa lebih nyaman. "Kak Brian baik banget, deh. Aku jadi nggak enak."
"Jangan bilang nggak enak, Keisha. Kamu pantas mendapatkannya," ujar Brian tulus, meskipun di dalam hatinya ia merasa lebih dari sekadar rasa bangga. Ia ingin Keisha tahu betapa ia mengaguminya.
Setelah Keisha menyimpan hadiah itu di dalam tasnya, Brian melanjutkan, "Ngomong-ngomong, aku sudah reservasi di sebuah restoran bintang lima dekat sini. Ayo kita makan di sana. Anggap saja ini perayaan kecil untuk keberhasilanmu."
Keisha terkejut. "Hah? Restoran bintang lima? Wah, Kak, jangan berlebihan. Aku jadi sungkan."
Brian menggeleng, memasang ekspresi serius. "Nggak ada yang berlebihan untuk merayakan pencapaianmu, Keisha. Kamu sudah kerja keras selama ini. Anggap saja ini bentuk apresiasi dariku."
Keisha akhirnya mengangguk, meskipun masih merasa canggung. "Kalau Kakak memaksa, ya sudah. Tapi aku yang traktir dessert-nya nanti, ya?" candanya sambil tersenyum.
Brian tertawa kecil. "Kita lihat nanti."
Mereka berdua berjalan bersama menuju mobil Brian yang terparkir tidak jauh dari kampus. Sepanjang perjalanan, Keisha terus memandangi buket bunga di tangannya, merasa sangat dihargai. Namun, ia tak menyadari pandangan Brian yang terus memperhatikannya dengan perasaan yang lebih dari sekadar kekaguman.
Dalam hati, Brian merasa langkahnya semakin mendekati tujuannya. Ia tahu ia tak bisa terburu-buru, tapi perhatian kecil seperti ini adalah caranya untuk masuk ke hati Keisha. Makan malam di restoran bintang lima adalah bagian dari rencana besarnya. Ia akan memastikan Keisha merasa istimewa malam ini.
***
Di restoran mewah dengan pencahayaan temaram yang elegan, Brian menopang dagunya, menatap Keisha dengan penuh kekaguman. Gadis itu tampak begitu memesona dalam kesederhanaannya. Rambutnya yang terurai, senyum manisnya, dan cara Keisha menikmati makanannya membuat Brian sulit berpaling. Di dalam pikirannya, bayangan Keisha yang sedang hamil anaknya terus menghantui, membuat debaran di dadanya semakin tak terkendali.
Keisha yang menyadari tatapan itu akhirnya mengangkat alis, menatap Brian dengan bingung. "Kak, kok lihat aku terus? Ada apa?" tanyanya sambil menyuapkan makanan ke mulut.
Brian terkekeh kecil, lalu menggeleng pelan. "Nggak, nggak ada apa-apa," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian sejenak. Tapi kemudian, ia memutuskan untuk membuka obrolan yang sudah lama ingin ia tanyakan. "Aku cuma kepikiran... Keisha, kamu udah punya kekasih belum?"
Keisha langsung terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap Brian dengan raut wajah yang sedikit terkejut, namun kemudian tawa kecil keluar dari bibirnya. "Kak Brian nanya serius, nih?"
Brian tersenyum tipis, berpura-pura santai meskipun sebenarnya ia sangat menunggu jawaban Keisha. "Ya, serius dong. Aku kan kakak iparmu. Wajar kalau aku pengen tahu."
Keisha meletakkan garpunya dan menghela napas, lalu menjawab dengan santai. "Nggak ada, Kak. Aku belum punya pacar."
Jawaban itu membuat senyum Brian semakin melebar. Ia berusaha menahan kegembiraannya agar tidak terlalu terlihat, namun di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan.
"Serius, nggak ada?" tanyanya lagi, ingin memastikan.
Keisha tertawa kecil sambil menggeleng. "Iya, serius. Aku belum punya pacar. Aku sibuk banget sama kuliah dan tugas-tugas, jadi nggak ada waktu untuk mikirin hal itu."
Brian mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa puasnya. "Oh, gitu ya. Yah, kalau begitu kamu memang fokus ke hal yang penting dulu. Tapi kalau aku boleh bilang... kamu itu cantik banget, Keisha. Aku yakin banyak cowok yang sebenarnya naksir kamu."
Keisha tersipu mendengar pujian itu, meskipun ia berusaha menanggapinya dengan santai. "Ah, Kak Brian bisa aja. Kalau cantik aja cukup buat punya pacar, mungkin aku udah punya dari dulu. Tapi nggak segampang itu, Kak."
Brian tersenyum, matanya terus memperhatikan setiap gerakan Keisha. "Yah, yang penting kamu nggak buru-buru. Tunggu yang benar-benar cocok. Tapi kalau ada yang nggak baik, bilang ke aku ya. Aku nggak mau ada cowok sembarangan yang nyakitin kamu."
Keisha tertegun sejenak, lalu tersenyum lembut. "Makasih, Kak. Kak Brian emang selalu perhatian."
Ucapan itu membuat hati Brian semakin membara. Ia merasa sudah semakin dekat dengan tujuannya. Keisha masih polos, tanpa tahu niat sebenarnya dari semua perhatian ini. Baginya, Keisha adalah masa depannya. Gadis itu akan menjadi miliknya, dan ia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.
Malam itu, makan malam mereka berlanjut dengan obrolan ringan. Keisha menikmati waktu itu tanpa curiga, sementara Brian terus menyimpan rencana-rencana besar di balik senyum hangatnya. Baginya, setiap detik bersama Keisha adalah langkah kecil menuju kehidupan yang ia dambakan—bersama gadis yang duduk di depannya.
***
Brian merasa seperti berada di dunia lain, dunia di mana hanya ada dirinya dan Keisha. Semua terasa sempurna, hingga ponselnya yang tergeletak di meja mulai berdering.
Ia melirik layar ponselnya dan langsung mengeram pelan. Nama "Kaila" terpampang jelas di layar, membuatnya merasa kesal. Kenapa Kaila harus mengganggunya saat seperti ini?
Keisha yang tanpa sengaja melihat layar ponsel itu tersenyum tipis. "Kak, itu telepon dari Kak Kaila, ya? Diangkat aja, mungkin penting," katanya dengan nada lembut.
Brian mendongak, menatap Keisha dengan ekspresi yang agak kaku. Ia menggeleng pelan, lalu tanpa ragu mematikan panggilan itu. "Nggak, nggak perlu. Kalau aku angkat, paling-paling cuma berujung pertengkaran," ucapnya sambil menghela napas berat. "Aku nggak mau merusak suasana."
Keisha terlihat bingung, tapi ia tidak ingin terlalu ikut campur. "Oh... gitu ya, Kak. Tapi apa nggak apa-apa, nggak diangkat? Mungkin dia butuh sesuatu?"
Brian menatap Keisha dengan mata penuh ketenangan, mencoba meyakinkannya. "Percayalah, Keisha. Aku lebih tahu soal ini. Hubunganku sama Kaila belakangan ini memang nggak begitu baik. Kami sering bertengkar karena hal-hal kecil. Kalau aku angkat, paling-paling cuma tambah stress. Aku nggak mau membawa itu di depanmu."
Keisha terdiam sejenak, merasa sedikit tidak nyaman mendengar pengakuan Brian. Namun, ia tetap tersenyum dan mengangguk. "Aku ngerti, Kak. Kalau memang begitu... ya sudah. Semoga kalian bisa baikan, ya."
Brian hanya tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ia merasa jauh dari niat untuk memperbaiki hubungan dengan Kaila. Baginya, Kaila hanya penghalang untuk hidup baru yang ia impikan bersama Keisha.
Ia mengalihkan perhatian kembali ke obrolan mereka, mencoba menciptakan suasana yang lebih santai. "Jadi, Keisha, setelah lulus ini, kamu ada rencana apa? Mau langsung kerja, lanjut S2, atau... ada rencana lain?"
Keisha tersenyum mendengar pertanyaan itu, merasa senang karena Brian menunjukkan perhatian yang tulus. "Aku sih kepikiran mau lanjut S2, Kak. Tapi aku juga pengen kerja dulu, ngumpulin pengalaman. Biar nanti kalau kuliah lagi, aku punya bekal."
Brian mengangguk, terlihat kagum. "Kamu memang pintar, Keisha. Apa pun yang kamu pilih, aku yakin kamu pasti sukses. Kalau ada yang aku bisa bantu, jangan ragu buat bilang, ya."
Keisha mengangguk pelan, merasa berterima kasih atas perhatian Brian. "Makasih, Kak. Aku pasti bilang kalau butuh bantuan."