Tubuh Eleanor seketika mematung saat melihat Yelena dan Margaret tengah berdiri di depan flat Oscar. Dari kejauhan, ia dapat mendengar keduanya tengah mengomel dan merutuki dirinya. Baru saja Eleanor hendak kabur dari sana, tiba-tiba Yelena menoleh ke arahnya.
“Ma, Eleanor ada di sana,” seru Yelena seraya menunjuk ke arah Eleanor.
Karena terlanjur panik, dengan sekuat tenaga Eleanor segera melarikan diri dari sana. Tak tinggal diam, Yelena dan Margaret bergegas lari menyusulnya.
“Lea, berhenti! Berhenti sekarang juga!” teriak Margaret.
“Berhenti kau, Lea!” sambung Yelena.
Eleanor yang panik semakin mempercepat larinya. Jalanan yang sepi membuat ia tak bisa meminta tolong pada siapa pun. Eleanor hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri saat ini.
‘Ya, Tuhan! Tolong aku! Sedikit lagi! Sedikit lagi!’ batinnya ketika jalan utama telah berada tepat di depannya.
“Kubilang berhenti! Behenti, Lea! Kami hanya ingin bicara denganmu!” teriak Yelena yang terus mengejarnya bersama Margaret meski mereka berdua tertinggal jauh di belakang.
‘Tidak boleh! Aku tidak boleh menyerah di sini! Tinggal sedikit lagi!’ Eleanor terus menguatkan dirinya sambil berlari sekuat yang ia bisa hingga ....
BRAK! Sontak Yelena dan Margaret menghentikan kaki mereka ketika melihat Eleanor baru saja tertabrak mobil. Keduanya sangat terkejut sampai mematung di tempat. Mereka tak menduga bahwa hal seperti ini akan terjadi.
“Apa yang harus kita lakukan, Ma?” tanya Yelena terengah-engah dengan suara bergetar. Seluruh tubuhnya gemetar setelah menyaksikan peristiwa nahas tersebut.
“Apa lagi? Kita harus pergi dari sini,” tukas Margaret yang terlihat panik.
“Pergi? Tapi, bagaimana dengan Lea?” tanya Yelena tak setuju.
“Kenapa? Kau mau membawanya ke rumah sakit? Apa kau gila? Yang ada dia akan melaporkan kita ke polisi karena berusaha menjualnya,” maki Margaret.
“Bukan itu maksudku, tapi Bos Barnes. Apa yang harus kita katakan pada Bos Barnes? Kita sudah berjanji akan membawa Lea ke hadapannya besok,” sungut Yelena.
“Tidak ada cara lain. Untuk sekarang kita kembali dulu. Aku akan memikirkan cara untuk membujuk Bos Barnes agar memberikan kita sedikit waktu lagi,” putus Margaret.
“Apa? Tapi-”
“Sudahlah. Ayo, pergi dari sini sebelum ada yang melihat kita,” potong Margaret sambil mengamati sekeliling lalu segera menarik Yelena pergi dari sana.
Di lain sisi, Eleanor yang baru saja tertabrak mobil kini terkapar lemah di atas aspal. Sekujur tubuhnya terasa sakit hingga membuatnya tak bisa bergerak.
Tak lama kemudian, seorang pria keluar dari mobil yang baru saja menabrak Eleanor lalu menghampirinya. Namun yang aneh, Eleanor merasa wajah pria itu tampak tidak asing di matanya.
Sesaat ia melihat pria tersebut berbicara. Tapi, Eleanor sama sekali tidak bisa mendengar apa yang pria itu katakan. Hingga akhirnya kesadaran yang berusaha ia tahan menghilang tanpa sempat meminta tolong.
***
Kening Eleanor mengerut. Kepalanya terasa sakit. Perlahan ia membuka mata dan melihat langit-langit ruangan berwarna putih. Dengan samar aroma obat-obatan terhirup oleh hidungnya.
‘Apa yang terjadi? Di mana ini?’ batin Eleanor. Sambil menahan rasa sakit di kepala dan sekujur tubuhnya, dengan hati-hati ia berusaha untuk duduk lalu mengamati area sekitarnya. Melihat tangannya yang terpasang selang infus membuat Eleanor tersadar.
“Rumah sakit? Kenapa aku bisa ada di sini?” gumamnya yang kemudian meringis karena merasa kepalanya kembali berdenyut sakit.
Ketika ia hendak turun dari tempat tidur, seorang pria telah berdiri di samping tempat tidurnya. “Kau sudah siuman.” Suara berat itu seolah mampu menyihir Eleanor untuk tetap diam di tempatnya.
Ia lalu menoleh dan menatap pria yang tidak asing baginya. Pria itu adalah pria yang ia lihat sebelum pingsan tadi, sekaligus orang yang menolongnya saat berusaha melarikan diri di hotel waktu itu. Benar. Dia adalah Christian.
“Kau?” gumam Eleanor lirih.
“Kau pingsan selama hampir dua jam. Aku sudah melakukan pemeriksaan fisik pada tubuhmu dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau hanya mengalami luka ringan di kepala, lengan dan kaki. Untuk biaya rumah sakit, aku sudah membayar semuanya. Kau bisa tetap dirawat di sini sampai keadaanmu kembali pulih,” terang Christian kemudian meletakkan sebuah kantong plastik yang berisi obat-obatan di atas selimut Eleanor.
“Minumlah. Itu adalah obat untuk membantu penyembuhanmu.”
Sementara itu, Eleanor hanya membisu mendengar semua penjelasan Christian yang terlalu tiba-tiba baginya. Mungkin tidak jika ia tidak baru saja bangun dari pingsannya.
“Apa ada yang ingin kau tanyakan?” tanya Christian sembari memasukkan kedua tangannya di saku celana.
Sesaat Eleanor tak menjawab dan hanya diam sambil menunduk. Sampai akhirnya ia mendongak lalu bertanya, “Apa ... kau yang menabrakku?” Mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya membuat ia kembali menunduk seraya merutuki dirinya sendiri, karena telah mengeluarkan pertanyaan bodoh itu.
“Benar,” jawab Christian lugas dan tanpa ragu yang membuat Eleanor lagi-lagi mendongak menatapnya tak percaya.
Selama beberapa saat, mereka berdua hanya terdiam dengan tatapan yang saling terkunci. Sampai Eleanor teringat sesuatu.
“Ah! Kau tenang saja. Aku tidak akan melaporkan kejadian ini pada polisi. Kau sudah baik membawaku ke rumah sakit dan menangani semua biayanya. Bahkan kau juga membeli obat untukku. Justru aku yang harus berterima kasih padamu, karena telah menolongku,” tutur Eleanor dengan cepat meski ucapan terima kasihnya juga ia tujukan untuk alasan lain.
“Tentu saja masalah ini tidak akan selesai hanya di kantor polisi, karena kau yang tiba-tiba muncul di depan mobilku,” tukas Christian.
Eleanor kembali terdiam sembari menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain.
“Tapi, aku tidak akan menarik biaya perawatan yang telah kukeluarkan untukmu. Jadi, kau bisa istirahat dengan tenang sambil memulihkan kondisimu di sini,” ucap Christian. “Aku akan pergi. Jadi, istirahatlah,” pintanya kemudian beranjak dari sana.
“Tunggu,” cegah Eleanor refleks yang membuat langkah pria itu sontak berhenti.
“Ada apa?” tanya Christian menoleh.
“Apa aku ... boleh meminjam ponselmu sebentar?” tanya Eleanor meski terlihat ragu pada awalnya. “Maaf. Aku tahu kalau aku terlihat tidak tahu diri dan sangat merepotkan, tapi-” Seketika ucapannya berhenti saat Christian langsung menyodorkan ponselnya.
“Gunakanlah,” ujar pria itu datar.
Eleanor menggigit bibir bawahnya lalu menerima ponsel tersebut dengan segan. “Terima kasih.” Tanpa membuang waktu, ia segera mengetik nomor Oscar di ponsel Christian lalu menekan tombol berwarna hijau.
Eleanor menempelkan ponsel tersebut ke telinga sembari menunggu sang kekasih menjawab panggilannya dengan penuh harap. Akan tetapi, hingga dering terakhir berakhir, pria itu lagi-lagi tak menjawab panggilannya. Persis seperti malam itu.
Padahal setelah hari itu, Oscar telah berjanji akan selalu membawa ponselnya ke mana-mana dan membiarkannya dalam mode dering. Tapi, yang terjadi sekarang justru membuat Eleanor mulai meragukannya.
“Kenapa dia tidak menjawab juga?” Ia bergumam sambil terus menghubungi sang kekasih. Tatapannya lalu beralih pada Christian yang tengah berbicara serius dengan seorang dokter lain di nurse station. Eleanor kembali merutuk saat Oscar tak kunjung menjawab panggilannya.
Tak berapa lama kemudian, Christian kembali menghampirinya. “Kau sudah selesai menggunakannya?”
Eleanor tampak terdiam sejenak sebelum menjawab, “Sudah. Terima kasih banyak. Sekali lagi terima kasih sudah menolongku.” Ia lalu mengembalikan ponsel pria itu.
“Jika tidak ada lagi yang kau butuhkan, aku akan pergi sekarang,” tukas Christian kemudian segera beranjak dari sana tanpa sempat Eleanor cegah.
Setelah pria itu benar-benar menghilang dari sana, barulah Eleanor teringat sesuatu yang sangat penting. Ia lupa untuk menanyakan nama pria itu. Padahal ia telah berniat akan membalas kebaikannya jika mereka bertemu lagi. Tapi bukan hanya tidak membalas kebaikannya, ia justru kembali membuat dirinya berutang budi pada pria itu.
“Dasar Eleanor bodoh!” makinya sembari memukul kepalanya yang lantas membuatnya meringis. Ia lupa kalau kepalanya sedang terluka.
“Aku benar-benar sangat bodoh,” rutuk Eleanor merasa kesal dengan dirinya sendiri.
***
Di lain sisi, dentuman musik club yang memekakan telinga menggema di seluruh area club. Dan di dalam sebuah ruangan, Oscar tengah menikmati waktunya dengan dikelilingi dua orang wanita berpakaian seksi yang menggerayangi tubuhnya. Ditemani alkohol yang aromanya begitu menyengat di hidung.
Salah satu dari wanita berpakaian seksi itu lalu menyodorkan segelas alkohol pada Oscar yang langsung diteguk habis oleh pria tersebut.
“Hei, Oscar! Bukankah kau harus pulang sekarang?” sahut salah seorang pria yang merupakan teman Oscar dan juga sama-sama ditemani oleh dua orang wanita berpakaian seksi.
“Benar. Setelah kau tinggal dengan kekasihmu, kau berubah menjadi anak rumahan seperti seorang anak gadis,” celetuk pria lainnya yang kemudian tertawa terbahak-bahak.
Oscar tak menjawab dan hanya menyeringai. Ia lalu melumat bibir wanita di sampingnya dengan rakus. Tangannya yang bebas meremas gunung kembar wanita itu dengan keras. Sementara seorang wanita lainnya sibuk memainkan tangannya di bagian tubuh sensitif Oscar hingga membuat pria itu mendesah nikmat.
Tanpa peduli dengan ponselnya yang baru saja mati dengan semua panggilan tak terjawab yang masuk sejak beberapa waktu lalu.
***
To be continued.