4. Batal Nikah!

1305 Kata
Eleanor duduk di depan sebuah flat sederhana sambil memeluk kedua lututnya yang mulai kram akibat duduk dalam posisi seperti itu semalaman. Ditambah lagi rasa lelah karena berjalan semalaman. Karena tak memiliki uang, ia memutuskan untuk berjalan dari halte bus selama berjam-jam dan baru tiba di sana beberapa jam yang lalu. Sekarang, Eleanor merasa kakinya mulai mati rasa. Ia menoleh ke kiri dan kanan seolah menanti kedatangan seseorang. Hari sudah mulai terang, namun orang tersebut masih tak menampakkan batang hidungnya. Keberadaannya justru mengundang perhatian dari orang sekitar yang lewat di depannya. Kruyuk... Eleanor menunduk menatap perutnya yang baru saja berbunyi. Tak cukup dengan menahan rasa lelah, sedih, dan malu, kini ia juga harus menahan rasa lapar. Bagaimana tidak? Selain beberapa teguk jus jeruk yang ia minum semalam, tak ada lagi makanan atau minuman yang masuk ke perutnya. ‘Kapan dia akan pulang?’ batin Eleanor menunduk lemah. Helaan napas lantas keluar dari bibir Eleanor sembari meletakkan kepala di atas lutut yang justru membuatnya meringis sakit. Ia lupa kalau lututnya baru dijahit semalam. “Lea?” Sontak, Eleanor menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Tak jauh darinya telah berdiri seorang pria bertubuh kurus dan tinggi dengan rambut coklat ikalnya. Seolah semua rasa lelah, malu, dan lapar yang ditahannya sejak tadi menghilang, ia langsung berdiri dan berlari memeluk orang tersebut dengan erat. Tanpa memedulikan penampilan pria itu yang sedikit acak-acakan. “Akhirnya kau pulang, Oscar,” ucap Eleanor tersenyum senang sekaligus lega. *** “Apa yang terjadi? Kenapa kau datang ke sini?” tanya pria bernama Oscar tersebut sembari memberikan segelas air pada Eleanor setelah mereka berada di dalam flat. Pria bernama lengkap Oscar Juan Cedric tersebut merupakan kekasih yang telah menjalin hubungan dengan Eleanor selama hampir 2 tahun terakhir. Oscar memiliki usia 2 tahun lebih tua dari Eleanor hingga terkadang membuat Eleanor menganggapnya sebagai kakak laki-laki. “Kenapa? Kau tak suka kalau aku datang?” rajuk Eleanor. “Bukan begitu. Aku hanya terkejut, karena kau datang tiba-tiba tanpa menghubungiku dulu. Terlebih lagi dengan penampilanmu yang seperti ini,” elak Oscar meneliti penampilan kekasihnya yang berantakan. Eleanor ikut melihat penampilannya yang lebih buruk dari semalam. “Aku meninggalkan ponselku di rumah.” “Kalau begitu, kau tinggal pulang dan mengambilnya. Kenapa kau justru ke sini?” tanya Oscar bingung. “Ceritanya panjang. Lupakan itu. Apa aku bisa tinggal di sini selama beberapa hari?” tanya Eleanor memelas. “Kau ingin tinggal di sini?” tanya Oscar terkejut yang diangguki oleh Eleanor. “Tapi, kenapa? Kau memiliki rumah yang bahkan lebih besar dari flat-ku. Lalu, kenapa kau ingin tinggal di sini?” “Kenapa? Kau tidak senang jika aku tinggal di sini?” rajuk Eleanor lagi. “Bukan itu maksudku. Tapi, lihatlah. Flat-ku sangat kecil. Aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman dengan tinggal di sini,” bujuk Oscar. “Lagi pula, kenapa kau tidak ingin pulang ke rumahmu dan malah ingin tinggal di sini?” tuturnya bingung. Eleanor menghela napas panjang kemudian mulai menceritakan apa yang telah dialaminya semalam hingga ia bisa berakhir di sana. “Ibumu benar-benar ingin menjualmu?” tanya Oscar tak percaya. Eleanor mengangguk sebagai jawaban. “Tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa dia melakukan itu padamu? Padahal selama ini kau-lah yang bekerja untuk menghidupi mereka.” “Aku tidak ingin mengungkit hal itu lagi,” gumam Eleanor menunduk sedih. Setiap mengingat apa yang terjadi semalam dan pengorbanannya sejak ayahnya meninggal membuat dadaa Eleanor kembali berdenyut sakit hingga rasanya air mata saja tak cukup untuk mengekspresikan perasaannya. “Baiklah, baiklah. Aku tidak akan mengungkitnya lagi,” ucap Oscar lembut sembari menggenggam tangan Eleanor. “Jadi, kau benar-benar akan tinggal di sini untuk sementara?” tanyanya ragu yang diangguki oleh sang kekasih. Oscar mengalihkan pandangan dengan kening mengerut. Setelahnya, ia kembali menatap Eleanor seraya tersenyum. “Baiklah. Selama kau tidak keberatan tinggal di tempat kecil seperti ini, kau boleh tinggal selama yang kau mau.” “Terima kasih. Hanya kau yang bisa kuandalkan saat ini,” ucap Eleanor seraya tersenyum. “Tapi, kau dari mana saja? Kenapa baru pulang sekarang?” Dalam sepersekian detik, Oscar terlihat gugup dan gelagapan. “Ehem! Kemarin aku lembur di bar dan karena terlalu lelah untuk pulang, jadi aku memutuskan untuk sekalian tidur di sana.” “Lalu, kenapa kau tidak menjawab panggilanku? Aku bahkan sampai meminjam ponsel orang lain untuk meneleponmu, tapi tidak ada satu pun yang kau jawab,” cecar Eleanor merajuk. “Ah, itu. Kau lupa, suasana di bar sangat berisik dan aku meletakkan ponselku di dalam lemari loker, jadi aku tidak tahu kalau kau menghubungiku. Lagi pula, setelah bekerja aku langsung tidur tanpa mengecek ponsel lagi,” terang Oscar kemudian membasahi bibirnya yang kering. Eleanor terdiam sejenak sebelum mengangguk paham. “Benar juga. Maaf, aku lupa.” Setelah mendengar itu, Oscar langsung menghela napas lega seraya tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kau mandi dulu? Kau pasti tidak nyaman mengenakan dress ini sejak semalam. Aku akan mengambilkan bajuku yang bisa kau pakai.” Eleanor mengangguk kemudian beranjak menuju kamar mandi. Sepeninggal wanita itu, Oscar kembali menghela napas lega seraya mengelus dadanya. Jantungnya terus berdegup kencang setiap kali kekasihnya itu melontarkan berbagai pertanyaan. “Sial!” rutuk Oscar mendecak seraya mengacak rambutnya. *** Christian keluar dari mobil setelah memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit. Kakinya lalu melangkah memasuki gedung rumah sakit tempat ia bekerja. Lebih tepatnya, ia-lah pemilik rumah sakit tersebut. “Selamat pagi, Dokter Chris,” sapa seorang dokter muda begitu melihat kedatangannya. “Pagi,” balas Christian seadanya. “Selama pagi, Dokter Chris.” Lagi, sapaan demi sapaan terus berdatangan seiring langkah Christian menuju ruangannya. “Anda sudah datang, Dok,” sahut Raelle mengikuti pria itu ke dalam ruangannya. Ia adalah seorang dokter muda yang merupakan asisten Christian. “Bagaimana keadaan rumah sakit?” tanya Christian kemudian mengenakan jas dokternya yang tadinya tergantung rapi di tiang gantung. “Semuanya aman di tanganku. Tidak ada hal penting yang terjadi selama Anda pergi,” tutur Raelle dengan bangga dan percaya diri. “Baguslah,” ucap Christian yang tengah merapikan jas putihnya. “Hanya itu?” tanya Raelle mengerutkan kening kecewa. “Mulailah bekerja,” pinta Christian seraya duduk di kursinya lalu menyalakan komputer. “Apa dia tidak bisa mengeluarkan kalimat pujian sedikit saja? Dia bahkan tidak rugi apa pun jika melakukannya. Dasar pelit,” gerutu Raelle cemberut dengan suara yang sangat kecil. “Aku mendengar semuanya,” sahut Christian yang membuat wanita muda itu terperanjat kaget. “Ya, ampun! Pasienku sudah datang,” seru Raelle seraya melihat jam tangannya. “Kalau begitu, aku kembali ke ruanganku dulu. Sampai jumpa lagi nanti, Dok,” pamitnya cepat kemudian bergegas keluar dari ruangan Christian. Sepeninggal wanita itu, Christian menggelengkan kepala. Raelle telah menjadi asistennya selama hampir 2 tahun, jadi wajar jika keduanya tampak akrab. Meski Christian selalu hanya menjawab seadanya terhadap setiap kalimat yang asistennya itu lontarkan. Tak lama kemudian, satu demi satu pasien masuk ke dalam ruangan Christian. Beberapa ada yang dijadwalkan untuk operasi. Beberapa datang untuk melihat hasil pemeriksaan. Beberapa lainnya datang untuk kontrol setelah operasi. Tanpa terasa jam makan siang telah tiba dan pemeriksaan pasien dihentikan untuk sementara. Namun bukannya keluar untuk makan siang, Christian tetap duduk di kursinya mengamati layar komputer yang menampilkan hasil operasi pasien sebelumnya yang ia operasi 1 bulan lalu. Perhatian pria itu lantas teralihkan ketika mendengar suara pintu diketuk. “Masuk!” Setelahnya, pintu dibuka dan seorang wanita yang juga mengenakan jas putih masuk ke dalam. Dengan bibirnya yang melengkung sempurna, ia berjalan menghampiri Christian yang bahkan tak teralihkan sedikit pun dari layar komputernya. “Sudah kuduga kau akan mengurung diri lagi di ruanganmu. Kau selalu seperti ini setiap kali kembali dari perjalanan dinas,” sahut wanita berambut coklat yang dikuncir tersebut. Christian hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan tatapan dari layar komputernya yang membuat wanita itu mendecak sebal. “Kalau kau terus bersikap seperti ini, aku tidak akan menikahimu!” ancamnya. *** To be continued.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN