11. Mulai Dekat

1345 Kata
“Em Pak Dokter, Pak Dokter.” Mulya menusuk-nusuk lengan dokter Alka dengan pelan. Senyum manis menghiasi wajah Mulya saking senangnya gadis itu. Mulya menatap Alka yang kini wajahnya semerah tomat. Mulya terus memanggil-manggil Dokter Alka, sedangkan sang empu hanya diam saja. Saat ini waktu menjelang magrib, bukannya pulang, mereka malah berada di taman belakang rumah sakit. Alka dan Mulya duduk berdua di sana, meski sudah mepet, tetapi Thalia tetap menggeser duduknya agar lebih mepet dengan Alka. “Dokter, kenapa Dokter bohong?” tanya Mulya yang masih mendesak jawaban dari Alka. Alka memejamkan matanya sejenak, jujur Alka tidak tahu harus menjawab pertanyaan Mulya bagaimana. Tadi Alka sudah mati-matian sembunyi untuk mengambil bekal Mulya yang sudah dia buang, tetapi pada akhirnya ketahuan juga. Saat ini Mulya senang bekalnya ada di tangan Alka. “Dokter ambil bekalku padahal sudah dibuang. Kenapa, Dokter? Sadar kalau sudah menyukaiku?” tanya Mulya menusuk-nusuk lagi lengan Alka. “Pikiran saya tidak sesempit pikiranmu. Mengambil bekal bukan berarti karena suka sama kamu. Saya mengambilnya karena lapar,” jawab Alka. “Gak usah gengsi, Dok. Kalau suka sama aku gak apa-apa kok. Aku juga suka Dokter,” ujar Mulya. Alka menggelengkan kepalanya pelan, pria itu membuka bekal makanan yang tadi dia ambil dari tempat sampah. Angry bird itu masih utuh, pun dengan kertas yang ditulis Mulya. “Lihat, sama kayak Dokter Alka kan?” Mulya menunjuk burung marah itu. “Bagaimana kamu bisa menyamakan saya dengan burung pemarah ini? Beda jauh.” “Sama, coba deketin kotaknya!” titah Mulya menarik bekal makan itu dan mendekatkan ke wajah Alka. Mulya tertawa terbahak-bahak melihat wajah Alka dan Angry bird bergantian. Bahkan dengan usil Mulya mengeluarkan hpnya dan memotret wajah Alka beserta bentonya. “Mulya, apa yang kamu lakuin?” tanya Alka menghalau hp Mulya. “Aku mengabadikan momen Dokter Alka ketemu sama kembaran,” jawab Mulya masih tertawa. Alka mengambil alih hp Mulya dan melihat hasil fotonya. Alka menahan senyumnya yang akan terbit karena ulah gadis di sampingnya. “Jangan dihapus!” cegah Mulya mengambil alih hpnya dan segera menyumbunyikan ke sakunya. Mulya tidak mau kalau momen itu dihapus oleh Alka. Mulya memberikan lagi bentonya kepada Dokter Alka, “Dokter, ayo makan!” titah Mulya. Alka mengambil sendok dan mulai memakan nasi bento Mulya. Meski nasi itu sempat dia buang ke tempat sampah, tetapi tidak kotor karena masih terbungkus paper bag. Alka harus mengakui kalau masakan Mulya sangat enak. Apalagi telur gulung bercampur bayam dan sayuran lain. “Mulya, ini masak sendiri apa beli?” tanya Alka. “Masak sendiri dong. Kalau beli mah rasanya lebih enak karena pewarna merahnya pakai buah bit, aku kan pakai pewarna plastik,” jawab Mulya membuat Alka tersedak makanannya sendiri. “Uhuk uhuk.” Alka terbatuk-batuk dan meletakkan bentonya dengan kasar. Alka juga menatap tajam ke arah Mulya, sedangkan Mulya malah tertawa terbahak-bahak. Mulya memegangi perutnya saking kencangnya dia tertawa. “Mulya, kenapa kamu memberiku makanan dengan pewarna plastik?” tanya Alka tidak terima. “Oh Dokter, jangan marah-marah, Dok!” pinta Mulya berusaha menghentikan tawanya. “Jangan marah-marah lagi, pakai buah bit kok tenang saja,” tambah Mulya. Alka masih menatap curiga ke arah Mulya, sedangkan Mulya sudah tidak tertawa lagi dan menatap serius ke Alka. “Aku berani bersumpah ini dari buah bit. Lagi pula aku disarankan Dokter untuk makan makanan sehat, pagi tadi aku sarapan pakai menu yang sama kok, tidak mungkin aku makan makanan dari pewarna plastik,” jelas Mulya. Alka tercenung mendengar ucapan Mulya. Dokter yang mana yang menyarankan Mulya makanan sehat? Alka yakin kalau Dokter yang dimaksud Mulya bukanlah dirinya, pasalnya saat dia menyarankan Mulya makanan sehat, Mulya malah semakin menjadi makan makanan pedas. “Dokter siapa yang kamu maksud?” tanya Alka. “Dokter aku sendiri. Aku kan calon Dokter, Dokter Mulya,” jawab Mulya semangat. “Semoga pasiennya tidak mati saat kamu yang menangani,” ejek Alka. “Malahan yang mati hidup lagi kalau aku yang menangani,” kata Mulya bercanda. Alka meneruskan makan nasi bento Mulya sampai tandas, cowok itu memang kebanyakan gengsi, tadi sok-sokkan tidak ingin makanan Mulya, tetapi setelah tahu rasanya malah dihabiskan tanpa sisa. Kalau kotak makannya bisa ditelan, mungkin Alka langsung menelannya. “Tolong jalannya. Pasien gawat darurat!” Suara nyaring menyuruh orang-orang menyingkir dari jalur darurat terdengar. Dengan spontan Mulya berlari dan mengejar perawat yang mendorong brankar pasien. “Pasien kenapa?” tanya Mulya ikut berlari menyamakan langkah dengan dua perawat itu. “Pasien mengalami sesak napas karena terdesak di kerumunan,” jawab salah satu perawat. Mulya segera mengecek denyut nadi pasien, melonggarkan pakaian yang ketat dan memijat bawah tengkuk untuk memudahkan pasien bernapas. Alka ikut mengejar Mulya, pria itu tidak membantu menolong karena Mulya sudah melakukan pertolongan pertama. “Sudah selesai, bawa ke ruang UGD!” titah Mulya. Beberapa perawat berlarian karena pasien yang datang dengan keluhan sesak napas tidak hanya satu, tetapi banyak. Mulya melakukan pertolongan pertama sembari menunggu Dokter utama. Pun dengan Alka yang tadi hanya melihat kini turut membantu melakukan pertolongan pertama, bahkan Dokter itu sampai lupa belum minum. Dalam keadaan leher yang masih seret, Alka membantu pasien-pasien yang masuk. Mulya mendengar beberapa orang yang ikut mengantar berbicara kalau pasien-pasien itu korban dari sebuah pesta yang orangnya melebihi kapasitas gedung hingga banyak yang sesak napas hingga dilarikan ke rumah sakit. Kening Mulya sudah bercucuran keringat saking banyaknya pasien, apalagi ada yang mual-mual hebat. Untungnya beberapa dokter langsung membantu untuk mengecek lebih lanjut keadaan pasien itu. Jam kerja Alka dan Mulya sudah habis, bahkan Brian saja sudah pulang lebih awal. Namun, mereka adalah tenaga medis, saat ada pasien yang membutuhkan pertolongan, mereka siap tidak siap tetap harus siap. Hingga pukul delapan malam mereka sudah selesai menangani pasien-pasien. Bekas muntahan juga sudah diteliti untuk mengetahui penyakit lebih lanjut. Mulya keluar dari ruang UGD dengan kening yang bercucuran keringat, gadis itu baru merasakan capek hari ini. Mulya menunggu di depan ruang UGD jikalau kehadirannya kembali dibutuhkan. Alka keluar dari ruang UGD dan menatap Mulya yang terlihat lelah. Bibir Alka sedikit terangkat ke atas, dia cukup kagum dengan jiwa sosial Mulya yang tinggi. Kalau begini, Alka merasa bersalah karena sering memarahi gadis itu. Alka menghampiri Mulya, “Kamu sudah boleh pulang,” ucap Alka. Mulya segera berdiri, “Apa tidak lagi membutuhkan bantuanku?” tanya Mulya. Alka menggeleng membuat Mulya mengangguk. “Oh iya, kamu naik apa tadi?” tanya Alka. “Naik ojek,” jawab Mulya. “Dimana rumah kamu?” tanya Alka lagi. “Di Jalan pahlawan nomor sebelas.” “Satu arah, ayo sekalian naik mobil saya!” ajak Alka berjalan lebih dahulu. “Beneran, Dok?” tanya Mulya berbinar. Rasa capek yang dialami Mulya seketika hilang saat mendengar ajakan Alka. “Dokter beneran nebengin aku, kan? Nanti jangan diturunin di tengah jalan, ya!” pinta Mulya. Alka tidak menanggapi dan menuju ke parkiran, cowok itu menuju ke mobilnya dan membuka pintunya di balik kemudi. “Eh Dokter, ini aku gak dibukakan pintu?” tanya Mulya. Alka tetap tidak menjawab membuat Mulya cemberut, cewek itu pun membuka mobil dan duduk di samping Alka. “Ah Dokter gak romantis, masak ngajak cewek gak dibukain pintu,” keluh Mulya. “Kamu bisa membantu banyak pasien dengan sigap, masak buka pintu sendiri gak bisa,” jawab Alka. “Ya kan berbeda, Dokter. Tapi gak apa-apa deh, yang penting aku duduk di sini,” jawab Mulya menarik sabuk pengamannya. “Eh Dokter, selain aku siapa yang sudah duduk di sini?” tanya Mulya. “Jangan ada orang lain yang duduk di sini, ya. Hanya boleh aku,” kata Mulya lagi. Mulya terus bernyanyi-nyanyi seorang diri saking senangnya dia naik di mobil Alka. Tidak berapa lama mereka sampai tepat di kediaman Mulya. “Dokter, berhenti di sini. Makasih ya,” ujar Mulya senang. “Iya,” jawab Alka. Mulya mencium kursi mobil Alka, “Ini tempat dudukku, gak boleh yang lain,” kata Mulya segera turun. Alka tertawa kecil dan menjalankan mobilnya untuk menjauh dari rumah Mulya. Bohong kalau rumah Alka dan rumah Mulya searah, nyatanya rumah mereka berbeda arah. Setelah Mulya masuk ke rumahnya, Alka langsung memutar mobilnya dan menjalankan kencang untuk pulang ke rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN