03. Pikiran Kotor

1321 Kata
Keisha menatap pintu kamar Kaila dan Brian yang tertutup rapat. Hatinya terasa tidak nyaman. Ia tahu bahwa kehadirannya di rumah ini mungkin memperburuk suasana, terutama setelah mendengar percakapan keras dan suara tamparan dari balik pintu tadi. Ia tidak ingin menjadi alasan pertengkaran kakaknya dengan Brian. Ketika Kaila keluar dari kamar dengan langkah cepat, wajahnya masih memerah di bagian pipi, Keisha langsung berdiri dari sofa. Ia mendekati Kaila dengan raut khawatir. "Kak Kaila... aku minta maaf," ucapnya pelan. Kaila menggelengkan kepala, senyum kecil namun lelah tersungging di bibirnya. "Ini bukan salahmu, Keisha," katanya, suaranya berusaha terdengar tenang meskipun jelas ada rasa sakit di balik kata-katanya. Keisha menggigit bibir, merasa serba salah. "Mungkin... aku harus pergi saja dari sini, Kak. Aku bisa cari apartemen kecil untuk tinggal sementara. Aku nggak mau jadi penyebab masalah antara Kakak dan Kak Brian." "Jangan, Keisha," potong Kaila cepat, menggenggam tangan adiknya dengan erat. "Kamu tidak usah pedulikan Brian. Dia memang selalu keras kepala. Dia selalu ngotot soal punya anak, padahal kita belum diberi kepercayaan oleh Tuhan. Itu bukan salah siapa-siapa." Keisha menatap kakaknya dengan mata yang penuh simpati. Ia tahu betapa sulitnya kehidupan pernikahan Kaila selama tujuh tahun terakhir. Brian memang terlihat seperti suami yang ideal di luar, tetapi Keisha bisa merasakan tekanan yang dialami Kaila dalam mempertahankan rumah tangganya. Apalagi soal anak, yang menjadi duri dalam hubungan mereka. "Kak Kaila, aku tahu ini berat untuk Kakak," ucap Keisha pelan, tangannya menggenggam erat tangan Kaila. "Tapi aku percaya, Kakak dan Kak Brian akan segera dikaruniai anak. Aku selalu mendoakan kalian." Kaila tersenyum kecil mendengar itu, meskipun matanya mulai berkaca-kaca. "Amin," bisiknya lirih, menundukkan kepala sejenak. "Aku juga berharap begitu, Keisha. Aku ingin sekali memberikan kebahagiaan itu untuk Brian. Tapi... setiap kali dia menyalahkanku, rasanya aku tidak sanggup lagi." Keisha terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu kata-kata tidak akan cukup untuk menghapus luka yang telah bertumpuk di hati Kaila. Namun, ia ingin menjadi tempat bagi Kaila untuk bersandar, setidaknya saat ini. "Kalau begitu, aku akan tetap di sini," kata Keisha akhirnya. "Aku tidak akan pergi. Aku di sini untuk Kak Kaila, apapun yang terjadi." Kaila menarik napas panjang, kemudian memeluk Keisha erat-erat. "Terima kasih, Keisha. Kamu satu-satunya yang aku punya sekarang." Di sisi lain, di dalam kamar, Brian masih berdiri dengan pandangan kosong ke arah jendela. Ia tidak percaya bahwa ia telah kehilangan kendali dan menampar Kaila, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tangannya gemetar, dan rasa bersalah mulai menyelinap masuk. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Kaila berada di ambang kehancuran, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Keinginan untuk memiliki anak, yang selama ini menjadi obsesinya, kini terasa seperti pedang bermata dua. Ia mencintai Kaila, tetapi keinginannya untuk menjadi seorang ayah telah membuatnya buta terhadap perasaan istrinya. Malam itu berlalu dalam keheningan yang penuh ketegangan. Kaila tidur di kamar bersama Keisha, meninggalkan Brian sendirian di kamar utama. Brian mencoba tidur, tetapi pikirannya terus-menerus mengulang kejadian hari itu. Esok paginya, suasana rumah masih canggung. Brian mencoba berbicara dengan Kaila saat ia melihatnya di dapur. "Kaila," panggilnya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. Kaila menoleh, tetapi ekspresinya dingin. "Apa?" tanyanya tanpa nada. Brian terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku... aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak seharusnya..." Ia berhenti, menunduk. "Aku kehilangan kendali. Itu salahku." Kaila mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar permintaan maaf dari Brian. Namun, ia masih mempertahankan sikap dinginnya. "Kamu selalu kehilangan kendali, Brian. Dan aku yang selalu jadi korbannya." "Kaila, aku hanya... aku frustrasi," jawab Brian, mencoba membela dirinya. "Aku ingin kita punya anak. Aku ingin keluarga kita lengkap." "Kamu pikir aku tidak ingin itu juga?" potong Kaila tajam. "Tapi menyalahkan aku, memaksakan keinginanmu, apa itu akan membuatku hamil? Apa itu akan membuat kita bahagia?" Brian terdiam, tidak bisa menjawab. Kaila menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tidak tahu, Brian. Aku tidak tahu apa kita bisa terus seperti ini." Brian merasakan sesuatu yang dingin menjalar di dadanya. Kata-kata Kaila seperti pertanda bahwa hubungan mereka benar-benar berada di ujung tanduk. Namun, sebelum ia bisa merespon, Kaila sudah berbalik pergi, meninggalkannya sendirian di dapur. Keisha yang mendengar percakapan itu dari balik pintu merasa semakin khawatir. Ia tahu bahwa rumah tangga Kaila dan Brian sedang dalam kondisi rapuh, dan ia ingin membantu, tetapi ia tidak tahu caranya. Hari itu, suasana di rumah tetap dingin. Brian mencoba mencari cara untuk berbicara dengan Kaila lagi, tetapi setiap kali ia mendekat, Kaila selalu menjauh. Keisha tetap berada di sisi Kaila, mencoba menghiburnya dengan obrolan ringan atau sekadar membuatkan teh hangat. Namun, di dalam hatinya, Kaila masih berharap. Ia berharap suatu hari Brian akan benar-benar mengerti perasaannya. Ia berharap mereka bisa memperbaiki segalanya. Dan yang paling ia harapkan, adalah keajaiban dari Tuhan yang akan memberikan mereka kesempatan untuk menjadi orang tua. *** Brian duduk di kursi halaman belakang rumah, tangan kirinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pandangannya kosong, tertuju pada hamparan rumput yang basah oleh embun pagi. Helaan napas berat keluar dari hidungnya berulang kali, mencerminkan betapa gelisahnya pikiran dan hatinya. Angin dingin pagi menyapu wajahnya, tetapi itu tidak cukup untuk mengusir kekacauan yang berputar di dalam pikirannya. Di sebelahnya, Keisha duduk dengan postur tubuh yang lebih santai. Gadis itu memandangi Brian dengan senyum kecil, berusaha mencairkan suasana. Ia tahu bahwa kakak iparnya ini sedang terbebani, tetapi ia tidak bisa membiarkan ketegangan terus berlanjut. "Kak Brian," ucap Keisha pelan, memecah keheningan di antara mereka. "Kak Kaila juga ingin hamil. Dia sama tertekannya dengan Kakak. Jangan terlalu keras padanya." Brian mendengar ucapan itu, tetapi tidak langsung merespons. Ia menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya pagi itu, pandangannya bertemu dengan wajah Keisha. Senyumnya tipis, namun tidak sepenuhnya tulus. Ada sesuatu di dalam tatapannya yang sulit dijelaskan—sebuah campuran rasa sakit, frustrasi, dan... sesuatu yang lebih gelap. Keisha, yang tidak menyadari perubahan dalam ekspresi Brian, melanjutkan, "Aku tahu Kakak ingin punya anak. Tapi mungkin ini soal waktu. Kak Kaila butuh dukungan, bukan tekanan." Brian mengangguk kecil, tetapi pikirannya mulai melayang ke arah yang tidak seharusnya. Tatapan matanya tertahan pada wajah Keisha, memperhatikan senyum manisnya, kulitnya yang halus, dan sorot mata yang penuh perhatian. Ada sesuatu yang tidak seharusnya muncul dalam pikirannya, tetapi pikiran itu tetap menyeruak, membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimana kalau Keisha yang hamil? Sebuah ide gelap muncul di benaknya, dan ia tidak bisa segera menyingkirkan pikiran itu. Dia tahu ide itu salah, sangat salah. Tetapi di tengah rasa frustrasinya yang mendalam karena tidak bisa memiliki anak, pikirannya seolah menciptakan skenario yang tidak masuk akal. Keisha, yang tidak menyadari gejolak pikiran Brian, kembali berbicara, "Kak, kalau aku bisa membantu kalian, aku pasti akan melakukannya. Aku ingin Kak Kaila dan Kak Brian bahagia." Ucapan itu, yang dimaksudkan dengan niat baik, justru memantapkan bayangan keliru di pikiran Brian. Dia merasa terguncang oleh pikirannya sendiri, tetapi semakin mencoba menepisnya, semakin kuat ide itu menggema dalam benaknya. "Keisha," panggil Brian dengan suara serak, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kenapa kamu tidak tinggal di rumah saja? Kamu tidak perlu memikirkan apartemen atau tempat lain." Keisha tersenyum tulus. "Aku sudah memutuskan untuk tetap di sini, Kak. Aku ingin menemani Kak Kaila, setidaknya sampai semuanya membaik." Brian mengangguk, tetapi pikirannya masih bergulat dengan konflik moral yang mengerikan. Ia tahu bahwa apa yang ia pikirkan adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan. Tetapi di saat yang sama, rasa putus asanya membuatnya merasa seolah-olah ia tidak memiliki pilihan lain. Keisha berdiri dari kursinya, tersenyum lagi sebelum masuk ke dalam rumah. "Aku buatkan teh hangat, ya, Kak." Brian hanya mengangguk tanpa kata, matanya mengikuti langkah gadis itu yang masuk ke rumah. Saat Keisha menghilang dari pandangannya, ia menghela napas berat lagi, mencoba mencari cara untuk mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai menguasainya. Namun, dalam hati kecilnya, Brian sadar bahwa ia sedang berada di tepi jurang yang sangat berbahaya. Apa yang akan ia lakukan setelah ini? Akankah ia mampu mengendalikan dirinya, atau justru terjerumus dalam keputusasaan yang lebih dalam? Brian memejamkan mata, menggenggam kursinya dengan erat, berharap menemukan secercah kesadaran yang akan membawanya kembali ke jalan yang benar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN