Anya Gabriella Petra. Ia merupakan seorang dokter spesialis anak sekaligus sahabat Christian sejak masa sekolah menengah hingga sekarang. Keduanya pun berkuliah di universitas yang sama. Hanya saja, ia lulus satu tahun lebih lambat dari Christian.
Mendengar Christian yang telah kembali seusai pulang dari perjalanan dinasnya membuat Anya bahagia. Begitu jam makan siang tiba, ia bergegas menuju ruangan pria itu sembari membawa sekotak bekal yang ia masak sendiri.
Anya mengetuk pintu dan segera masuk setelah dipersilakan. Ia lalu melihat Christian yang tengah serius menatap layar komputernya. Ah, itu adalah pemandangan paling membosankan setiap kali ia masuk ke ruangan pria itu.
“Sudah kuduga kau akan mengurung diri lagi di ruanganmu. Kau selalu seperti ini setiap kali kembali dari perjalanan dinas,” sahut Anya.
Christian hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputernya yang membuat wanita itu mendecak sebal.
“Kalau kau terus bersikap seperti ini, aku tidak akan menikahimu!” ancamnya.
Lagi, Christian hanya tersenyum tipis masih tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. “Aku tidak memintamu untuk menikahiku.”
“Ck! Tidak asyik,” decak Anya sembari meletakkan kotak bekalnya di atas meja. “Walau begitu, aku tidak akan berhenti menafkahimu dengan makanan,” godanya yang membuat Christian geleng-geleng kepala.
“Sekarang buka mulutmu,” pinta Anya seraya menyodorkan makanan pada pria itu.
Christian mengerutkan kening melihat makanan sahabatnya itu sodorkan. “Apa ini?”
“Kimbab. Ini makanan khas dari Korea dan aku baru mempelajarinya pagi ini. Kau beruntung karena menjadi orang pertama yang mencobanya,” tutur Anya percaya diri.
“Tidak perlu. Kau bisa memakannya sendiri,” tolak Christian yang membuat Anya cemberut.
“Ini tidak beracun. Aku bersumpah,” ujar Anya serius.
“Lidahku tidak cocok dengan makanan Asia,” ucap Christian lalu kembali fokus pada layar komputernya.
“Tapi, kau bisa sakit jika terus melewatkan makan siang,” bujuk Anya khawatir.
“Aku sudah sarapan di hotel,” elak Christian.
“Harusnya kau bisa membedakan sarapan pagi dan makan siang,” dengus Anya.
Christian tak menjawab dan justru sibuk mengetik sesuatu melalui keyboard-nya yang membuat Anya menghela napas kecewa. Padahal ia sengaja bangun jam 4 subuh hanya untuk menyiapkan bekal itu agar Christian menjadi orang pertama yang mencoba resep barunya.
“Harusnya aku memasak yang lain saja,” rutuknya sembari memasukkan sepotong kimbab utuh ke dalam mulutnya dengan lemas.
***
Selama beberapa hari terakhir, Eleanor tinggal di flat Oscar seperti yang direncanakannya. Karena pekerjaan masing-masing yang mengharuskan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, itu membuat keduanya hanya bisa bertemu setelah lewat tengah malam saat pulang kerja.
Meski Eleanor merasa ada yang kurang karena ia tidak memiliki ponsel untuk saat ini. Namun, hal itu tak menghambat kehidupannya yang tetap berjalan seperti biasa. Bekerja dari pagi hingga tengah malam.
“Kau mau pergi sekarang?” sahut Oscar dengan suara serak yang baru saja terbangun di tempat tidur dan melihat Eleanor tengah bersiap-siap. Pria itu baru pulang jam 3 dini hari karena pekerjaannya sebagai bartender di club.
“Ya. Aku sudah memasak sarapan untukmu di atas meja. Makanlah setelah kau bangun nanti,” ucap Eleanor yang diangguki oleh Oscar.
“Lea,” panggil pria itu yang dibalas dehaman oleh Eleanor. “Apa kau bisa meminjamkan uang padaku? Hari ini aku harus membayar biaya sewa flat, tapi aku belum menerima gaji dari Bosku. Aku janji akan menggantinya setelah gajiku keluar,” tuturnya masih berbaring malas di tempat tidur.
Eleanor menoleh sembari tersenyum. “Apa maksudmu dengan meminjam? Aku juga tinggal di sini, jadi sudah sepantasnya aku ikut membantumu untuk membayar uang sewa. Kau tidak perlu menggantinya.”
Ia lalu beranjak mengambil beberapa lembar uang dari dalam tas Oscar yang dipinjamnya. “Ini. Kebetulan aku baru terima gaji beberapa hari yang lalu dari minimarket. Kau boleh memakainya.”
Oscar tersenyum kemudian mengambil uang yang kekasihnya sodorkan. “Terima kasih.”
“Kita sepasang kekasih, tidak perlu kata terima kasih,” ujar Eleanor yang hanya diangguki oleh Oscar kemudian kembali terlelap sambil terus menggenggam uang pemberiannya.
Bukannya marah, Eleanor hanya tersenyum memaklumi. Wajar jika pria itu kembali terlelap karena lelah setelah bekerja sampai dini hari.
Setelah mengenakan tas, Eleanor mengecup kening sang kekasih meski ia tak tahu apakah pria itu merasakannya atau tidak. “Aku pergi dulu,” pamitnya kemudian beranjak dari sana.
Karena jarak ke halte bus cukup dekat dari sana, alhasil Eleanor bisa berjalan dengan lebih santai dari sebelumnya. Sesampainya di halte bus, ia masih harus menunggu beberapa saat hingga bus tujuannya tiba.
Perhatian Eleanor lalu teralihkan oleh seorang ibu yang duduk di sampingnya bersama anak perempuannya yang masih berusia sekitar 7 tahun. Mereka berdua tampak tertawa sambil bercanda gurau satu sama lain. Sang anak terlihat tengah bercerita dengan raut wajah lucu yang membuat sang ibu mencubit pipinya gemas.
Dalam diam, Eleanor tersenyum miris melihatnya. Itu adalah hal yang hanya bisa ia lihat dari orang lain tanpa bisa merasakannya.
Tak berapa lama kemudian, bus datang dan Eleanor bergegas naik bersama ibu serta anak perempuan tersebut. Di sepanjang perjalanan, ia seakan dipaksa untuk menyaksikan keharmonisan antara ibu dan anak yang tak pernah ia rasakan seumur hidupnya.
Setelah beberapa saat, akhirnya bus berhenti dan Eleanor langsung turun dari bus lalu berjalan menuju minimarket tempatnya bekerja.
“Kau sudah datang, Lea,” sahut Frank yang tengah berjaga di meja kasir.
“Frank? Kenapa kau masih di sini? Bukankah sekarang adalah shift jaga Ondreaz?” tanya Eleanor bingung.
Frank tersenyum lalu menjawab, “Semalam dia tidak bisa datang karena tiba-tiba ada urusan mendesak dan memintaku untuk menggantikannya. Sebagai ganti, dia juga akan menggantikanku besok.” Eleanor mengangguk mengerti.
“Tidak seperti seseorang yang tiba-tiba menghilang tanpa bisa dihubungi,” sindir Frank ketika Eleanor berjalan menuju ruang ganti.
“Cih! Kau bisa memaklumi Ondreaz, tapi kau terus mengungkit kesalahanku. Bukankah kau terlalu pilih kasih mentang-mentang dia yang termuda di antara kita?” dengus Eleanor tak terima.
“Setidaknya dia memberikan kabar, tidak menghilang seperti seseorang,” balas Frank.
“Itu hanya terjadi sekali, tapi kau sudah memperlakukanku seperti pembohong. Memang hanya Ivy yang ada di pihakku,” rajuk Eleanor kemudian segera menghilang di balik pintu ruang ganti.
Frank menggelengkan kepala melihat tingkah kekanakan rekannya itu. Eleanor memang memiliki sikap dewasa, tapi di lain sisi dia juga memiliki sifat kekanakan. Dan hanya akan muncul ketika merasa dirinya terpojok. Sementara Frank selalu senang untuk menggodanya.
Tak berapa lama kemudian, Eleanor keluar dari ruang ganti dan berpapasan dengan Frank yang hendak masuk. “Dasar pilih kasih!” cemoohnya ketika melewati Frank yang membuat pria itu terkekeh.
Eleanor duduk di kursi kasir seraya bersedekap dadaa dengan wajah datar. Bahkan ketika Frank pamit dan pergi, ekspresi wajahnya tetap datar dan sebisa mungkin menghindar agar tidak bertatapan dengan pria itu.
Kini, Eleanor benar-benar seorang diri sambil menunggu kedatangan Ivy. Ia menghela napas lalu menggembungkan pipinya. Sangat membosankan berjaga sendirian tanpa ponsel.
Di tengah keheningan, entah kenapa Eleanor kembali memikirkan kejadian malam itu. Bukan saat di mana ia mengetahui bahwa Margaret menjualnya atau pun saat ia melarikan diri. Melainkan dengan pria yang menolongnya waktu itu.
Eleanor merasa tidak asing dengan pria itu. Ia pikir pernah melihatnya di suatu tempat, tapi ia sama sekali tidak bisa mengingat kapan tepatnya.
“Aku yakin pernah melihat pria itu sebelumnya. Tapi di mana dan kapan? Aku sama sekali tidak ingat,” gumamnya memikirkan dengan serius.
“Melihatnya menjahit lukaku, sepertinya dia seorang dokter. Ah! Di dekat sini ada rumah sakit. Apa dia bekerja di sana? Jika benar, dia pasti pernah datang ke sini setidaknya sekali. Tapi, kapan? Kapan dia datang? Atau mungkin aku salah ingat? Tapi, aku benar-benar yakin pernah melihatnya.”
Eleanor memejamkan mata seraya menghela napas berat. Ia bukannya akan mencari pria itu, hanya saja setidaknya ia tahu siapa orang yang menolongnya malam itu. Bagaimanapun, Eleanor ingin membalas kebaikannya jika mereka bertemu kembali.
“Apa yang kau pikirkan dengan begitu serius?” sahut Ivy yang membuat Eleanor terperanjat kaget.
“Ya, Tuhan! Kau membuatku terkejut,” rutuk Eleanor seraya mengelus dadanya.
“Lagi pula, apa yang kau pikirkan sampai tidak sadar kalau aku datang?” tanya Ivy penasaran.
“Bukan apa-apa,” jawab Eleanor setelah terdiam sejenak.
Ivy menggelengkan kepala kemudian berlalu menuju ruang ganti dan keluar kembali setelah meletakkan tasnya di dalam lemari loker. “Jangan terlalu banyak melamun. Itu bisa membuatmu stres.”
“Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” ucap Eleanor.
“Memikirkan apa?” tanya Ivy.
Eleanor tak menjawab dan hanya menatap rekannya itu dengan tatapan penuh tanya. “Aku akan pergi mengecek makanan yang sudah kedaluwarsa,” ujarnya kemudian beranjak menuju satu rak ke rak yang lain untuk mencari jika ada makanan yang telah kedaluwarsa.
Sementara itu, Ivy hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Ia pun tak akan memaksa jika Eleanor tidak ingin memberitahunya.
***
Eleanor melangkahkan kaki menjauhi halte bus menuju flat Oscar. Hari telah gelap dan jam sudah menunjukkan pukul 12.47 malam. Jalanan telah sepi dan hanya menyisakan satu atau dua kendaraan yang lalu-lalang serta beberapa pejalan kaki yang tak sengaja berpapasan dengannya.
Di sepanjang jalan, Eleanor tak berpikir banyak hanya terus melangkahkan kakinya dengan tenang. Ia pun tak merasa takut berjalan seorang diri, karena daerah tersebut terkenal aman dari orang-orang yang memiliki niat jahat.
Sampai akhirnya kaki Eleanor mendadak berhenti tak jauh dari flat Oscar ketika ia melihat dua orang perempuan berdiri di sana sambil menggerutu kesal. Eleanor menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Tubuhnya mematung seketika.
Ia tak percaya melihat Yelena dan Margaret di sana.
***
To be continued.