11. Masih Ada Harapan

1523 Kata
Kaila duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan tangan gemetar. Pagi itu, ia sengaja bangun lebih awal untuk memastikan bahwa ia menjadi pasien pertama yang dilayani. Pikiran tentang pernikahannya dengan Brian terus berputar di kepalanya, membuatnya sulit tidur semalaman. Dua bulan yang lalu, ia sudah memeriksakan dirinya ke dokter kandungan dan hasilnya menyatakan bahwa kemungkinan ia untuk hamil sangat kecil. Namun, ia kembali hari ini untuk memastikan kebenarannya—untuk membela diri jika diperlukan, karena ia yakin dirinya tidak sepenuhnya mandul. Ketika namanya dipanggil, Kaila bangkit dari kursi dengan langkah berat. Ia masuk ke dalam ruangan dokter, menyapa dokter perempuan yang menyambutnya dengan senyum profesional. Kaila mencoba tersenyum balik, meskipun hatinya terasa hancur. "Selamat pagi, Bu Kaila," sapa dokter tersebut. "Bagaimana kabarnya? Ada yang ingin diperiksa lebih lanjut?" Kaila mengangguk pelan, mengusap kedua tangannya yang dingin. "Dok, saya ingin memastikan lagi... soal hasil pemeriksaan dua bulan lalu. Saya ingin tahu apakah benar saya sulit hamil... atau ada harapan lain?" suaranya bergetar saat ia berbicara. Dokter mengangguk dengan tenang. "Baik, kita akan lakukan pemeriksaan ulang untuk memastikannya. Mohon tunggu sebentar." Setelah serangkaian pemeriksaan dilakukan—termasuk USG dan beberapa tes tambahan—dokter kembali mempersilakan Kaila untuk duduk di hadapannya. Dokter meletakkan hasil pemeriksaan di meja dan menatap Kaila dengan wajah serius namun tetap lembut. "Dari hasil pemeriksaan ini, saya bisa pastikan bahwa kondisi Anda masih sama seperti yang saya sampaikan sebelumnya, Bu Kaila," ujar dokter dengan nada hati-hati. "Kondisi rahim Anda memang memiliki beberapa masalah yang memengaruhi kesuburan. Kemungkinan Anda untuk hamil memang sangat kecil, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Hanya saja, peluangnya sangat minim." Kaila merasa dunia runtuh mendengar penjelasan itu. Matanya memerah, dan ia segera menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan lagi. "Jadi... jadi benar, Dok? Saya yang salah? Saya yang... yang tidak bisa memberikan keturunan untuk suami saya?" Kaila berbisik di antara tangisnya, suaranya penuh luka. Dokter mencoba menenangkannya. "Bu Kaila, ini bukan soal siapa yang salah. Masalah kesuburan bisa dialami oleh siapa saja, dan banyak pasangan yang menghadapi hal serupa. Saya tahu ini berat, tapi ada banyak cara lain untuk membangun keluarga. Program bayi tabung, misalnya, atau bahkan adopsi." Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Kaila. Ia merasa seperti kegagalannya sebagai seorang istri semakin nyata. Ia teringat bagaimana sikap Brian akhir-akhir ini yang semakin dingin, bagaimana suaminya itu selalu mencari alasan untuk menghindari dirinya. Setelah beberapa menit menangis, Kaila akhirnya mengusap wajahnya kasar, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara lagi. "Terima kasih, Dok," katanya dengan suara lemah. "Saya butuh waktu untuk menerima semua ini." Dokter mengangguk, memberikan dukungan moral. "Tentu, Bu Kaila. Kalau Anda butuh konsultasi lebih lanjut, saya selalu siap membantu." Kaila mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi sebelum bangkit dan meninggalkan ruangan dokter. Ketika ia berjalan keluar dari rumah sakit, pikirannya dipenuhi oleh satu hal—apa yang harus ia lakukan sekarang? ** Sesampainya di rumah, Kaila mendapati Brian dan Keisha sedang sarapan bersama di ruang makan. Keduanya tampak akrab, berbicara ringan sambil tertawa kecil. Pemandangan itu membuat hati Kaila terasa perih, seolah-olah ia adalah orang asing di rumahnya sendiri. "Selamat pagi," sapa Kaila dengan suara datar sambil berjalan ke dapur untuk menuang segelas air. Brian menoleh, tersenyum tipis. "Pagi, Kaila. Kamu ke mana pagi-pagi begini?" Kaila mengangkat gelasnya, menatap Brian dengan tatapan kosong. "Cuma keluar sebentar. Ada urusan," jawabnya singkat. Keisha yang duduk di sebelah Brian ikut menoleh, tersenyum ramah. "Kak Kaila nggak mau ikutan sarapan?" tanyanya dengan nada ceria. Kaila hanya menggeleng pelan, tidak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. "Nggak, terima kasih. Aku nggak lapar." Ia kemudian berjalan menuju kamar, mengunci pintu di belakangnya, dan duduk di tepi tempat tidur sambil menatap ke arah jendela. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara untuk menghadapi situasi ini. Sementara itu, di ruang makan, Brian melirik ke arah pintu kamar Kaila yang tertutup rapat. Ia mendesah pelan, merasa terganggu karena Kaila tampak semakin emosional belakangan ini. Namun, ia dengan cepat mengalihkan perhatiannya kembali pada Keisha, yang masih duduk di depannya dengan senyum lembut di wajahnya. "Keisha," ujar Brian sambil tersenyum, "kayaknya Kak Kaila butuh waktu buat dirinya sendiri. Aku senang kamu ada di sini. Kamu bikin suasana rumah jadi lebih ceria." Keisha hanya tertawa kecil, menganggap kata-kata itu sebagai bentuk perhatian seorang kakak ipar. Namun, bagi Brian, itu adalah langkah kecil menuju rencana besarnya—memiliki Keisha sepenuhnya. ** Brian masuk ke kamar dengan langkah berat. Pintu kamar dibanting tertutup di belakangnya, memantulkan suara yang membuat Kaila sedikit tersentak. Ia tahu bahwa Brian sedang tidak dalam suasana hati yang baik, tetapi kali ini Kaila sudah siap. "Ke mana kamu tadi pagi?" suara Brian terdengar dingin dan tajam, penuh nada menuntut. "Bukannya menyiapkan sarapan untuk suamimu? Malah keluyuran nggak jelas." Kaila tetap duduk di tepi tempat tidur, matanya terpaku pada lantai. Ia tidak mengangkat wajahnya, hanya menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara lirih. "Brian..." ia berhenti sejenak, seolah-olah mencoba mengumpulkan keberanian. "Bagaimana kalau kita adopsi anak?" Brian terdiam sesaat, memproses kata-kata Kaila. Namun, hanya dalam hitungan detik, ekspresinya berubah drastis. Matanya membelalak, rahangnya mengeras, dan amarah yang sudah lama ia tahan tampak jelas di wajahnya. Prang! Brian menyambar vas bunga di meja samping dan melemparkannya ke dinding dengan penuh emosi. Vas itu pecah berkeping-keping, serpihannya tersebar di lantai. Kaila tersentak, memandang Brian dengan tatapan penuh keterkejutan. "Tidak!" suara Brian membahana di ruangan. "Tidak ada yang namanya adopsi anak! Aku tidak akan membesarkan anak entah berantah yang bukan darah dagingku sendiri!" Kaila berdiri, tubuhnya gemetar karena syok dan ketakutan. "Tapi, Brian," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar, "itu satu-satunya cara kita bisa punya anak. Aku—" "Kamu apa?" potong Brian dengan nada sinis, mendekati Kaila dengan langkah tegas. "Kamu mau bilang kamu nggak punya pilihan lain? Tentu saja kamu nggak punya pilihan! Karena kamu mandul, Kaila! Kamu cuma bisa membuat aku emosi setiap hari dengan semua omong kosong ini!" Kata-kata Brian seperti tamparan keras bagi Kaila. Tubuhnya membeku, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Brian," katanya dengan suara terisak, "aku tahu aku tidak sempurna... tapi aku mencoba. Aku mencoba untuk membuat kita tetap bahagia." "Bahagia?" Brian tertawa sinis, suaranya penuh ejekan. "Kamu pikir aku bahagia dengan pernikahan ini? Dengan seorang istri yang bahkan tidak bisa memberikan keturunan? Kaila, aku menikah karena aku ingin keluarga—anak-anak. Tapi kamu... kamu hanya membuang-buang waktuku." Kaila terisak, merasa semua usaha dan pengorbanannya selama ini hancur dalam sekejap. Ia tidak pernah menyangka Brian bisa sekejam ini. "Aku hanya ingin kita tetap bersama," Kaila berkata pelan di tengah isakannya. "Aku pikir kita bisa melewati ini bersama..." Brian menggeleng dengan ekspresi penuh kebencian. "Kamu salah, Kaila. Aku sudah cukup. Kalau kamu tidak bisa memberiku anak, maka pernikahan ini tidak ada artinya lagi." Setelah mengucapkan itu, Brian berbalik dan keluar dari kamar dengan langkah cepat, meninggalkan Kaila yang terjatuh di lantai, menangis tersedu-sedu di antara serpihan vas bunga yang pecah. Kaila merasa hatinya hancur, tetapi di dalam dirinya. *** Keisha membuka pintu kamar Kaila dengan hati-hati setelah mendengar suara tangis yang lirih dari dalam. Ia tahu sesuatu pasti terjadi antara kakaknya dan Brian. Saat ia masuk, Kaila sedang duduk di lantai dengan mata sembab dan wajah yang terlihat kehilangan semangat hidup. Tanpa berkata apa-apa, Keisha langsung menghampiri Kaila dan memeluknya erat. "Kak Kaila..." bisik Keisha dengan lembut sambil mengusap punggung kakaknya. Kaila tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia memeluk Keisha lebih erat, seolah-olah memohon kekuatan darinya. "Keisha... aku ini istri yang gagal," ujar Kaila di antara isakannya. "Aku tidak bisa memberikan anak pada Brian. Aku sudah mencoba segalanya, tapi... aku tidak bisa. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana." Keisha mengusap punggung Kaila dengan lembut, mencoba menenangkan kakaknya yang tampak begitu rapuh. "Jangan bicara seperti itu, Kak," kata Keisha dengan suara lembut. "Apa kata dokter? Katakan padaku, Kak. Mungkin aku bisa membantu." Kaila mengangkat wajahnya yang penuh air mata, mencoba menjelaskan meskipun suaranya bergetar. "Dokter bilang... peluangku untuk hamil sangat kecil. Rahimku bermasalah. Aku... aku hampir tidak punya harapan, Keisha." Keisha terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat untuk menguatkan Kaila. Ia tahu bahwa situasi ini sangat sulit, tetapi ia juga tidak ingin Kaila menyerah begitu saja. "Kak Kaila, itu berarti masih ada harapan, kan?" ujar Keisha sambil menatap mata Kaila dengan penuh ketulusan. "Meskipun kecil, tapi itu tetap ada. Kakak tidak boleh menyerah. Aku tahu Kak Kaila orang yang kuat." Kaila menggeleng pelan, masih diliputi rasa putus asa. "Tapi Brian tidak mengerti itu, Keisha. Dia hanya peduli pada satu hal—anak. Dia tidak peduli seberapa keras aku berusaha." Keisha menggenggam tangan Kaila erat, mencoba memberikan kekuatan. "Kak, aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku percaya, kalau Kak Kaila tetap berusaha dan tidak menyerah, semuanya akan membaik. Kalau Brian tidak bisa melihat perjuangan Kak Kaila, maka dia yang salah, bukan Kakak." Kaila menatap Keisha dengan mata penuh air mata, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasakan sedikit kehangatan di hatinya. Keisha adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa didengar dan dipahami. "Terima kasih, Keisha," Kaila berbisik sambil memeluk adiknya lagi. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu." Keisha tersenyum tipis, meskipun hatinya juga terasa berat melihat Kaila dalam kondisi seperti ini. "Aku selalu ada untuk Kak Kaila," katanya dengan lembut. "Apapun yang terjadi, Kak Kaila tidak sendirian."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN