7. Seperti Apa Diriku?

1453 Kata
“Kau mau pergi sekarang?” sahut seorang perawat ketika melihat Eleanor hendak melepas selang infus di tangannya. “Iya. Aku harus pergi. Aku sudah berada di sini cukup lama.” Eleanor tersenyum lemah. “Tapi, cairan infusmu bahkan belum habis. Istirahatlah sebentar lagi. Dokter Chris telah menangani semua biaya perawatanmu sampai kau pulih,” tutur perawat tersebut. “Dokter Chris?” tanya Eleanor mengerutkan kening. “Benar. Orang yang membawamu tadi adalah dokter Christian,” jawab perawat itu. ‘Jadi, dia benar-benar seorang dokter?’ batin Eleanor sedikit terkejut. “Istirahatlah kembali. Setidaknya sampai cairan infusmu habis. Meskipun kau tidak terluka parah, tapi kau tetap harus beristirahat,” bujuk perawat tersebut. Eleanor kembali tersenyum sambil menggeleng. “Tidak perlu. Aku harus berangkat kerja satu jam lagi.” “Kau akan bekerja dalam kondisi seperti ini?” tanya perawat itu yang diangguki oleh Eleanor. “Kenapa kau tidak ambil cuti saja dulu? Itu akan lebih baik untukmu.” “Kalau begitu, gajiku akan dipotong,” ucap Eleanor tersenyum miris. “Terima kasih atas niat baikmu, tapi aku benar-benar harus pergi.” Ia lalu melepas selang infusnya dan bersiap-siap untuk pergi. Namun sebelum beranjak, Eleanor kembali menoleh dan bertanya, “Aku ingin bertanya. Apa dokter Christian bekerja di rumah sakit ini?” “Benar. Dia adalah dokter bedah terbaik di rumah sakit kami. Tidak ada yang tidak mengenalnya di sini. Bahkan kau bisa menemukan namanya jika membuka internet,” terang perawat tersebut dengan antusias. “Jadi, dia seorang dokter bedah,” lirih Eleanor seraya mengangguk-angguk kecil. Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tentang Christian, namun dirinya pasti akan terlihat sangat mencurigakan jika mengulik lebih jauh lagi. Karena itu, Eleanor memutuskan untuk berhenti di sini dan melanjutkan sisanya nanti. Paling tidak sekarang ia telah mengetahui nama dan tempat kerja pria itu. “Terima kasih. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang,” ujarnya kemudian beranjak dari sana dengan langkah tertatih. Dari rumah sakit, Eleanor berjalan kaki menuju halte bus. Setibanya di sana, Eleanor mendudukkan dirinya di kursi panjang sambil menunggu bus tujuannya datang. Dengan tatapan kosong, pikirannya kembali melayang pada kejadian semalam. ‘Bagaimana mereka bisa tahu kalau aku ada di sana? Apa mereka mengikutiku sampai sejauh ini? Tapi sudah cukup lama aku berada di flat Oscar, kenapa mereka baru muncul sekarang? Atau mungkin, apakah pria tua bangka itu berhasil melacak keberadaanku?’ batinnya berusaha menduga. Mata Eleanor bergetar saat sebuah dugaan mendadak timbul di benaknya. Namun, ia segera menggeleng dan menepis pikiran tersebut. “Tidak mungkin. Tidak mungkin Oscar yang memberitahu mereka. Selama ini pun Oscar hanya pernah bertemu satu kali dengan mereka berdua. Itu pun terjadi pada masa awal kami pacaran. Jadi, tidak mungkin Oscar pelakunya.” “Sebenarnya dari mana mereka tahu kalau aku tinggal di flat Oscar?” gumam Eleanor yang kembali ke titik awal. Ia lalu menghela napas berat seraya menengadah menatap langit yang masih gelap. “Kapan semua ini akan berakhir? Aku lelah harus melarikan diri terus seperti ini. Bahkan mereka bukan orang lain, tapi keluargaku sendiri.” *** Setelah turun dari bus, Eleanor melangkahkan kaki menuju flat Oscar. Meski kekasihnya itu tak bisa dihubungi dari semalam, tapi hanya flat pria itu yang bisa Eleanor tuju sekarang. Dan bagaimanapun, ia harus membersihkan tubuhnya dulu sebelum pergi bekerja. Eleanor hanya berharap kalau Yelena dan Margaret sudah pergi dari sana setelah apa yang terjadi semalam. Ia tak peduli dengan kedua orang itu yang mengabaikan dirinya ketika tertabrak mobil. Justru ia bersyukur karena mereka tidak nekat mengejarnya dan pergi begitu saja setelah melihatnya terkapar di atas aspal. Ketika jaraknya telah cukup dekat dengan flat Oscar, Eleanor mulai berjalan mengendap-endap dengan penuh waspada sambil mengamati area di sekeliling flat sang kekasih guna mencari keberadaan Yelena dan Margaret. Eleanor menelan ludah gugup. Meski telah ada beberapa orang yang berlalu-lalang, tapi ia tetap takut jika kedua orang itu tiba-tiba muncul. Akan tetapi, setelah beberapa saat Eleanor memantau, ia tak menemukan tanda-tanda keberadaan ibu dan kakaknya itu. Akhirnya kini Eleanor bisa bernapas lega dan merasa tenang. Setelah yakin bahwa dirinya telah aman, tanpa ragu Eleanor beranjak menuju flat Oscar. Sampai ketika ia tengah membuka kunci pintu, tiba-tiba seseorang membekap mulutnya dari belakang. Eleanor berusaha meronta untuk melepaskan diri. Namun sayang, tenaganya perlahan menjadi lemah dan pandangannya mulai buram. ‘Siapa pun ... kumohon tolong aku!’ batin Eleanor sebelum ia kehilangan kesadarannya. *** Christian menatap seorang wanita yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu berdiri di dekat jendela seraya tersenyum ke arahnya. Wanita tersebut tampak cantik dan memiliki senyum yang manis. Tangannya lalu melambai ke arah Christian yang hanya mematung di tempatnya. Namun saat ia hendak menghampiri wanita itu, tiba-tiba area sekelilingnya berubah. Kini, Christian berada di dalam ruangan putih yang tak berujung. Ia menoleh ke sana kemari merasa bingung dengan perubahan yang terjadi. Wanita tadi pun tiba-tiba menghilang entah ke mana. Christian ingin memanggil nama wanita tersebut, namun lidahnya mendadak terasa kelu dan bibirnya menjadi kaku. Suaranya tak bisa keluar sama sekali. “Chris.” Pria itu berbalik ketika mendengar suara lembut itu memanggilnya dan melihat wanita itu berdiri tak jauh darinya. Seketika ia merasa lega melihatnya. Namun, rasa lega itu perlahan memudar saat wanita tersebut berangsur-angsur menghilang dari pandangannya. ‘Tidak! Tidak! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!’ batin Christian berteriak sembari berusaha menjangkau tubuh wanita itu. ‘Jangan pergi! Tidak!’ “TIDAK!” Christian terbangun dari mimpi buruknya dengan keringat dingin yang membanjiri keningnya. Jantungnya berdebar kencang dan napasnya terengah-engah seolah baru saja lari maraton. Ia melirik jam yang telah menunjukkan pukul 7 pagi. Itu artinya ia hanya tertidur selama 2 jam. Setelah berkendara semalaman hingga mengantar wanita yang ditabraknya ke rumah sakit, Christian kembali mengendarai mobilnya tanpa arah dan baru pulang setelah jam 5 subuh. Untung hari ini bukan jadwalnya untuk berjaga di IGD. Jadi, ia bisa sedikit bersantai. Christian menghela napas panjang saat ia kembali teringat akan mimpinya barusan. Itu bukanlah satu-satunya mimpi buruk yang ia alami sejauh ini. Hanya saja, tak ada orang lain yang mengetahui tentang apa yang dialaminya selama ini. Tidak ada satu pun. Karena sudah terlanjur bangun, Christian beranjak ke kamar mandi lalu bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. “Sarapan Anda sudah siap, Tuan,” sahut Perry begitu melihat pria itu menuruni tangga. Ia adalah seorang wanita berusia 47 tahun yang merupakan kepala pelayan di rumah Christian. “Aku akan sarapan di rumah sakit,” tukas Christian sambil lalu. Perry menghela napas kecewa seraya menatap punggung Tuannya dengan sendu. “Lagi-lagi dia melewatkan sarapannya.” *** Christian membuka pintu ruangannya dan melihat Anya telah duduk di dalam sana. Wanita itu berbalik seraya mengulas senyum. “Akhirnya kau datang,” sahut Anya melambaikan tangan. “Duduklah. Aku sudah menunggumu dari tadi,” pintanya tak sabar. Sementara itu, Christian hanya menggelengkan kepala kemudian mengenakan jas putih lalu duduk di kursi miliknya. “Tadinya aku akan pergi jika kau tidak datang lima menit lagi. Tapi melihatmu datang sekarang, pasti kau melewatkan sarapan lagi. Karena itu, aku sudah menyiapkan bekal khusus untukmu. Tenang saja, kali ini bukan makanan dari Asia,” oceh Anya sembari membuka tutup kotak bekalnya yang berisi beberapa lembar roti, bacon, telur ceplok, dan kentang goreng. “Makanlah. Aku menyiapkan ini berdasarkan seleramu,” sambungnya antusias. “Kau saja yang makan. Aku harus meninjau hasil pemeriksaan pasien kemarin,” tolak Christian kemudian mulai mengutak-atik berkas-berkas di komputernya. “Ayolah, makan sesuap saja. Kau bisa benar-benar sakit jika tidak makan lagi. Aku yakin hari ini pun kau pasti akan melewatkan makan siang dan makan malam lalu hanya akan makan sepotong roti untuk mengisi perutmu,” bujuk Anya khawatir. “Aku tidak lapar,” keukeuh Christian bersikeras menolak. Anya menghela napas panjang kemudian menatap pria itu cukup lama. Entah sejak kapan semuanya mulai berubah hingga membuat sikap Christian menjadi tak acuh seperti ini dengan hidupnya sendiri. “Terkadang aku tidak bisa memahamimu. Rumah sakit ini adalah milikmu, harusnya sekarang kau berada di ruangan luas ber-AC dan hanya membaca laporan yang masuk. Tapi, kenapa kau memilih tetap bekerja di rumah sakit milikmu sendiri dengan jadwal yang sangat padat dan membiarkan orang lain yang mengelolanya?” oceh Anya. “Lihat dirimu sekarang. Kau tampak kusut dan tidak terawat. Aku bahkan tidak yakin kalau kau adalah Christian yang kukenal. Ini bukan dirimu.” Tatapannya miris melihat pria itu. “Memangnya seperti apa diriku?” tanya Christian menatap wanita itu dengan tatapan dingin. Sontak Anya bungkam. Kedua tangannya saling meremas. Matanya tampak bergetar melihat tatapan Christian padanya. Ia tahu dengan jelas bahwa ini adalah topik yang paling pria itu benci. “Aku membuat bekal ini untukmu. Jadi, makanlah,” tukas Anya kemudian beranjak dari sana. Sepeninggal wanita itu, Christian menghela napas dengan mata terpejam seraya memijat pangkal hidungnya. Ia terdiam sesaat lalu melirik kotak bekal yang Anya tinggalkan. *** To be continued.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN