"Saya nggak nyangka lho Den kalau tubuh Aden sebagus ini," gumam Atmo sambil memandangku dengan tatapan kagum.
"Maksud sampeyan apa Kang?" tanyaku sambil tertawa kecil.
"Anu..." Atmo sedikit ragu lalu menoleh ke kiri dan kekanan.
"Jangan marah ya Den?" tanya Atmo kemudian.
"Nggak marah kok, Kang," jawabku.
"Anu... Di kebun, Aden tu terkenal," kata Atmo sambil menundukkan kepalanya.
"Terkenal?" tanyaku.
"Iya, orang kebun sering bilang kalau Aden tu..." Atmo berhenti berbicara dan menatapku agak takut.
"Mereka bilang aku ni apa, Kang?" aku penasaran dengan apa yang mereka katakan tentangku.
"Mmm. Mereka bilang Aden itu banci," gumam Atmo pelan.
"Ha? Banci?" aku sedikit kaget, "kok bisa?" tanyaku keheranan.
"Anu.. Itu soalnya Aden kan dah usia dewasa. Tapi di rumah terus. Ndak pernah keluar, ndak punya gadis, jadi mereka mikirnya kalau Aden tu nggak normal," jawab Atmo sambil menundukkan kepalanya.
"Bangkeee!!" aku cuma menggeleng-gelengkan kepalaku ketika mendengar kata-kata Atmo.
"Emang harusnya aku gimana, Kang?" tanyaku.
"Ya itu.. Aden cari cewek kek, atau keluar main bola, atau jalan-jalan ke kota. Yang kayak gitu lah Den," jawab Atmo.
"Hmmm. Jadi aku dianggap banci ya?" gumamku sambil menerawang ke kebun jeruk di sebelah belakang rumahku.
=====
Aku meletakkan tas sekolahku seperti biasa ke sandaran bangku belakangku.
SMA pada jamanku adalah sebuah kemewahan, hanya anak-anak yang terlahir sedikit beruntung sepertiku bisa nenikmatinya.
Tiap angkatan hanya ada satu kelas, dan kelasku sendiri berisi 30 orang. Sebagian besar adalah laki-laki dan hanya sebagian kecil perempuan.
Masih banyak orang tua yang berpikiran kolot dan tak mau menyekolahkan anak perempuannya setinggi mungkin.
Huft. Tapi aku tak begitu peduli. Toh selama ini juga nggak pernah peduli.
Tak lama kemudian, pelajaran dimulai, tipikal guru jaman dulu, galaknya minta ampun, suaranya menggelegar dan suka melakukan kekerasan kepada muridnya kalau lagi punya masalah di rumahnya.
Jaman aku sekolah, tak ada yang pake jilbab seperti di masa milenial. Pak Guru dan Bu Guru juga masih memakai baju seragam dengan sepatunya yang berbunyi ctak ctok di lantai.
Kami diharuskan mendengarkan pelajaran dengan sungguh-sungguh, tangan terlipat di atas meja, pandangan mata lurus ke papan tulis atau ke arah Guru yang sedang menerangkan.
Tapi di setiap era, tentu saja selalu ada anak-anak yang menjadi biang kelas, sama seperti kelasku ini. Mereka terdiri dari sekelompok multi bangsatt, eh salah, multi bangsa, yang mencoba untuk mendominasi anak-anak lainnya. Istilah gampangnya, mereka bikin geng gitu.
Aku memang pendiam, jadi sedari awal, jangankan geng, aku bahkan tak akrab dengan teman sebangkuku sendiri. Seorang gadis yang bernama Kumalasari dan sering dipanggil Mala. Aku dan Mala lebih sering saling diam dan tak berbicara sepanjang pelajaran.
Dan seperti sinetron di televisi pada jaman bobrok moral tahun 2000 keatas nanti, geng pembuat onar yang terdiri dari lima orang anak itu, asyik ngobrol sendiri. Lama kelamaan suara mereka makin keras dan Pak Joyo pun merasa terganggu dengan ulah mereka.
"Tjandra! Coba maju, kerjakan soal ini!" teriak Pak Joyo menggelegar.
Tjandra terlihat sedikit kaget lalu dengan cuek maju ke depan kelas dan berusaha mengerjakan soal di papan tulis sebisanya, dan hasilnya? Tentu saja salah, orang dia nggak merhatiin dari tadi.
Pak Joyo menepuk-nepuk penggaris di tangannya lalu melambaikan tangan ke arah Tjandra, "Ulurkan!" perintah Pak Joko.
Tanpa dijelaskan Tjandra tahu apa yang diminta oleh guru Matematika yang galak ini. Tjandra pelan-pelan mengulurkan tangannya ke arah Pak Joyo, lalu dengan gerakan secepat kilat dan suara sekeras petir.
Bletakkkkkk.
"Aduuuuhhhhhh," Tjandra langsung meringkuk menahan sakit di permukaan tangannya yang baru saja mendapatkan serangan golok pembunuh naga di tangan Pak Joyo.
"Bangun!" perintah Pak Joyo ke arah Tjandra yang meringkuk dan berjongkok kesakitan di lantai.
Anak-anak yang lain hanya tertawa tertahan atau melirik kasihan ke arah si Tjandra. Tjandra yang mendengar perintah Pak Joko mengatupkan rahangnya dan kembali berdiri tegak di depan gurunya itu.
"Ulurkan!" perintah Pak Joko.
Dengan tubuh gemetaran, Tjandra kembali mengulurkan tangannya ke arah Pak Joyo.
Wusssshhhhhhh.
Suara deru angin yang menyayat hati tiba-tiba terdengar, disambut dengan suara letupan kasih sayang dari tangan Tjandra yang terkena sabetan penggaris kayu dari Pak Joyo.
Bletakkkkkkkk.
"Ampun Pakkkk," teriak Tjandra akhirnya menyerah kalah dan memohon ampun agar kenikmatan yang diberikan oleh Pak Joyo segera berakhir.
"Makanya, dengerin kalau lagi pelajaran!" kata Pak Joko sambil melambaikan tangannya yang memegang penggaris kayu ke arah kursi Tjandra.
Bagaikan tahanan mati yang mendapatkan amnesti, Tjandra menghilang dari depan kelas dan sepersekian detik kemudian, dia sudah kembali duduk di kursinya sambil meringis menahan sakit.
"Rajin!! Coba kamu kerjakan soal hitungan ini!!" perintah Pak Joyo tak lama kemudian.
Aku berdiri dengan sigap dan mengerjakan soal di papan tulis itu dengan cepat. Tak lama kemudian aku kembali duduk di bangkuku.
"Tjandra, kamu lihat itu Rajin. Sesuai namanya, dia memperhatikan di kelas, makanya dia bisa mengerjakan soal ini dengan mudah. Kamu seharusnya meniru dia!" kata Pak Joyo.
Dan setelah itu tak ada insiden apa-apa lagi di dalam kelas.
Aku berangkat dan pulang sekolah naik sepeda ontel merk Rayleigh yang dibelikan oleh Bapakku.
Sama seperti semua teman-temanku, tak ada motor waktu itu, kalaupun ada, bukan untuk kami-kami ini yang hanya murid kelas 2 SMA.
Aku tanpa curiga menaiki sepedaku dan meninggalkan SMA ku yang berada di kota kecamatan dan berniat pulang. Tak ada niat keluyuran atau apa, karena aku memang lebih nyaman berada di rumahku sendiri.
Untuk sesaat aku jadi bertanya-tanya, apa benar aku ini banci seperti yang disangkakan oleh buruh-buruh kebun anak buah Bapak?
Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aku tahu kalau aku bukan banci, toh aku masih bernafsu saat melihat lawan jenis. Ah biarkan saja, kataku sambil terus mengayuh sepeda.
Pada masa kami, Guru sangat dihargai dan dihormati. Saat ada kasus seperti Tjandra tadi, tak mungkin Tjandra atau keluarganya melabrak ke Pak Joyo atau bahkan membuat laporan ke polisi dengan pasal penganiayaan.
Dulu saat aku membaca koran sebelum berangkat bekerja di kehidupanku yang lalu, terkadang aku hanya geleng-geleng kepala saat membaca berita orang tua siswa mengadukan oknum guru ke polisi karena kasus penganiayaan sang anak yang tentunya adalah murid sang Guru.
Sebagai orang tua, mereka harusnya melihat terlebih dahulu kronologi yang benar tentang apa yang terjadi. Sekalipun mereka sudah mendapatkan laporan sepihak dari sang anak, mereka harus mencari point of view orang kedua agar lebih berimbang.
Mungkin karena sang ortu merasa kalau melakukan itu adalah wujud kasih sayang orang tua, padahal kan kita diijinkan untuk memukul anak kita jika pada usia baligh mereka tak mau sholat misalnya.
Kenapa malah ngelantur? Ish.