Aku masih menikmati kayuhan sepeda menuju ke desaku yang berjarak beberapa km dari kota kecamatan ini selepas pulang sekolah. Tapi, sesuai kata peribahasa yang diajarkan guru Bahasa Indonesia.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Aku tak tahu kalau hari ini, aku akan mendapatkan pengalaman terburuk pertamaku yang sama sekali tak kusangka-sangka. Di kehidupanku yang lalu, aku pendiam dan canggung. Aku tak akan seberani tadi dan maju ke papan tulis untuk menjawab soal.
Seingatku, aku hanya akan diam dan menundukkan kepalaku lalu melihat ke meja tanpa bergeming. Sekalipun aku tahu jawabannya.
Tapi tadi, aku dengan percaya diri maju dan mengerjakan soal itu. Pak Joyo yang tersenyum bangga ke arahku dan juga tatapan sinis yang dia berikan ke arah Tjandra.
Dan itu semua menjadi sumber bencana bagiku.
Tjandra tak mungkin membalas Pak Joyo. Jadi sebagai gantinya, aku yang akan dia jadikan sasaran.
Saat aku mengayuh sepeda perlahan-lahan di jalanan yang lumayan lengang, lima orang anak dengan lima buah sepeda ontel yang modelnya mirip denganku sedang berdiri di pinggir jalan.
Mereka terlihat sesekali melirik ke arah SMAku, aku tanpa curiga tetap mengayuh sepedaku karena jalan ini memang yang menuju ke desaku. Sesampainya di sebelah mereka, aku menganggukkan kepalaku sebagai bentuk sapaan ke arah kelima anak itu.
Yang tanpa kusangka-sangka, salah satu dari mereka tiba-tiba menghadang laju sepedaku saat aku lewat di samping mereka.
"Jin, tunggu dulu! Buru-buru amat," kata si Paijo yang berbadan paling gempal di antara mereka berlima.
Oiya aku lupa bilang, mereka berlima ini adalah gengnya si Tjandra. Ketuanya jelas si China yang bernama Tjandra, anggotanya si Paijo, Darman, Wage dan Rebo.
Tjandra adalah anak pengusaha kaya dari marga Tionghoa, sedangkan Wage dan Rebo adalah anak pedagang sukses di pasar Kecamatan sana. Darman adalah seorang anak guru SMP, karena itu namanya adalah yang terbagus diantara mereka semua. Dan yang terakhir adalah si gempal yang bernama Paijo. Yang aku tahu Paijo adalah anak seorang Carik, tapi aku tak tahu Bapaknya carik dimana.
Entah karena faktor ekonomi atau karena faktor kecerdasan otak, tapi si Paijo yang berbadan gempal memang menjadi gacoan geng ini untuk urusan berkelahi atau intimidasi, seperti yang aku alami sekarang.
"Aku memang buru-buru, Jo," jawabku sambil berusaha melepaskan tangan Paijo yang memegangi stang sepedaku.
"Kau tadi ngapain ha? Cari muka sama Pak Joyo ya?" tiba-tiba terdengar suara hardikan dari samping disertai sebuah pukulan yang tiba-tiba melayang dan mengenai ke pelipis kiriku.
Aku merasakan kepalaku berkunang-kunang dan tersungkur jatuh.
"Sok-sokan!!" maki suara lain entah siapa karena aku setengah tak sadarkan diri.
"Hajar!!!" kalau yang ini aku tahu suara siapa, suara si sipit Tjandra, bedeb@h, liat saja nanti!!
Tubuhku yang terjatuh pun menjadi sasaran tendangan, pukulan, dan ciuman yang bertubi-tubi dari Tjandra dan kelima gengnya.
Aku hanya meringkuk tapi sama sekali tak merintih ataupun menangis. Aku hanya meringkuk dan mengatupkan rahangku kuat-kuat, menikmati semua rasa sakit yang terasa membuatku ingin pingsan.
Beberapa menit kemudian, sebuah suara teriakan seseorang terdengar dan menghentikan ulah kelima anak yang baru saja menghajarku.
"Hentikan!!"
"Kabur!!" teriak salah satu cecunguk si Tjandra dan tak lama kemudian mereka semua menghilang.
Aku masih meringkuk di tanah pinggiran jalan tadi dan sama sekali tak berganti posisi. Sekujur tubuhku terasa sakit semua.
"Kamu nggak pa-pa Jin?" terdengar suara lembut penuh nada kuatir dari sebelah atasku, suara yang sangat kukenal.
Aku membuka mata dan melihat ke arah suara lembut itu berasal dan saat itulah aku terpana. Aku melihat seorang bidadari yang turun dari surga. Sumpah.. Ups, oke deh lebay. Tapi seriusan, cewek ini manis sekali.
Tapi, kok dia kenal aku?
Aku lalu mencoba membuka mataku lagi lebar-lebar dan saat itulah aku dapat mengenali si pemilik senyuman manis yang bagaikan bidadari itu.
Mala.
Nama lengkapnya Kumalasari, tapi panggilannya Mala. Teman duduk sebangkuku. Ups salah, bukan sebangku ya, semeja, kami berbeda bangku.
"Kamu nggak pa pa kan?" tanya si Mala untuk yang kedua kalinya ke arahku dengan raut muka kuatir, tapi sama sekali tak mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Mala melipat dan mendekap tas sekolahnya dengan erat di depan dadanya. Aku sedikit heran dengan tingkahnya, tapi oke lah, setidaknya dia menolongku mengusir geng cecunguk b*****h lucknut tadi.
Aku berdiri dengan susah payah lalu meludahkan darah yang terasa asin di bibirku. Sesaat kemudian aku meraih sepedaku yang terjatuh tak jauh dari tempatku berdiri. Aku lupa kalau aku belum membalas sama sekali pertanyaan si Mala ataupun mengucapkan terima kasih kepadanya.
Kami berdua berdiri dengan canggung dan saling berdiam diri tanpa tahu harus berkata apa.
Tunggu dulu!! Aku kan bukan Jin yang pendiam dan introvert. Aku Jin yang baru. Dan entah kenapa, aku baru sadar kalau si Mala ini manis bener. Jauh lebih manis daripada semua cewek yang pernah kutemui bahkan di kehidupanku yang lalu.
Oke, memang sedikit lebay sih, maksudku, manis si Mala itu, manis alami gitu. Bukan manis kena polesan bedak bermerk atau skin care yang harganya bisa puluhan juta sekali perawatan ala artis-artis sinetron gitu.
Ini manis dan cantik alami cuyy..
Aku menarik napas dalam dan menoleh ke arahnya, Makasih ya Kumala, kataku pelan.
Mala terlihat sedikit kaget dan meloncat di tempatnya. Ekspresinya juga lucu banget, mirip kartun-kartun pas lagi kesetrum gitu.
"Pffftttttt," aku tak dapat menahan tawaku lagi akhirnya tertawa terbahak-bahak, Hahahaahahahahaha,
Tapi beberapa detik kemudian rasa nyeri di perut dan punggung membuatku harus menghentikan tawaku yang tadi lepas tak terkendali, Ughhhhhh.
Aku mendengar suara dari sebelahku dan terpana saat melihat si bidadari tertawa kecil sambil menutupi bibirnya. Imut sekali. Kek tokoh-tokoh cewek di anime jepang gitu, kawaiiii.
"Kamu ngetawain aku ya?" tanyaku ke si Malapetaka.
Mala mencoba menahan tawanya lalu mendenguskan napas kesal, "Huft!! Kan Rajin duluan yang ngetawain aku tadi? Kita impas lah!!" sungutnya.
"Iya juga sih. Lagian kan..."
Aku tak berniat melanjutkan debat kecil kami, Makasih ya bisikku pelan sambil mulai berjalan dan mendorong sepedaku.
Si Mala mengikuti langkah kakiku dan berjalan di sebelahku. Masih tetap mendekap tas sekolah di dadanya dan berjalan sambil menundukkan kepala.
Aku menunggu reaksi Mala yang masih terdiam sambil berjalan pelan-pelan di sebelahku. Rasa sakit dan cenat-cenut di beberapa bagian tubuhku tak begitu terasa lagi saat aku melirik ke gadis manis di sebelahku.
Butakah aku?
Hampir setahun aku sebangku dengan si Mala, tapi kok baru sekarang kalau aku nyadar dia cantik luar binasa.
Atau mungkin, sebelum ini, jangan-jangan Jin yang asli memang banci dan tak suka dengan wanita, lalu saat aku datang dari masa depan dan mengambil alih tubuhnya, tubuhku sendiri juga, beberapa minggu lalu, barulah orientasi seksual tubuh ini kembali normal?
Tapi apapun itu, yang pasti, aku sekarang sedang berjalan dengan seorang gadis manis teman semejaku. Si manis yang aku rela kalau dia jadi pacar pertamaku. Meskipun aku sendiri tak yakin kalau ini yang namanya cinta pada pandangan pertama, tapi aku yakin aku rela untuk menidurinya. Buakakakakaka.