05. Kau Yang Salah

1157 Kata
Keisha duduk dengan tenang di ruang tengah, menghadap pasangan suami istri yang akhir-akhir ini sering terlihat tidak akur. Ia menghela napas pelan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang sudah ia pikirkan sejak beberapa hari terakhir. Dengan nada suara lembut, ia membuka pembicaraan. "Kak Kaila, Kak Brian, besok pagi aku harus kembali ke Singapura," ujar Keisha, menatap keduanya bergantian. "Aku mau menghadiri wisudaku." Brian yang sedang sibuk memeriksa ponselnya mendadak mengangkat wajah, menatap Keisha dengan ekspresi terkejut. "Wisuda? Besok?" tanyanya cepat, seolah belum siap menerima kabar itu. Keisha mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya, Kak. Sudah waktunya. Tapi aku cuma seminggu di sana. Setelah itu aku pasti balik ke sini lagi." Brian menatap Keisha dengan sorot mata yang sulit ditebak. Mendengar gadis itu akan pergi membuat dadanya terasa sesak, seolah kehilangan sesuatu yang sangat penting. Pikirannya langsung mencari cara agar tetap bisa dekat dengan Keisha, meskipun hanya untuk beberapa hari di Singapura. "Kami senang kamu sudah menyelesaikan studi kamu, Keisha," ujar Kaila pelan, tetapi ada nada bersalah dalam suaranya. "Tapi, maaf ya, aku nggak bisa datang ke wisuda kamu. Aku sudah ada rencana liburan dengan teman-teman ke Labuan Bajo. Sekalian menenangkan diri." Keisha tersenyum maklum. "Nggak apa-apa, Kak Kaila. Aku ngerti kok," katanya lembut, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit kecewa. Brian, yang sejak tadi diam memperhatikan istrinya, mendadak mencibir sinis. "Liburan? Lagi ada masalah rumah tangga malah mikirnya liburan. Bagus sekali, Kaila," ucapnya tajam. Kaila mendengus kecil, menatap suaminya dengan mata berkilat marah. "Aku butuh waktu buat diriku sendiri, Brian. Kamu juga tahu itu." "Dan meninggalkan adikmu sendiri di momen pentingnya adalah cara terbaik untuk menenangkan diri?" balas Brian dingin. Keisha yang duduk di antara mereka merasa tidak nyaman dengan ketegangan yang kembali muncul. Ia berusaha mencairkan suasana dengan senyuman. "Kak, nggak usah ribut. Aku mengerti kok kalau Kak Kaila nggak bisa datang." Brian menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia menoleh pada Keisha, lalu berkata dengan nada yang lebih tenang, "Kalau Kaila nggak bisa, aku yang akan datang ke wisudamu." Keisha terkejut mendengar itu. "Benarkah, Kak Brian?" "Iya," jawab Brian sambil mengangguk. "Kebetulan aku juga ada urusan bisnis di Singapura minggu depan. Jadi, aku bisa sekalian datang ke wisudamu." Kaila memandang Brian dengan tatapan curiga. Ia tahu suaminya, dan alasan "urusan bisnis" itu terasa seperti alasan yang dibuat-buat. Tetapi ia memilih diam, tidak ingin memperpanjang pertengkaran di depan Keisha. Keisha, yang tidak menyadari ketegangan di antara pasangan itu, tersenyum lembut. "Terima kasih, Kak Brian. Aku senang banget kalau Kakak bisa datang." Brian membalas senyuman itu, tetapi ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat suasana terasa aneh. Dalam pikirannya, ia sudah merencanakan segala hal. Perjalanan ke Singapura bukan hanya untuk menghadiri wisuda Keisha, tetapi juga untuk mendekatkan dirinya pada gadis itu tanpa ada gangguan dari Kaila. Keesokan paginya… Keisha bersiap-siap untuk keberangkatannya ke bandara. Dengan koper kecil di tangan, ia berpamitan pada Kaila dan Brian. Kaila memeluk adiknya dengan hangat. "Jaga diri kamu di sana, ya. Maaf banget aku nggak bisa ikut," ujar Kaila dengan nada penuh rasa bersalah. Keisha mengangguk. "Tenang, Kak. Aku baik-baik saja kok." Brian yang berdiri di samping mereka hanya mengamati dengan tatapan tenang, tetapi pikirannya sudah melangkah jauh ke depan. "Aku akan menyusul kamu dua hari lagi, Keisha," katanya sambil tersenyum tipis. Keisha mengangguk penuh semangat, merasa bersyukur masih ada yang akan hadir di hari pentingnya. Setelah berpamitan, ia masuk ke dalam mobil taksi yang menunggunya di depan rumah, meninggalkan pasangan suami istri itu dalam suasana canggung. Saat Keisha pergi, Brian kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Kaila yang masih berdiri di depan pintu. Kaila memandangi punggung suaminya dengan tatapan penuh pertanyaan. Ada sesuatu yang terasa salah, tetapi ia tidak tahu apa itu. Brian, di sisi lain, merasa lebih lega sekarang. Ia memiliki waktu dua hari untuk merencanakan segala sesuatunya dengan matang. Dan dalam pikirannya, ini adalah kesempatan emas untuk menjalankan rencananya tanpa ada gangguan. Keisha adalah jawabannya, dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kaila menyusul Brian yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dengan langkah cepat dan wajah yang penuh tekad, ia menghampiri suaminya yang tengah duduk di ruang tamu. “Brian, aku mau bicara,” ucap Kaila tegas, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Brian melirik sekilas ke arah istrinya. “Apa lagi sekarang, Kaila? Kalau soal Keisha kamu tidak mau menemaninya. Aku akan menemaninya sebagai penggantimu!” “Ini bukan soal Keisha,” Kaila memotong, suaranya meninggi. “Aku mau kita mencoba program kehamilan. Temanku kemarin menyarankan dokter yang bagus. Kita bisa mulai dari sana.” Brian tertawa kecil, nada tawa itu penuh ejekan yang langsung membuat hati Kaila terasa panas. “Program kehamilan? Kaila, kamu sadar nggak, itu cuma buang-buang waktu dan uang?” Kaila memandang suaminya dengan tatapan tajam, matanya berkaca-kaca. “Kenapa kamu selalu berpikir seperti itu? Kita bahkan belum pernah mencobanya! Kenapa kamu nggak bisa sedikit saja percaya kalau mungkin ada harapan?” Brian mendengus, melipat tangannya di depan d**a. “Kaila, masalahnya bukan aku nggak mau mencoba. Masalahnya itu kamu. Kamu yang mandul. Percuma saja kita pergi ke dokter kalau ujung-ujungnya nggak ada hasil.” Mata Kaila melebar mendengar ucapan Brian. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, mencoba menahan amarah yang semakin memuncak. “Brian, jangan seenaknya menyalahkan aku! Kita bahkan belum tahu siapa yang bermasalah di sini! Kamu belum pernah periksa, tapi langsung menuduh aku mandul? Kamu egois!” Brian tersenyum sinis, tatapannya menusuk. “Kaila, aku sehat. Aku nggak perlu diperiksa untuk tahu itu. Kalau sampai sekarang kita nggak punya anak, jelas itu karena kamu.” Kaila merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Brian. Air matanya mulai mengalir, tetapi ia tidak peduli. Ia menunjuk Brian dengan jari yang gemetar. “Kamu kejam, Brian. Kamu lebih peduli pada egomu daripada perasaan aku. Aku ini istrimu! Aku ingin kita berjuang bersama, bukan saling menjatuhkan!” Brian menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi dinginnya. “Kaila, aku cuma realistis. Tujuh tahun pernikahan ini nggak ada hasil apa-apa. Dan aku nggak mau terus hidup dalam ilusi. Kalau kamu nggak bisa menerima kenyataan, itu masalahmu, bukan masalahku.” Kaila terdiam, tubuhnya bergetar karena emosi yang bercampur dengan rasa sakit di hatinya. Ia tahu, hubungan mereka semakin jauh dari kata harmonis. Brian yang dulu ia kenal, yang penuh cinta dan perhatian, kini berubah menjadi pria yang hanya melihat dirinya sebagai masalah. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kaila berbalik dan melangkah cepat menuju kamar. Ia membanting pintu di belakangnya, meninggalkan Brian sendirian di ruang tamu. Brian hanya berdiri di tempatnya, menarik napas panjang sebelum akhirnya duduk di sofa. Ia memijat pelipisnya, merasa frustasi dengan semuanya. Namun, di balik itu, pikirannya kembali melayang pada Keisha. Adik iparnya itu menjadi pelarian dalam benaknya, sosok yang menurutnya bisa menjadi jawaban atas keinginannya yang tidak pernah terwujud bersama Kaila. Sementara di dalam kamar, Kaila duduk di tepi tempat tidur, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis tanpa suara, merasa sendirian dalam pernikahan yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung. Di hatinya, ia bertanya-tanya, apakah semua ini masih bisa diperbaiki, ataukah sudah terlambat untuk menyelamatkan rumah tangga mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN