Kaila duduk termenung di sofa ruang tengah, menatap televisi yang menyala tanpa fokus. Pikirannya melayang, mengingat pertengkarannya dengan Brian semalam. Kata-kata tajam yang mereka lontarkan masih terngiang, membuat dadanya sesak. Namun, lamunannya terhenti ketika bel rumah berbunyi. Kaila bangkit dengan cepat dan berjalan menuju pintu.
Ketika pintu terbuka, wajahnya berubah cerah. Keisha Urvinza, adik perempuannya, berdiri di sana dengan senyuman lebar. Tanpa berkata apa-apa, Keisha langsung memeluk Kaila erat-erat. Kaila membalas pelukan itu dengan kehangatan, rasa rindu yang terpendam selama ini seolah menguap dalam pelukan tersebut.
"Kapan sampai? Kenapa nggak bilang Kakak dulu? Biar Brian jemput kamu," ujar Kaila setelah mereka melepas pelukan.
Keisha terkekeh kecil. "Aku sampai kemarin malam. Aku kangen banget sama Kakak, jadi langsung ke sini pagi-pagi."
Kaila menggeleng sambil tersenyum. "Dasar kamu ini. Ayo masuk." Dia menuntun Keisha masuk ke ruang tengah, memintanya duduk di sampingnya di sofa.
"Bagaimana sekolahmu di Singapura? Baik-baik saja?" Kaila bertanya sambil mengamati wajah adiknya yang terlihat segar.
"Baik, Kak. Semua lancar kok," jawab Keisha dengan senyuman manis yang khas. Namun, pandangan matanya kemudian berkeliling, mencari sesuatu.
"Brian di kantor," Kaila menjawab sebelum Keisha sempat bertanya. Keisha mengangguk pelan. Ada jeda sejenak sebelum dia akhirnya berkata, "Kak, aku mau tinggal di sini dulu sementara, boleh nggak? Sampai aku dapat apartemen dan butikku siap dibuka."
Kaila menatap Keisha dengan lembut sebelum memukul pelan lengannya. "Kamu ini, nggak perlu nanya segala. Kamu bisa tinggal di sini selama kamu mau."
Keisha tersenyum lebar, wajahnya dipenuhi rasa lega. Dia memeluk Kaila erat-erat lagi. "Terima kasih, Kak. Aku benar-benar kangen suasana rumah ini."
Kaila mengelus punggung adiknya dengan penuh kasih sayang. "Aku juga kangen kamu. Sekarang kamu tenang saja, nggak usah buru-buru cari apartemen. Di sini lebih baik, ada aku sama Brian juga."
Keisha tersenyum dan mulai menceritakan pengalamannya selama di Singapura, sambil Kaila menyimak dengan penuh perhatian. Suasana rumah yang tadi terasa sunyi kini dipenuhi tawa kecil dan kehangatan dari pertemuan dua saudara perempuan yang saling merindukan.
“Kak,” ujar Keisha pelan, “kuliahku di Singapura tinggal wisuda saja bulan depan. Setelah itu, aku mau balik ke sana lagi dua minggu lagi.”
Kaila menatap adiknya dengan senyum bangga. “Wah, bagus sekali, Sha. Kakak senang mendengar kabar ini.”
“Tapi sebelum balik,” lanjut Keisha, “aku mau coba tinggal di sini dulu. Aku mau lihat apakah aku bisa bangun butik besar atau tidak. Kamu tahu, Kak, itu impian aku dari dulu.”
Mendengar itu, Kaila tersenyum lebar. “Sha, kamu pasti bisa! Jangan takut. Kakak yakin kamu mampu. Kalau butuh bantuan, jangan ragu buat minta tolong sama Kakak, ya.”
Keisha menatap kakaknya dengan mata berbinar. “Terima kasih, Kak. Aku benar-benar bersyukur punya kamu.”
Kaila mengangguk, mengusap lembut kepala adiknya. “Semangat, ya. Apapun yang kamu lakukan, Kakak akan selalu mendukungmu.”
Keisha menatap kakaknya sambil tersenyum kecil. "Kak, kamarku masih yang lama, kan? Di bawah tangga itu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah lorong.
Kaila tertawa kecil dan mengangguk. "Iya, Sha. Masih di situ. Beberapa kali kamu nginap di sini, nggak ada yang berubah kok."
Keisha berdiri sambil meregangkan tubuhnya yang lelah. "Kalau gitu, aku mau istirahat dulu, ya. Capek banget rasanya perjalanan tadi," katanya sambil berjalan pelan menuju kamar.
"Silakan, Sha. Istirahat saja dulu," jawab Kaila sambil tersenyum. "Nanti malam kita makan malam bareng, ya."
Keisha mengangguk pelan tanpa berkata-kata, lalu membuka pintu kamarnya yang kecil namun penuh kenangan. Setelah memandang sekeliling kamar itu sebentar, ia merebahkan diri di ranjang lamanya, menutup mata, dan membiarkan rasa lelah perlahan menghilang.
***
Brian menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Hari itu terasa begitu melelahkan, meskipun yang lebih menguras energinya bukanlah pekerjaan di kantor, melainkan pikiran yang terus membebani dirinya. Masalah yang belum selesai dengan Kaila, istrinya, membuat setiap langkahnya menuju rumah terasa berat. Sudah beberapa bulan terakhir mereka terjebak dalam ketegangan akibat satu masalah yang tidak kunjung menemukan solusi—Kaila belum juga hamil.
Brian tahu ini adalah topik sensitif, tapi keinginannya untuk memiliki anak semakin besar, terutama ketika teman-temannya mulai menunjukkan kebahagiaan mereka sebagai orang tua. Namun, di rumahnya sendiri, keinginan itu selalu berujung pada pertengkaran. Kaila tidak suka jika masalah itu diungkit, terlebih ketika Brian menyiratkan bahwa mungkin ada sesuatu yang salah pada dirinya.
Saat memasuki ruang tamu, pandangan Brian tertuju pada seorang gadis yang tidak asing baginya. "Keisha?" gumamnya tanpa sadar, sedikit terkejut melihat adik iparnya duduk di sofa ruang tamu mereka.
Keisha, yang tampaknya sedang melamun, terkejut mendengar suara Brian. Ia segera berdiri dengan gugup, menampilkan senyuman kecil yang terlihat canggung. "Iya, Kak Brian," jawabnya pelan, suaranya terdengar ragu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Brian dengan nada datar, namun pandangan matanya tajam penuh pertanyaan.
Keisha mengulum senyum, tampak tidak nyaman. "Aku... aku mau tinggal di sini sementara waktu," jawabnya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Brian mengangkat alis, ekspresinya berubah menjadi lebih tajam. "Tinggal di sini? Apa Kaila tahu soal ini?"
Keisha hanya mengangguk kecil, wajahnya menunduk seperti anak kecil yang takut dimarahi. "Kak Kaila yang bilang aku boleh tinggal di sini. Aku... aku harap tidak mengganggu."
Brian menghela napas kasar, tangannya dengan refleks memijat pelipis. Kaila lagi-lagi membuat keputusan sepihak tanpa memberitahunya. Di tengah masalah besar yang sedang mereka hadapi, Kaila justru menambah beban dengan membawa Keisha tinggal di rumah ini. "Baiklah, aku masuk dulu," ucap Brian singkat sebelum berbalik meninggalkan Keisha yang masih berdiri kaku.
Brian melangkah menuju kamar mereka, pintu kamar sedikit terbuka. Dari celah pintu, ia bisa melihat Kaila duduk di dekat jendela, menatap kosong ke luar dengan ekspresi yang sulit diterka. Ia membuka pintu dengan sedikit lebih keras dari biasanya, membuat Kaila terkejut dan menoleh cepat ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Kaila datar, meskipun raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tidak siap untuk menghadapi pertanyaan apapun.
Brian menyandarkan tubuhnya ke pintu, kedua tangannya disilangkan di d**a. "Kenapa kamu tidak bilang apa-apa soal Keisha tinggal di sini?" tanyanya, nada suaranya meninggi, membuat Kaila mengerutkan kening.
"Keisha adikku. Aku berhak membuat keputusan untuk membiarkannya tinggal di sini," jawab Kaila santai, seolah tidak ada yang salah.
"Kaila, kita sedang menghadapi masalah besar. Apa kamu pikir ini saat yang tepat untuk membawa orang lain tinggal di rumah ini?" suara Brian semakin tajam, matanya menatap Kaila dengan penuh kekecewaan.
Kaila tertawa kecil, tawa yang terdengar getir. "Masalah besar? Yang membuat masalah itu kamu, Brian. Kamu terus-terusan menuduhku mandul, seolah aku yang salah. Padahal kamu sendiri yang mungkin bermasalah."
Ucapan Kaila seperti cambuk yang menyakitkan. Wajah Brian memerah, amarahnya memuncak. "Jangan bicara sembarangan, Kaila!" bentaknya, langkahnya mendekat ke arah istrinya. Kaila menatapnya tanpa rasa takut, meskipun ada kilatan kesedihan di matanya.
"Kamu selalu menyalahkan aku, Brian," lanjut Kaila dengan suara bergetar. "Tapi kamu tidak pernah mau memeriksa dirimu sendiri. Apa kamu yakin kamu tidak mandul?"
Brian kehilangan kendali. Tangannya terangkat, dan dalam sekejap, telapak tangannya mendarat di pipi Kaila. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat Kaila terdiam dengan mata membelalak.
"Aku tidak mandul!" teriak Brian, suaranya tegas namun penuh dengan kemarahan yang tidak terkendali.
Kaila menatapnya dengan tatapan kosong, tangannya menyentuh pipinya yang memerah. Tidak ada air mata yang mengalir, hanya keheningan yang terasa mencekik. "Ini alasan kenapa aku tidak ingin bicara denganmu, Brian. Kamu tidak pernah mau mendengar, tidak pernah mau mengerti."
Brian membeku, tangannya gemetar menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Kaila berdiri perlahan, tatapannya penuh luka yang tidak lagi bisa disembunyikan. "Aku mungkin belum bisa memberimu anak, Brian. Tapi kamu sudah membuatku merasa tidak berharga. Apa kamu pikir itu akan membuat segalanya lebih baik?" Kaila berjalan melewatinya, keluar dari kamar tanpa menunggu respon apapun.
Brian hanya berdiri di sana, sendirian. Keheningan yang menyelimuti kamar itu terasa begitu berat. Tangannya mengepal, namun bukan karena marah—melainkan karena penyesalan yang perlahan menyelinap masuk.
Ia tahu, masalah ini tidak akan selesai begitu saja. Dan tamparan yang ia berikan barusan mungkin akan meninggalkan luka yang lebih dalam daripada kata-kata. Namun, untuk pertama kalinya, Brian mulai bertanya-tanya: apakah benar semua ini adalah salah Kaila, atau ada sesuatu dalam dirinya yang sebenarnya salah sejak awal?