10. Gara-gara Bekal

1669 Kata
Mulya dan Brian mempelajari riwayat penyakit pasien, sedangkan Alka juga sibuk membaca buku kesehatan. Jam sebelas pasien rawat jalan sudah habis, tinggal menunggu jam untuk visit ke kamar pasien rawat inap. Mulya dan Brian berpikir kalau Alka sibuk membaca, pada kenyataannya tidak begitu karena sesekali Alka akan menatap ke tempat sampah. “Aku akan membuang sampah ini.” Brian berdiri dan mengumpulkan sampah bekas kue kering yang tadi disiapkan oleh pihak rumah sakit. “Jangan buang sampah di situ!” cegah Alka menghentikan Brian yang bersiap menginjak tombol push. “Kenapa, Dok? Bukankah tempat sampah itu memang untuk membuang sampah?” tanya Brian. “Tempat sampah itu penuh,” alibi Alka. “Saya akan mengeceknya,” ujar Brian. “Jangan!” sentak Alka kembali mencegah. Brian dan Mulya saling berpandangan, mereka cukup bingung dengan apa yang dilakukan Dokter Alka. “Kalau sampahnya penuh saya akan membuang ke tempat pembuangan di belakang rumah sakit,” ucap Brian lagi. “Brian, buang sampahmu sendiri ke luar!” titah Alka. “Kan lebih cepat membuang di sini tinggal men-” “Jangan!” desis Alka membuat Brian yang siap menginjak tombol push pun kembali menurunkan kakinya. “Brian, Mulya, visit ke kamar pasien Anggrek nomor dua ratus sepuluh dan dua ratus tiga puluh. Ini daftarnya!” titah Alka memberikan berkas kepada kedua anak koas itu. Mulya menatap jam di pergelangan tangannya, “Belum waktunya visit, Dok,” jawab Mulya. “Cepat kalian duluan, saya akan menyusul setelah ini,” ujar Alka. “Kenapa kita gak bareng saja, Dok?” tanya Mulya. Alka menatap Mulya dan Brian, “Kenapa kalian banyak tanya?” desis Alka. “Iya iya ini kami visit,” ujar Brian segera mengambil berkas dan mengajak Mulya untuk keluar. Awalnya Mulya ogah-ogahan karena masih mau dengan Dokter Alka, tetapi Brian menariknya kuat sampai Mulya mau tidak mau ikut keluar. Setelah Brian dan Mulya keluar ruangan, Alka bernapas lega, pria itu menuju ke tempat sampah dan bersiap menginjakkan kakinya menekan tombol push. Namun, suara pintu terbuka membuat Alka terkesiap dan menatap ke arah sana. Kepala Mulya menyembul di pintu. “Dokter, tadi kamar nomor berapa?” tanya Mulya. “Itu di berkasnya ada,” jawab Alka garang. “Oh, oke.” Mulya mengangkat tangannya di mana jari jempol dan telunjuknya membentuk huruf ‘O. Setelahnya Mulya kembali menutup pintu. Alka kembali ingin membuka tempat sampah dan bersiap mengambil tas yang berisi kotak bekal. Namun, lagi-lagi suara pintu terbuka menghentikan Alka. Kali ini bukan kepala Mulya yang menyembul, tetapi kepala Brian. “Ada apa lagi, Brian?” tanya Alka. “Dokter yakin percaya sama kami?” tanya Brian. “Kalau saya gak percaya, tidak mungkin saya menyuruh kalian,” jawab Brian. “Oh, oke.” Brian mengangguk dan segera menutup pintunya. Arya kembali membuka tempat sampah, saat tangannya sudah memegang tas Mulya yang ada di sana, pintu itu kembali terbuka. Dengan spontan Alka melepaskan tas itu dan menutup kembali tempat sampahnya. “Ada apa lagi, Brian, Mulya?” teriak Alka yang sudah habis kesabarannya. Brian dan Mulya menyembulkan kepalanya bersamaan. “Eh itu, Dok. Kami mau mengucapkan terimakasih sudah percaya kepada kami. Udah itu aja,” jawab Brian kikuk. “Ya sudah cepat kerjakan tugasnya, saya akan nyusul segera. Kalau kalian kembali buka pintu lagi, saya tembak satu persatu kepala kalian,” ancam Alka menggebu-gebu. Karena takut ditembak, Brian dan Mulya langsung kabur dan menutup pintunya cepat. Rasanya Alka sangat emosi melihat kelakuan Brian dan Mulya yang bergantian menyembulkan kepalanya seperti kuyang gentayangan. Sungguh Brian dan Mulya juga sangat berlebihan, sudah tahu kalau dokter Alka memegang stetoskop, tapi masih takut ditembak. Alka menatap ke pintu untuk memastikan baik kepala Brian atau kepala Mulya tidak menampakkan diri. Siapa yang tidak emosi kalau dihadapkan dengan dua pemuda yang menyebalkan seperti Mulya dan Alka. Setelah semuanya aman, Alka mengambil tas milik Mulya dan mengeluarkan kotak bekalnya. Karena penasaran, Alka membuka kotak bekal itu. Senyum setipis tisu terbit di bibir Alka tatkala melihat bekal yang dibuatkan Mulya. Bekal itu berkarakter angry bird, ada kertas kecil bertuliskan “Selamat berkaca, Dokter :--)” Mulya sungguh menganggap Alka seperti burung marah tukang marah itu. “Kamu pikir aku tukang marah?” tanya Alka tertawa kecil, setelahnya pria itu memasukkan bekal ke tas Mulya kembali dan memasukkan juga ke tasnya. Setelah dipikir-pikir, Alka tidak rela kalau makanan Mulya dibuang begitu saja. Alka bergegas menyusul Mulya dan Brian untuk visit pasien. Mulya dan Brian berada di kamar tiga ratus sepuluh, Brian memeriksa pasien yang sudah opname lima hari karena radang usus buntu. Alka menyusul Brian dan mendengar penjelasan Brian yang tengah berbicara dengan pasien. Harus Alka akui baik Mulya maupin Brian sama-sama pintar dan berpotensi, apapun yang dijelaskan oleh Alka, kedua pemuda itu cepat mengerti meski tingkahnya selalu bikin emosi. Alka, Mulya dan Brian melakukan tugas mereka untuk visit ke pasien mereka satu persatu. Hingga mereka selesai tepat pukul setengah dua. Mulya merasa perutnya sangat lapar, bahkan gadis itu sudah berjalan sambil terseok-seok di belakang Alka. Sedangkan Alka seolah robot yang tidak memiliki rasa capek sama sekali. Alka terus berbicara kepada Mulya dan Brian untuk menjelaskan perkembangan pasien-pasien mereka. “Untuk pasien nomor ranjang empat belas, terus awasi setiap saat karena radang ususnya sudah parah dan kalau tidak kunjung sembuh harus diambil tindakan operasi. Pasien ini juga sedikit bandel, meski berada di rumah sakit sering diam-diam memakan mie instan,” jelas Alka. “Kayak kamu, Mul,” bisik Brian pelan. Sayangnya meski pelan, Alka masih bisa mendengarnya. “Tapi aku sudah sembuh meski aku harus operasi, mana gagal lagi operasinya bikin sakit aja. Dokter gemblung,” jawab Mulya terkikik geli. Alka melirik ke arah Mulya. Alka masih ingat jelas saat dulu dia memarahi Mulya dan mengancam akan merujuk Mulya untuk operasi usus buntu kalau Mulya tetap makan makanan pedas. Namun, Mulya malah menghilang tanpa jejak. Satu tahun itu Alka juga tidak mendengar kabar Mulya sedikit pun. Hari ini dia malah mendengar Mulya melakukan operasi dan gagal. “Sekarang gimana? Sudah baik-baik saja?” tanya Brian. “Sudah, dong. Sudah diganti usus kambing, jadi lebih kuat,” jawab Mulya tergelak. “Brian, Mulya, kalian boleh istirahat,” ujar Alka membuat Mulya dan Brian senang. “Ahhh kebetulan lapar banget,” keluh Mulya memegangi perutnya dan lebih dahulu berlari ke kantin. Alka menggeleng pelan melihat kelakuan Mulya. Alka memberikan Mulya dan Brian istirahat satu jam di kantin, sedangkan Alka kembali ke ruangannya. Bukannya istirahat, Alka malah mengotak-atik komputernya. Alka tengah mengecek data-data pasien di satu tahun lalu. Alka merasa tidak melewatkan perkembangan sakit Mulya, dia memang meminta Mulya operasi, tetapi tidak sampai merujuknya. Lantas dimana tempat Mulya operasi? Hal itu membuat tanda tanya besar di otak Alka. Satu tahun Mulya menghilang, Alka mengira kalau gadis itu asik dengan pacar barunya. Namun, pemikiran Alka mulai goyah. Saat Mulya menghilang, bisa jadi Mulya tengah tidak baik-baik saja. Alka menggelengkan kepalanya, “Buat apa aku peduli sama gadis itu,” ucap Alka menutup komputernya dan menyandarkan tubuhnya di kursinya. Alka ingin memejamkan matanya sejenak, tetapi pria itu tidak bisa. Pikirannya semakin berkecamuk hanya tentang Mulya yang menjalani operasi usus buntu, tetapi gagal. **** “Dokter, Dokter tahu gak dimana tas dan bekal makanku? Tadi kan Dokter buang di sini, tapi kenapa sekarang gak ada?” tanya Mulya terus mengorek tempat sampah dengan tangan yang sudah memakai hand glove. “Sampah di sana sudah saya buang ke belakang,” jawab Alka. “Kenapa dibuang beneran?” tanya Mulya tidak terima. “Namanya sampah ya jelas untuk dibuang, lagi pula buat apa ditimbun di ruangan saya?” tanya Alka balik. “Tapi, Dokter. Itu makanan,” keluh Mulya. “Aku akan mencari kotak makanku di tempat sampah belakang,” tambah Mulya segera berlari, Alka yang melihat itu segera mengejar Mulya, “Mulya, jangan!” pekik Alka. Mulya tidak peduli dan terus berlari untuk menuju tempat pembuangan akhir di rumah sakit itu. Mulya menatap banyaknya tempat sampah di sana. Buru-buru Mulya mencari tas dan kotak makannya. Alka memegang pundak Mulya dan memaksa gadis itu untuk menatapnya. “Mulya, saya yang salah, saya akan mengganti kotak makan itu,” ujar Alka. “Ini bukan tentang kotak makannya, Dokter. Tapi isinya, aku sudah capek-capek membuatkan nasi bento untuk Dokter,” jawab Mulya. “Kalaupun ketemu, mungkin nasi bentonya sudah basi,” ujar Alka lagi. “Aku gak peduli kalau itu basi, tapi aku harus menunjukkan kepada Dokter. Aku sudah membuatkan khusus untuk Dokter, pokoknya Dokter harus melihat kembaran Dokter di nasi bento itu,” oceh Mulya masih menepis tangan Alka dan terus mencari kotak makannya. Alka tercenung mendengar ucapan Mulya. Gadis di depannya sungguh niat memberikan nasi itu kepadanya, sedangkan dia malah membuangnya tadi. “Aku sudah menciptakan kembaran Dokter, pasti Dokter senang melihat bento itu. Sayangnya Dokter keburu buang,” keluh Mulya. “Mulya, sudah, Mulya. Itu sampah bekas suntik, nanti tertular penyakit. Ayo!” Alka menarik tangan Mulya dan mengajak gadis itu untuk pergi dengan paksa. Mulya memberontak, tetapi Alka tetap membawanya pergi. “Aaaa … Dokter, aku mau nyari bentoku,” rengek Mulya. “Sebagian sampah sudah dibuang ke pembuangan akhir kota ini,” jawab Alka. “Dimana tempat pembuangan itu?” tanya Mulya. “Jangan gila!” desis Alka. “Kalau untuk Dokter, aku rela gila,” jawab Mulya yakin. “Baik, kotak makan itu sudah saya bawa,” aku Alka pada akhirnya. Mulya menatap berbinar ke arah Alka saat mendengar ucapan Alka. Sedangkan Alka segera melepas tangannya dari tangan Mulya dan berjalan lebih dahulu. Giliran Mulya yang mengejar. “Dokter beneran sudah mengambil makanannya?” tanya Mulya senang. “Sekarang makanannya dimana, Dok?” “Dokter sudah memakannya?” “Dokter suka gak?” “Dokter melihat pesan di kertas yang ada di sana gak?” Mulya terus mengoceh bertanya kepada Dokter, sedangkan Alka tetap diam saja sambil berjalan menuju ke ruangannya. Mulya mengikuti Dokter dan mendesak jawaban dari pria itu. “Dokter jawab, Dokter!” desak Mulya. “Ya, bekalnya masih ada di saya, sudah saya buka, sudah saya baca tapi belum saya makan. Kita makan sama-sama!” sentak Alka yang sudah hilang kesabaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN