10. Kenapa Tuhan Tak Memberinya Anak?

1571 Kata
Di perjalanan pulang, Brian mengemudi dengan santai di jalanan Singapura yang mulai sepi di malam hari. Lampu-lampu kota yang berkilauan menjadi latar sempurna untuk suasana hening namun nyaman di dalam mobil. Ia melirik Keisha yang duduk di sampingnya, tampak sibuk dengan pikirannya sendiri sambil memandangi jendela. "Keisha," panggil Brian, memecah keheningan. Keisha menoleh, tersenyum lembut. "Iya, Kak?" Brian meliriknya sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. "Kapan kamu rencana pulang ke Jakarta? Apa kamu mau bareng aku besok pagi?" tanyanya, nada suaranya terdengar hangat namun penuh harapan. Keisha tampak berpikir sejenak, menimbang-nimbang jadwalnya. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. "Iya, aku ikut Kak Brian aja besok pagi. Lagian, urusan di kampus udah selesai semua. Nggak ada alasan aku harus berlama-lama di sini." Brian tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu. "Bagus kalau gitu. Aku juga lebih tenang kalau kamu bareng aku." Keisha tersenyum kecil, merasa hangat oleh perhatian Brian. "Aku juga, Kak. Lagi pula, aku bisa segera lanjut rencana setelah pulang ke Jakarta. Entah itu mulai bangun butik atau cari kerjaan yang lain." Brian meliriknya dengan penasaran. "Kamu masih kepikiran soal butik itu, ya? Itu ide yang bagus, Keisha. Aku yakin kamu bisa sukses. Kalau kamu butuh modal atau bantuan lain, bilang aja sama aku, ya." Keisha tertawa kecil. "Makasih, Kak. Tapi aku pengen coba dulu dengan usahaku sendiri. Kalau nanti benar-benar butuh, aku pasti nggak ragu buat minta bantuan Kakak." Brian mengangguk, meskipun dalam hati ia berharap Keisha akan lebih sering mengandalkan dirinya. Baginya, semakin Keisha bergantung padanya, semakin besar peluang untuk mempererat hubungan mereka. Perjalanan itu terasa nyaman dengan obrolan ringan di antara mereka. Sesekali Brian melontarkan candaan kecil yang membuat Keisha tertawa, sementara ia sendiri menikmati setiap detik kebersamaan itu. Di dalam hatinya, ia merasa semakin dekat dengan Keisha, semakin yakin bahwa gadis itu adalah bagian dari masa depannya. Ketika mereka sampai di apartemen, Brian mematikan mesin mobil dan menoleh ke Keisha. "Oke, besok pagi kita berangkat bareng, ya. Jangan lupa siap-siap tepat waktu." Keisha mengangguk sambil tersenyum. "Siap, Kak. Makasih udah antar aku hari ini. Hati-hati ya kalau mau istirahat." Brian hanya tersenyum hangat, menatap Keisha sedikit lebih lama dari yang seharusnya sebelum akhirnya keluar dari mobil dan membuka pintu untuk Keisha. Gadis itu turun dengan ringan, lalu melambaikan tangan sebelum masuk ke apartemennya. Brian berdiri sejenak di sana, menatap pintu apartemen Keisha yang kini tertutup. Ia menarik napas panjang, merasa puas dengan kemajuan hubungannya dengan gadis itu. "Besok adalah langkah baru," gumamnya sebelum kembali ke mobilnya, menyusun rencana besar berikutnya dalam pikirannya. Brian malam ini memilih untuk tidur di hotel karena dia tidak mau memerkosa Keisha dan membuat gadis itu takut padanya nanti. Perlahan tapi mendapatkan hasil. *** Brian berdiri di depan mobilnya, bersandar santai sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Ia menunggu Keisha yang akan turun dari apartemennya. Udara pagi Singapura terasa segar, dan meskipun perjalanan panjang ke Jakarta sudah menanti, ia tak bisa mengabaikan semangat yang membuncah di hatinya. Pagi ini, ia akan kembali ke Jakarta bersama Keisha, dan itu cukup untuk membuatnya merasa seperti mendapatkan hadiah istimewa. Tak lama kemudian, pintu lobi apartemen terbuka, dan sosok Keisha muncul dengan langkah ringan. Ia mengenakan blouse putih dengan celana jeans biru yang sederhana namun terlihat begitu menawan. Rambutnya diikat rapi, dan senyum manisnya langsung menghapus kelelahan Brian yang bahkan belum muncul. "Kak Brian!" panggil Keisha sambil melambaikan tangan, berlari kecil menghampirinya. Brian tersenyum lebar, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Keisha, akhirnya turun juga. Sudah siap kembali ke Jakarta dan tinggal di rumahku lagi?" tanyanya dengan nada menggoda. Keisha tertawa kecil, lalu memukul pelan lengan Brian. "Kak Brian ini kayaknya senang banget ya kalau aku numpang tinggal di rumah Kakak? Apa jangan-jangan karena aku suka masakin buat Kakak?" candanya sambil tersenyum lebar. Brian terkekeh, menikmati candaan itu. Ia mendekat, mencubit pipi Keisha dengan lembut. "Aku suka semua yang kamu lakukan, Keisha. Tapi yang paling aku suka adalah kamu ada di rumah itu. Rasanya lebih hangat kalau kamu di sana." Keisha tertawa kecil, meskipun sedikit tersipu. "Kakak ada-ada aja. Kalau cuma buat mengurangi pertengkaran sama Kak Kaila, aku nggak yakin kehadiran aku cukup membantu." Brian menggeleng sambil tersenyum tipis. "Justru itu, Keisha. Kalau kamu di sana, aku jadi punya alasan buat lebih banyak tersenyum. Kaila nggak akan bisa bikin suasana tambah keruh kalau aku lagi happy." Keisha menggeleng pelan sambil tersenyum, merasa Brian hanya bercanda. "Ya udah, Kak. Kita langsung berangkat aja, ya? Biar nggak terlalu siang sampai Jakarta." Brian mengangguk, membukakan pintu mobil untuk Keisha. "Silakan, nona," ujarnya, sedikit bergurau. Keisha tersenyum dan masuk ke dalam mobil, sementara Brian bergegas masuk ke kursi pengemudi. Perjalanan mereka pun dimulai, meninggalkan Singapura dengan hati yang berbeda—Keisha merasa seperti memulai babak baru dalam hidupnya, sementara Brian semakin yakin bahwa ia akan bisa memenangkan hati gadis itu sepenuhnya. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang ringan. Brian terus berusaha membuat Keisha tertawa dengan lelucon-lelucon kecilnya. "Kak Brian," ujar Keisha di tengah perjalanan, "aku kepikiran buat mulai serius cari pekerjaan, tapi di sisi lain aku juga pengen mulai bisnis kecil-kecilan. Kamu pilih yang mana kalau jadi aku?" Brian melirik Keisha sekilas sebelum menjawab, "Menurutku, bisnis itu bagus banget kalau kamu punya passion di sana. Tapi kerja dulu juga nggak salah, biar kamu punya pengalaman dan modal. Apa pun yang kamu pilih, aku dukung seratus persen." Keisha tersenyum mendengar jawaban itu. "Makasih, Kak. Aku jadi makin semangat deh." Di dalam hati, Brian merasa bangga bisa menjadi orang yang Keisha andalkan. Ia yakin, semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin mudah baginya untuk membuat Keisha jatuh hati. Ketika mereka akhirnya tiba di Jakarta, suasana rumah terasa berbeda. Kaila yang biasanya menyambut Brian dengan senyuman, kali ini hanya menyapa dingin sebelum masuk ke kamar. Brian tidak terlalu peduli, karena fokusnya sudah tertuju pada Keisha. "Keisha, kamu capek nggak? Mau aku bawain kopermu ke kamar?" tanya Brian sambil tersenyum. Keisha menggeleng. "Nggak usah, Kak. Aku bisa bawa sendiri kok. Lagian ini nggak terlalu berat." Brian mengangguk, tapi tetap memantau Keisha saat gadis itu berjalan ke kamar tamu. Di dalam hatinya, ia merasa semakin dekat dengan tujuannya. ** Brian membuka pintu kamar dengan gerakan santai, tetapi langkahnya terhenti saat Kaila yang sedang duduk di tepi tempat tidur langsung menatapnya tajam. Ia sudah menduga ini akan terjadi, namun tetap merasa terganggu oleh energi negatif yang dibawa Kaila. "Kenapa kamu nggak angkat teleponku kemarin?" Kaila langsung bertanya tanpa basa-basi, suaranya penuh nada kesal. "Aku pulang dari Labuan Bajo, Brian. Kamu tahu kan aku ingin cerita soal perjalanan itu? Tapi kamu malah nggak peduli." Brian menghela napas panjang, merasa lelah dengan pertanyaan yang menurutnya tidak penting. Ia memutar bola matanya, lalu berjalan mendekati lemari tanpa memandang Kaila. "Aku sibuk, Kaila. Nggak perlu ganggu aku dengan hal-hal kecil seperti itu," jawabnya datar, seolah-olah apa yang dikatakan istrinya sama sekali tidak berarti. Kaila berdiri, menatap Brian dengan ekspresi tidak percaya. "Hal kecil? Jadi, menurutmu aku pulang dari perjalanan panjang dan mencoba menghubungimu itu cuma hal kecil? Brian, apa sebenarnya yang terjadi sama kamu? Kamu berubah belakangan ini." Brian menutup lemari dengan suara pelan, kemudian berbalik menghadap Kaila. Ia menatapnya dengan pandangan datar, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah. "Berubah? Kaila, aku cuma nggak punya waktu buat drama. Aku sibuk dengan pekerjaanku. Kalau kamu merasa aku berubah, mungkin itu karena aku nggak punya energi untuk menghadapi semua omelanmu setiap hari." Kaila terdiam sejenak, matanya memerah karena marah dan terluka. "Jadi, sekarang aku yang salah? Aku cuma mau bicara, Brian. Aku istrimu. Apa salah kalau aku ingin sedikit perhatian darimu?" Brian mendesah keras, mengusap wajahnya dengan tangan. "Aku nggak mau ribut, Kaila. Aku capek. Kalau kamu cuma mau marah-marah, lebih baik aku keluar saja." Kaila melangkah mendekatinya, mencoba menahan air matanya. "Brian, kamu tahu kan... aku cuma punya kamu? Aku nggak bisa beri kamu anak, aku tahu itu. Tapi aku masih berharap kita bisa menjalani hidup ini bersama, meski tanpa anak." Brian mendengar kata-kata itu dan merasa terganggu, meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaannya. Baginya, Kaila yang tidak bisa memberinya keturunan adalah alasan utama mengapa pernikahan mereka terasa seperti beban. Namun, ia tidak ingin membahas itu sekarang. "Aku tahu, Kaila," jawabnya akhirnya dengan nada lebih tenang, meskipun tetap terasa dingin. "Tapi aku butuh ruang. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Jadi, tolong, jangan terlalu menuntut dariku." Kaila menggigit bibirnya, merasa kata-kata itu seperti tamparan. Ia melangkah mundur perlahan, akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, Brian. Kalau itu yang kamu mau." Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kaila masuk ke kamar mandi, meninggalkan Brian yang berdiri sendirian di kamar itu. Brian menghela napas lega, lalu berjalan keluar kamar dengan ekspresi puas. Di ruang tamu, ia melihat Keisha sedang duduk di sofa, membaca sebuah buku. Gadis itu terlihat begitu tenang, dan pemandangan itu langsung membuat suasana hati Brian membaik. Ia berjalan mendekat, duduk di sofa sebelahnya. "Kak Kaila nggak apa-apa?" tanya Keisha tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya. Brian tersenyum kecil, mencoba terlihat santai. "Dia baik-baik aja. Cuma sedikit capek mungkin." Keisha mengangguk pelan, lalu melirik Brian. "Kakak juga kelihatan capek. Istirahat aja, Kak.” Brian menatap Keisha, merasa hangat mendengar kata-kata perhatian itu. Dalam hati, ia semakin yakin bahwa hidup bersama Keisha adalah jalan yang benar. "Makasih, Keisha. Kamu memang selalu bikin suasana jadi lebih baik." Keisha hanya tersenyum kecil, tidak menyadari perasaan yang terus tumbuh di hati Brian. Sementara itu, di dalam kamar, Kaila berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangannya sendiri dengan mata yang berkaca-kaca. KENAPA TUHAN TIDAK MEMBERIKANNGA ANAK? KENAPA DIA TIDAK HAMIL?! Kaila menutup wajahnya dan begitu benci karena hanya karena anak pernikahannya tak baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN