12. Ruangan Terlarang

1641 Kata
Seperti yang Christian katakan, seorang pria menjemput Eleanor di rumah sakit lalu membawanya menggunakan mobil Mercedes-Benz hitam. Pria bernama Samuel yang mengaku sebagai sopir pribadi Christian. Selama di perjalanan, Eleanor terus meremas ujung bajunya dengan gugup. Beberapa kali ia menghela napas panjang sambil berusaha mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, mobil mereka memasuki kawasan perumahan elit yang sangat sepi dengan rumah-rumah yang berjarak cukup jauh dan memiliki halaman luas. Tak berapa lama, mobil berhenti di pekarangan salah satu rumah. Eleanor lalu keluar dari mobil dan tertegun melihat rumah di hadapannya yang jauh lebih besar dan megah dari rumah-rumah lainnya. Itu adalah rumah berwarna putih berlantai dua yang kokoh dengan halaman luas terawat. “Masuklah,” sahut Samuel yang membuyarkan lamunan Eleanor. “Ba, baik,” ucap Eleanor kemudian bergegas menyusul pria itu masuk ke dalam rumah. Di sepanjang langkahnya, Eleanor tak berhenti mengangumi interior rumah Christian yang sangat indah. Meski terlihat simpel, tapi semuanya terlihat begitu elegan. Eleanor menghentikan langkahnya ketika Samuel berhenti di jalan penghubung antara ruang tamu dan dapur. “Perry,” panggil Samuel pada wanita bersetelan hitam tersebut. “Apa yang kau lakukan di sini? Di mana Tuan?” tanya Perry dengan suaranya yang tegas. “Tuan masih berada di rumah sakit,” jawab Samuel kemudian sedikit menggeser tubuhnya hingga membuat Perry dapat berhadapan dengan Eleanor. “Ini adalah Eleanor. Mulai hari ini dia akan tinggal di sini dan bekerja sebagai asisten pribadi Tuan,” terangnya. “Asisten pribadi?” tanya Perry dengan wajah datar. “Ya. Tuan sendiri yang memintaku membawanya ke sini. Kupikir Tuan juga sudah memberitahumu tentang hal ini,” tutur Samuel. Sejenak Perry terdiam sambil berusaha mengingat. Tak lama, akhirnya ia ingat bahwa semalam Christian tiba-tiba memintanya untuk membersihkan kamar tamu di lantai satu. Ternyata kamar itu akan digunakan oleh Eleanor. “Eleanor, dia adalah kepala pelayan di rumah ini. Kau boleh memanggilnya Perry seperti yang lain. Kau juga bisa mencarinya jika kau membutuhkan sesuatu,” tukas Samuel. Eleanor mengangguk mengerti. Dengan memberanikan diri, ia pun menyapa wanita itu. “Halo.” “Berapa usiamu?” tanya Perry tanpa basa-basi. “Usiaku 25 tahun,” jawab Eleanor seraya tersenyum. “Di mana barang-barangmu?” tanya Perry lagi. “Ah, itu. Aku-” “Rumahnya baru saja kebakaran, jadi dia tidak memiliki barang yang tersisa. Karena itu, Tuan memintamu untuk memenuhi keperluannya” potong Samuel yang membuat Eleanor terkejut dengan kebohongan pria itu. “Begitu,” gumam Perry. “Baiklah. Ikuti aku,” pintanya kemudian langsung beranjak dari sana. “Pergilah,” sahut Samuel. Eleanor mengangguk. “Terima kasih,” ujarnya lalu bergegas menyusul Perry. Ia terus mengikuti langkah wanita paruh baya itu dan tiba di kamar tamu yang terletak di lantai satu. Perry membuka pintu kamar lalu berkata, “Mulai sekarang, ini akan menjadi kamarmu.” Eleanor tampak ragu saat memasuki kamar tersebut. Namun, ia langsung terpukau begitu mengamati isinya. Kamar itu lebih besar dari kamarnya yang dulu. Bahkan semua yang dibutuhkan lengkap di sana. “Istirahatlah. Satu jam lagi aku akan membawamu membeli pakaian yang akan kau gunakan selama tinggal di sini,” sahut Perry. “Baik,” ucap Eleanor tersenyum sembari mengangguk. Setelah itu, Perry beranjak dari sana dan menutup pintu. Sepeninggal wanita itu, Eleanor kembali mengagumi kamar yang mulai hari ini akan ia gunakan. Kakinya melangkah menelusuri setiap sudut kamar tersebut. Kamar mandi yang lengkap dengan bathtub, walk in closet, dan balkon. Itu semua adalah hal-hal yang tak ia miliki di kamarnya yang dulu. Eleanor berjalan menuju balkon yang langsung menghubungkannya dengan halaman samping rumah. Ia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Seulas senyum lalu terbit di bibirnya. Eleanor tak tahu apakah menerima tawaran Christian adalah keputusan yang tepat atau tidak. Tapi, ia yakin dengan satu hal bahwa berada di sini akan jauh lebih baik dari pada dijual kepada pria tua bangka yang hanya mengutamakan hasrat seksualnya. “Baiklah. Kalau begitu, mari mulai semuanya kembali,” gumamnya penuh tekad. Pandangan Eleanor lalu teralihkan oleh seorang pria yang berada di rumah sebelah melalui jendela rumah tersebut. Seketika matanya membulat saat sosok pria itu terlihat jelas di matanya. Meski jaraknya cukup jauh dan sedikit tertutupi semak-semak, tapi ia sangat yakin bahwa pria itu adalah Bryce. Teman Yelena yang sempat ia temui di pesta ulang tahun. Tanpa pikir panjang, Eleanor langsung berlari masuk ke dalam kamar dan segera menutup pintu. Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintu dengan napas terengah-engah dan jantung yang berdebar kencang. “Apa dia melihatku? Tidak. Tidak mungkin. Dia pasti tidak sempat melihatku,” gumamnya panik sekaligus takut. Ia lalu mengintip melalui celah jendela dengan hati-hati. Namun, pria itu sudah tidak ada di sana. Kening Eleanor mengerut. “Apa aku hanya salah lihat? Dari sekian banyaknya rumah, tidak mungkin dia juga tinggal di perumahan ini. Tidak ada kebetulan yang sesial ini.” “Tapi, bagaimana kalau dia benar-benar Bryce dan sempat melihatku? Dia pasti akan memberitahu Yelena dan mereka akan datang ke sini untuk menjualku lagi. Apa yang harus kulakukan?” lirihnya panik. Eleanor berjalan mondar-mandir sembari memikirkan masalah ini dengan serius. Ia lalu menggeleng dan bergumam, “Tidak. Aku yakin dia tidak melihatku. Benar. Dia pasti tidak melihatku. Lagi pula, belum tentu pria itu adalah Bryce.” Helaan napas lantas keluar dari bibirnya. “Aku hanya bisa bertaruh pada hal ini.” *** Eleanor, Perry, dan Samuel masuk ke dalam rumah sambil masing-masing menenteng banyak tas belanja berisi pakaian dan perlengkapan yang Eleanor butuhkan. Bahkan masih ada banyak lagi akan datang nantinya. Tentu itu bukan keinginan Eleanor, melainkan Perry. Wanita itu bersikeras untuk membeli lebih banyak barang untuknya. Beberapa kali Eleanor menolak ketika melihat harganya yang bahkan mencapai gajinya selama satu bulan, namun Perry tampak tak peduli dan terus memilih untuknya. Bahkan wanita itu dengan teliti membelikan ponsel baru untuknya. “Terima kasih,” ucap Eleanor setelah Samuel meletakkan barang miliknya di dalam kamar. “Bukan apa-apa,” balas pria itu kemudian keluar dari sana. “Apakah kau sudah tahu apa saja tugasmu?” tanya Perry tiba-tiba. “Ya. Dok- Tuan sudah memberitahuku. Dia memintaku untuk menyiapkan pakaian dan makanannya hanya selama dia berada di rumah,” jawab Eleanor. Kening Perry sedikit berkedut. “Hanya itu?” Seperti dugaan Eleanor, wanita itu pasti merasa bingung bahwa ia hanya memiliki dua tugas yang sangat sederhana sebagai asisten pribadi. Bahkan ia sendiri merasa bingung dengan itu. “Benar. Hanya itu.” Perry terdiam sebentar seolah tengah memikirkan sesuatu. Tak lama, ia kembali bersuara. “Baiklah. Kalau begitu, ayo keluar. Aku akan menunjukkan kamar Tuan padamu.” “Baik,” ucap Eleanor kemudian bergegas mengikuti langkah Perry. Kenyataannya wanita paruh baya itu bukan hanya membawanya menuju kamar Christina, melainkan menjelaskan setiap sudut di rumah tersebut. Selain ruang tamu, dapur, dan kamar tamu, di lantai satu juga terdapat ruang cuci serta satu kamar tamu lagi. Tak hanya itu, di halaman belakang juga terdapat kolam renang yang terhubung dengan ruang tamu. Sementara itu, di lantai dua hanya terdapat kamar utama yang merupakan kamar Christian, kamar tamu, ruang kerja, dan ruang olahraga. “Karena tugasmu adalah menyiapkan pakaian Tuan, jadi kau boleh masuk ke dalam kamarnya. Tapi ingat, kau tidak boleh menyentuh hal selain pakaian Tuan. Karena Tuan sangat peduli dengan kebersihan, jadi kau harus memastikan pakaiannya selalu bersih dan rapi,” tukas Perry dengan tegas. “Aku mengerti,” ucap Eleanor mengangguk seraya mengikuti wanita itu masuk ke dalam kamar Christian. Dan lagi-lagi, ia terpukau dengan isi kamar pria itu. Kamar tersebut terlihat elegan meski memiliki nuansa gelap dan hanya memiliki beberapa benda di dalamnya. Bahkan aromanya pun sangat khas. Setelah Perry menjelaskan berbagai macam pakaian yang biasa Christian gunakan, wanita itu kembali mengajaknya keluar dari sana. “Untuk makanan, Tuan bukan orang yang pilih-pilih. Kau hanya perlu mempersiapkan makanan yang telah dimasak koki untuknya. Dan yang terpenting, kau harus memastikan Tuan menghabiskan makanannya,” tutur Perry. “Harus memastikan Tuan menghabiskan makanannya?” tanya Eleanor sedikit bingung. Pasalnya Christian bukanlah anak-anak yang harus dipantau saat makan. Dia adalah pria dewasa yang tahu harus menghabiskan makanannya. “Tuan memiliki jadwal yang sangat sibuk di rumah sakit. Terkadang dia melewatkan sarapan dan bahkan tidak makan seharian jika jadwal operasinya cukup banyak. Karena itu, kau harus memastikan Tuan tidak melewatkan jadwal makannya,” terang Perry. Eleanor mengangguk mengerti. “Baiklah. Aku paham.” “Bagus,” ucap Perry. “Malam ini Tuan akan pulang larut malam, jadi kau boleh istirahat dan mulai bekerja besok pagi.” “Baik,” ujar Eleanor. Perry lalu berbalik dan mulai beranjak dari sana. Namun, suara Eleanor seketika menghentikan langkahnya. “Tunggu sebentar.” “Kenapa? Apa masih ada yang ingin kau tanyakan?” tanya Perry yang diangguki oleh Eleanor. “Ruangan apa itu? Kau belum memberitahuku tentang ruangan itu,” tanya Eleanor sambil menunjuk ruangan yang berada di sudut lantai tersebut. Dalam sekejap raut wajah Perry berubah dingin dan tatapannya menjadi sinis ketika mendengar pertanyaan Eleanor. “Ruangan itu tidak ada hubungannya denganmu. Yang perlu kau tahu adalah kau tidak boleh menyentuh ruangan itu dan bahkan jangan berharap untuk mendekatinya. Kau mengerti?” Sontak Eleanor terkesiap dengan perubahan wanita itu. Dengan kaku, ia pun menjawab, “Baik. Aku mengerti.” “Segeralah kembali ke kamarmu,” pinta Perry kemudian langsung beranjak dari sana. Eleanor yang ditinggal sendiri lantas menghela napas lega. Ia sempat merasa sesak ketika menerima tatapan wanita itu. Bahkan sejak awal kesan mereka sudah tak baik satu sama lain. “Memangnya apa isi ruangan itu sampai dia berubah jadi lebih menyeramkan?” gumam Eleanor mendesah. “Sepertinya hubungan kami tidak akan membaik selama beberapa waktu,” ujarnya kemudian ikut beranjak dari sana. Akan tetapi, langkahnya berhenti tepat sebelum kakinya menuruni tangga. Ia kembali menoleh pada pintu ruangan yang membuat Perry dengan tegas melarangnya untuk pergi ke sana. Dan karena itu pula, rasa penasaran Eleanor semakin besar terhadap ruangan tersebut. Namun, dengan segera ia menghilangkan perasaan itu dan bergegas dari sana. *** To be continued.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN