12. Klub Malam

1243 Kata
Malam itu, Brian melangkah masuk ke dalam klub malam yang dipenuhi musik berdebum dan lampu yang berkedip-kedip. Bersama Regi dan Dafa, dua teman lamanya, ia mencoba mengalihkan pikiran dari suasana rumah yang begitu membuatnya frustrasi. Namun, bahkan dengan gelas minuman di tangannya, wajah Brian tetap terlihat muram, penuh dengan beban yang menghantui pikirannya. Regi, yang sedang duduk di seberang meja, memiringkan kepalanya sambil menatap Brian dengan heran. "Hei, Bro, apa yang sebenarnya terjadi? Kamu kelihatan kacau banget," tanyanya dengan nada setengah bercanda, meskipun ia tahu ada sesuatu yang serius. Dafa, yang duduk di samping Brian, mengangguk setuju. "Iya, Brian. Cerita aja. Kita kan teman, siapa tahu kita bisa kasih solusi," katanya sambil menyeruput minumannya. Brian mendengus kesal, menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Gue benci ada di rumah," katanya dengan nada rendah, tetapi penuh emosi. "Kaila itu... dia nggak berguna." Regi dan Dafa saling berpandangan. Mereka sudah mendengar cerita Brian tentang Kaila sebelumnya, tetapi kali ini nada suaranya terasa lebih tajam, lebih penuh kebencian. "Dia nggak bisa kasih gue anak," lanjut Brian, menatap kosong ke arah meja. "Gue udah capek. Gue udah nggak tahan lagi hidup sama dia. Dan sekarang dia malah ngajak gue adopsi anak. Serius, adopsi?" Brian tertawa pahit. "Gue nggak bakal pernah mau ngadopsi anak. Gue maunya anak gue sendiri, darah daging gue sendiri." Regi menghela napas pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan temannya. "Brian, gue ngerti kalau situasi ini berat. Tapi kenapa lo nggak coba program kehamilan aja? Sama-sama periksa. Mana tahu masih ada harapan." Dafa mengangguk setuju. "Iya, Bro. Teknologi medis sekarang udah maju banget. Kalau kalian serius, pasti ada jalan." Namun, Brian malah tertawa keras mendengar saran itu. Tawa yang terdengar lebih seperti ejekan daripada kesenangan. "Program kehamilan? Harapan? Lu semua nggak ngerti, ya? Gue nggak percaya semuanya! Gue udah capek, gue udah tahu Kaila itu nggak bakal pernah bisa hamil. Dokter aja bilang itu minim!" Regi dan Dafa terdiam sejenak, terkejut mendengar kemarahan Brian yang begitu besar. Mereka tidak menyangka Brian bisa sefrustrasi ini. "Tapi lo nggak boleh ngomong kayak gitu tentang istri lo," ujar Dafa akhirnya, mencoba menenangkan. "Kaila itu istri lo, Brian. Dia pasti juga lagi tertekan dengan semua ini." Brian mengibaskan tangannya dengan gerakan penuh frustrasi. "Gue nyesel nikah sama dia," katanya tanpa ragu. "Gue nyesel banget. Kalau aja gue tahu dari awal dia nggak bisa kasih gue anak, gue nggak bakal pernah nikahin dia." Kata-kata itu membuat Regi dan Dafa tertegun. Mereka saling melirik, merasa bahwa situasi ini sudah jauh lebih buruk daripada yang mereka bayangkan. "Brian, lo dengerin gue," kata Regi dengan suara serius. "Jangan ngomong kayak gitu. Lo nikah sama Kaila bukan cuma karena anak, kan? Lo pasti punya alasan lain kenapa lo jatuh cinta sama dia." "Tapi sekarang semua itu nggak ada artinya," potong Brian dengan suara tajam. "Semua yang gue pengen sekarang cuma satu: anak. Dan Kaila nggak bisa kasih itu ke gue." Regi dan Dafa terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Mereka bisa merasakan betapa dalam rasa frustrasi Brian, tetapi mereka juga tahu bahwa kata-kata seperti itu bisa menghancurkan pernikahan siapa pun. Namun, di tengah suasana itu, Brian tiba-tiba berkata dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Kadang gue mikir... apa mungkin ini saatnya gue cari jalan lain. Kaila nggak akan pernah bisa kasih gue apa yang gue mau. Jadi kenapa gue harus terus bertahan?" Dafa langsung menegur. "Brian, jangan ngomong kayak gitu. Pernikahan itu komitmen, Bro. Lo nggak bisa ninggalin istri lo cuma karena masalah ini." Brian menatap Dafa dengan mata penuh keputusasaan. "Lo nggak ngerti, Fa. Lo nggak di posisi gue." Regi mencoba meredakan situasi dengan berkata pelan, "Brian, lo butuh waktu buat mikir jernih. Jangan ambil keputusan yang lo bakal sesali nanti." Regi dan Dafa saling berpandangan dengan ekspresi serius. Mereka tahu Brian sedang berada dalam keadaan emosional yang sangat buruk, dan berada di klub malam hanya akan memperburuk keadaan. Regi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Brian, lo harus pulang. Lo butuh waktu untuk mikir. Jangan biarkan emosi lo menguasai diri lo." Namun Brian, yang sudah terlanjur larut dalam perasaan marah dan frustrasi, menggeleng keras. "Gue nggak mau pulang!" jawabnya dengan suara kasar, matanya berbinar penuh kemarahan. "Gue di sini karena gue mau bersenang-senang, lo ngerti nggak? Gue nggak mau mikirin Kaila dan semua masalah itu sekarang. Gue cuma mau lupa." Dafa, yang sebelumnya sabar mencoba menenangkan Brian, sekarang mulai merasa khawatir melihat temannya yang semakin sulit dikendalikan. "Brian, lo nggak bisa kayak gini terus. Lo harus keluar dari sini. Lo bakal makin ngaco kalau tetap bertahan di sini." Dengan gerakan cepat, Regi menarik tangan Brian, berusaha membawa Brian keluar dari klub malam. "Udah, ikut gue pulang, Bro," katanya dengan nada tegas. "Gue nggak peduli lo mau bersenang-senang, tapi lo nggak bisa cuma kabur dari masalah lo." Namun, Brian yang semakin kesal menolak dengan keras. Ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Regi, dan tubuhnya mulai berontak. "Jangan sentuh gue! Gue nggak butuh lo ngatur hidup gue!" teriaknya, suara penuh kemarahan dan kekesalan. Tapi Regi dan Dafa sudah terlanjur memutuskan untuk membawa Brian keluar dari tempat itu. Mereka tidak peduli jika Brian melawan. Dengan segenap tenaga, mereka menarik Brian keluar dari keramaian dan menuju pintu keluar. Brian berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, namun akhirnya dia harus mengalah dan mengikuti mereka, meskipun dengan langkah yang berat. Sesampainya di luar klub malam, Brian masih terlihat marah, namun Regi dan Dafa tidak peduli. Mereka berdua tetap bersikukuh untuk membawa Brian ke apartemen Dafa. Mereka tahu, lebih baik Brian diam di apartemen dan merenung, daripada membuat masalah di klub malam. "Lo harus mikir dulu, Bro," ujar Dafa dengan nada serius. "Di sini, lo bisa tenang. Lo nggak usah terjebak sama kegilaan klub malam. Lo butuh waktu buat diri lo sendiri." Brian yang masih dengan tatapan penuh kekesalan menatap mereka, tetapi akhirnya hanya diam dan mengikuti langkah Regi dan Dafa. Mereka berjalan menuju mobil, dan perjalanan menuju apartemen Dafa terasa hening. Brian masih sibuk dengan pikirannya, bergulat dengan perasaan yang semakin kacau. Sesampainya di apartemen Dafa, Regi dan Dafa langsung mengarahkannya ke ruang tamu. "Lo di sini aja dulu, Brian," kata Regi. "Kita nggak mau lo makin hancur dengan keputusan lo yang terburu-buru." Dafa menambahkan, "Jangan buat keputusan penting dalam keadaan emosi kayak gini. Lo butuh waktu untuk berpikir jernih." Brian akhirnya duduk di sofa, masih dengan ekspresi marah, tetapi kali ini sedikit lebih tenang. Ia menatap dua temannya yang duduk di seberang. "Gue nggak bisa terus hidup kayak gini," keluhnya, suaranya lebih rendah, namun masih mengandung banyak kebingungan dan kekesalan. "Gue nggak bisa terus-terusan sama Kaila. Kalau dia nggak bisa kasih gue anak, apa gunanya gue bertahan?" Regi menatap Brian dengan serius, mencoba meredakan kekesalan temannya. "Lo tahu, Brian, masalah ini nggak bisa diselesaikan dengan kekerasan atau kebingungan. Lo perlu lihat semuanya dari sudut pandang lain." "Lo ngomong gampang," jawab Brian, suaranya masih terasa kesal. "Lo nggak ada di posisi gue. Lo nggak tahu gimana rasanya terus-terusan berjuang, berharap ada sesuatu yang berubah, tapi nggak ada yang berubah." Dafa mencoba memberi nasihat dengan lembut, "Gue ngerti lo frustrasi. Tapi masalah ini bukan cuma tentang lo dan Kaila. Ini tentang perasaan lo, perasaan Kaila, dan pernikahan lo yang udah kalian bangun. Lo harus mikir dengan hati-hati." Brian hanya terdiam, menatap kosong ke luar jendela apartemen Dafa. Kepalanya terasa berat, dan perasaan putus asa kembali muncul begitu saja. Ia merasa terjebak, di antara harapan yang semakin menipis dan keputusan yang semakin sulit untuk diambil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN