04. Diam-diam Memperhatikan

1155 Kata
Brian menghabiskan beberapa hari terakhir dalam keheningan, tetapi pikirannya terus sibuk merancang sesuatu yang tidak bisa ia katakan kepada siapa pun. Ia mulai memperhatikan Keisha lebih dari sebelumnya. Tatapannya sering kali terpaku pada adik iparnya itu, terutama ketika Keisha tidak menyadarinya. Keisha, yang sering membantu Kaila di dapur atau membereskan rumah, tampak begitu anggun dalam kesederhanaannya. Brian mulai menyadari bahwa Keisha memiliki sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menurutnya tidak dimiliki Kaila. Wajahnya yang manis, tubuhnya yang ramping, dan kelembutannya membuat Brian diam-diam membandingkannya dengan Kaila. Dan dalam pikirannya yang mulai kacau, Keisha terlihat jauh lebih menarik. Suatu malam, saat Kaila sibuk di dapur bersama Keisha, Brian duduk di sofa ruang tamu. Pandangannya lurus ke depan, tetapi sebenarnya ia sedang mencuri-curi pandang ke arah Keisha yang sedang sibuk membantu Kaila mengupas bawang. Wajah Keisha tampak berseri-seri meski ia hanya melakukan pekerjaan sederhana. Senyum kecil di bibirnya ketika ia bercanda dengan Kaila membuat Brian merasa semakin tergoda. Kaila, yang menyadari bahwa Brian sudah cukup lama duduk diam tanpa berkata apa-apa, mendekatinya dengan membawa segelas air. "Kenapa kamu menatap ke depan terus, Brian?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis, suaranya terdengar sedikit tajam. Brian tersentak dari lamunannya. Ia menoleh ke arah Kaila, mencoba menyembunyikan pikirannya yang semakin gelap. "Nggak ada apa-apa," jawabnya singkat, diikuti dengan helaan napas kasar. Ia mengambil gelas dari tangan Kaila dan meminumnya sedikit. Kaila memandang suaminya dengan tatapan penuh tanya. "Kamu masih marah soal kemarin?" tanyanya pelan, nada suaranya lebih lembut kali ini. Brian meletakkan gelas di meja dan menatap Kaila sekilas. Hubungannya dengan istrinya masih jauh dari kata membaik. Ada jarak yang semakin lebar di antara mereka, dan Brian tidak tahu apakah ia ingin mencoba memperbaikinya atau justru membiarkan semuanya hancur. "Aku cuma capek, Kaila," jawabnya akhirnya, berusaha menghindari pembicaraan lebih jauh. Kaila mendengus kecil. "Kamu selalu bilang capek setiap kali aku ingin bicara. Apa kita nggak bisa menyelesaikan ini dengan kepala dingin?" Brian menggelengkan kepala dan berdiri, berjalan ke arah pintu belakang rumah. "Aku butuh udara segar," katanya tanpa menoleh. Di halaman belakang, Brian berdiri memandangi langit malam yang dipenuhi bintang. Namun, pikirannya tidak sedang menikmati keindahan malam. Sebaliknya, ia semakin memantapkan niatnya untuk menjalankan rencana yang sudah mulai terbentuk di pikirannya. "Kenapa aku dulu mau menikah dengan Kaila?" gumamnya pelan pada dirinya sendiri. "Wanita mandul yang malah menyalahkan aku atas semuanya." Ia mengingat kembali masa-masa sebelum menikah. Jika saja ia tahu Kaila tidak bisa memberinya anak, mungkin ia tidak akan pernah melamar wanita itu. Mungkin ia akan memilih wanita lain, seseorang yang lebih "sempurna" di matanya. Tetapi sekarang, setelah tujuh tahun pernikahan yang penuh tekanan, ia merasa seolah-olah terjebak dalam hubungan yang tidak memberinya apa-apa selain kekecewaan. Tatapannya kembali terarah pada Keisha, yang kini muncul di pintu belakang dengan membawa segelas teh hangat. Gadis itu tersenyum ramah seperti biasa. "Kak Brian, aku bawakan teh," katanya sambil melangkah mendekat. Brian menerima gelas itu dengan senyum kecil. "Terima kasih, Keisha," ucapnya pelan, matanya tetap menatap gadis itu dengan intens. Keisha tersenyum lagi sebelum berbalik masuk ke dalam rumah. Tetapi bagi Brian, senyuman itu cukup untuk mempertegas niat buruknya. Ia tahu rencana ini salah, tetapi pikirannya yang dipenuhi rasa frustrasi dan egois terus mendorongnya untuk melakukannya. Malam itu, saat semua orang sudah tidur, Brian duduk di meja makan dengan segelas wine di tangannya. Ia memikirkan berbagai cara untuk mendekati Keisha tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia tahu bahwa Keisha adalah gadis yang baik hati, seseorang yang polos dan tidak akan pernah berpikir buruk tentang orang lain. "Dia sempurna," pikir Brian sambil menyeringai kecil. "Dia akan memberiku apa yang Kaila tidak bisa berikan." Namun, di balik pikiran-pikiran kotornya, ada suara kecil yang terus-menerus mengingatkannya bahwa apa yang ia rencanakan adalah kesalahan besar. Tetapi suara itu terlalu lemah untuk melawan keinginannya yang semakin kuat. Hari-hari berikutnya, Brian mulai lebih sering mencari alasan untuk berbicara dengan Keisha. Ia berpura-pura membutuhkan bantuan Keisha dalam hal-hal kecil, seperti memilih baju atau meminta pendapatnya tentang masakan Kaila. Keisha, yang tidak curiga sedikit pun, selalu melayani permintaan kakak iparnya dengan senang hati. Kaila, di sisi lain, tidak menyadari perubahan sikap Brian. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan masalah rumah tangga yang belum juga membaik. Kaila menganggap kehadiran Keisha sebagai berkah karena setidaknya ada seseorang yang bisa membantunya mengatasi tekanan di rumah. Brian tahu, waktunya untuk menjalankan rencana itu semakin dekat. Tetapi ia juga tahu bahwa sekali ia melangkah ke arah itu, tidak akan ada jalan untuk kembali. *** Pagi itu, Brian menuruni tangga dengan langkah santai, tetapi pikirannya sudah penuh dengan rencana. Ia memegang dasinya, seolah-olah sedang kebingungan memasangnya. Saat mencapai ruang makan, matanya langsung tertuju pada Keisha yang sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan sederhana dengan roti dan teh hangat. "Keisha," panggil Brian dengan senyuman kecil di wajahnya, suaranya terdengar hangat, hampir terlalu ramah. Keisha menoleh, menatap Brian dengan senyuman manis khasnya. "Iya, Kak Brian? Ada apa?" Brian berjalan mendekat, menunjuk dasi yang tergantung di lehernya. "Aku butuh bantuan. Kaila tadi pagi-pagi sekali entah pergi ke mana, dan aku tidak bisa memasang dasi ini sendiri. Bisa bantuin aku?" Keisha tersenyum simpul dan meletakkan cangkir tehnya di meja. "Tentu saja, Kak," jawabnya dengan lembut. Ia berdiri dan melangkah mendekati Brian, mengambil ujung dasi itu dengan gerakan hati-hati. Brian berdiri diam, membiarkan Keisha memasang dasi untuknya. Mata pria itu perlahan menatap Keisha dari dekat, memperhatikan wajahnya yang begitu polos dan kulitnya yang seputih salju. Cahaya pagi yang masuk dari jendela membuat wajah Keisha tampak bersinar. Wangi tubuhnya, aroma bunga yang lembut, memenuhi udara di antara mereka. Brian menelan ludah pelan, pikirannya kembali dipenuhi dengan hal-hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. "Keisha... gadis sempurna," pikirnya. Dalam jarak sedekat ini, ia merasa semakin sulit untuk mengendalikan dirinya. Keisha tidak menyadari tatapan intens Brian. Ia dengan telaten memasang dasi itu, tangannya bergerak lembut dan cekatan. "Sudah sering pasang dasi untuk Papa dulu," ucapnya sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. Brian hanya tersenyum tipis, matanya tetap terpaku pada wajah Keisha. "Kamu benar-benar tahu caranya. Aku rasa Kaila pun tidak akan bisa memasang dasi sebaik ini," ucapnya, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. Keisha tertawa kecil, menganggap ucapan itu sebagai pujian biasa. "Ah, Kak Brian bercanda. Kak Kaila pasti bisa kok, dia kan istri Kakak." Brian menggeleng pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Dalam hatinya, ia merasa semakin yakin bahwa Keisha adalah jawaban atas semua keinginannya. Setelah selesai memasang dasi, Keisha mundur sedikit dan menatap Brian dengan senyuman puas. "Sudah, Kak. Rapi sekarang," katanya. Brian merapikan kerah kemejanya dengan tangan, tetapi matanya tidak pernah lepas dari Keisha. "Terima kasih, Keisha. Kamu benar-benar membantu," ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih hangat. Keisha mengangguk kecil, lalu kembali ke meja makan untuk melanjutkan sarapannya. Brian, di sisi lain, tetap berdiri di tempatnya, memandangi Keisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Pagi itu berlalu dengan suasana yang tampak biasa, tetapi bagi Brian, sesuatu telah berubah. Ia merasa semakin dekat dengan Keisha, bahkan meskipun gadis itu tidak menyadarinya. Di dalam hatinya, ia mulai merancang langkah berikutnya, memastikan bahwa rencana busuknya akan berjalan dengan sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN