8. Melarikan Diri Lagi

1429 Kata
Kening Eleanor mengerut saat kesadarannya mulai kembali. Perlahan matanya terbuka dan melihat langit-langit kamar yang tampak tak asing. Itu adalah kamarnya. Dengan pandangan yang masih buram dan kepala yang terasa sangat sakit, Eleanor berusaha mendapatkan kesadarannya sepenuhnya. ‘Kenapa aku bisa ada di sini? Sudah berapa lama aku pingsan?’ batinnya bingung. Melihat langit yang masih gelap melalui jendela yang terbuka, bisa dipastikan bahwa dirinya telah pingsan seharian. Ia lantas mengingat apa yang terjadi sebelumnya. ‘Ah. Pasti ini ulah mereka. Mereka berhasil membawaku ke sini untuk dijual lagi.” ‘Tapi, kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku?’ batinnya lagi saat tak bisa mengangkat tangannya yang terasa seakan mati rasa. Dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara percakapan di depan pintu kamarnya. Itu adalah Margaret dan Bos Barnes. “Kali ini aku akan memaafkanmu karena berhasil membawanya kembali,” tegas Bos Barnes dengan suara paraunya. “Iya, iya. Aku sangat berterima kasih atas kemurahan hatimu. Sekarang kau bisa membawanya dengan tenang,” ujar Margaret seraya terkekeh canggung. “Kau tahu berapa banyak kerugian yang kutanggung hanya untuk mencarinya? Aku-” “Ya, ampun. Aku tahu, aku tahu. Aku ‘kan juga ikut mencari anak itu. Lagi pula, aku bisa menjamin kalau kau tidak akan menyesal membelinya. Aku merawatnya dengan baik selama ini,” sela Margaret percaya diri. “Dan tenang saja, kali ini dia tidak akan bisa kabur. Aku telah memastikan untuk membiusnya setiap satu jam, jadi dia tidak akan bangun sampai tiba di rumahmu,” sambungnya. “Baiklah. Aku akan melewatkannya kali ini,” ucap Bos Barnes mengalah. “Tapi, bagaimana jika kau menjual anakmu yang satu lagi? Kulihat dia juga lumayan cantik.” “Oh! Tidak. Yang itu tidak boleh,” tolak Margaret cepat. “Kenapa? Kau bisa mendapatkan uang lebih banyak jika menjualnya padaku. Aku akan memberimu tiga kali lipat jika kau mau menjualnya,” bujuk Bos Barnes. Margaret menggeleng tegas. “Tetap tidak boleh. Cukup satu saja yang kujual. Yang satunya lagi adalah harta berharga yang telah kusiapkan untuk masa depanku. Sejak dulu hanya dia yang bisa kuandalkan.” Bos Barnes lantas tertawa terbahak-bahak. “Memang tidak ada yang bisa mengalahkan otak licikmu.” “Bukankah itu juga menguntungkanmu? Kau bisa mendapatkan seorang wanita cantik berkatku,” gurau Margaret lalu keduanya tertawa bersama. Di lain sisi, air mata Eleanor mengalir mendengar percakapan mereka. Ia bukanlah barang yang bisa diperjual-belikan seenaknya. Ia juga manusia yang memiliki perasaan sama seperti mereka. Tapi, kenapa dirinya diperlakukan seperti ini? Ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan lebih tega menjualnya demi uang yang tak seberapa. Apakah ini memang hal lumrah yang biasa dilakukan oleh orang tua? Eleanor lelah. Ia telah muak dengan semua ini. Ia tak ingin hidup seperti ini lagi. Ingin rasanya ia menghilang dan melepaskan semuanya. Namun, sepertinya keinginannya terlalu muluk dan sudah sangat terlambat. Saat ini semangatnya untuk melarikan diri tak sekuat waktu itu. Tidak ada balkon yang bisa ia lalui. Pintu kamar pun dijaga oleh Margaret dan Bos Barnes. Ia bahkan tak bisa bergerak sama sekali. Tak berapa lama kemudian, seorang pria berpakaian hitam masuk dan langsung membopong Eleanor di pundaknya. Pria itu adalah anak buah Bos Barnes. Eleanor yang begitu lemah tak bisa memberontak dan hanya bisa menahan tangis dalam diam. Setelah tiba di depan kamar, Bos Barnes tiba-tiba memukul bokongg Eleanor dengan keras lalu meremasnya yang membuat Margaret sempat terkejut. “Akhirnya aku bisa mencicipimu malam ini, Cantik,” seru Bos Barnes yang disertai tawa menggelegar. Sementara itu, Eleanor hanya bisa memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya menahan hinaan yang pria paruh baya itu berikan padanya. Bahkan Margaret, ibunya, tak bereaksi apa-apa melihat putrinya dilecehkan tepat di depan matanya oleh pria paruh baya berbadan gemuk. “Bawa dia ke mobil,” pinta Bos Barnes pada anak buahnya. Eleanor lantas dibawa menuruni tangga dan berjalan ke luar rumah di mana sebuah mobil hitam telah menunggu. Namun entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-tiba saja Eleanor bisa merasakan tubuhnya bergerak kembali. Tanpa basa-basi, ia langsung mendorong pria yang membopongnya saat hendak memasukkan dirinya ke dalam mobil dan segera melarikan diri dari sana. “Eleanor!” teriak Margaret terperanjat kaget panik. “Apa yang kau lakukan?! Cepat kejar dia!” teriak Bos Barnes penuh amarah melihat Eleanor kabur tepat di depan matanya. “Baik, Bos,” ucap pria berpakaian hitam tersebut kemudian segera mengejar Eleanor bersama seorang pria lainnya. Bos Barnes lantas menatap Margaret dengan tajam. Wajahnya merah padam karena marah. “Jika aku tidak bisa mendapatkannya hari ini, kau harus mengembalikan uang yang telah kuberikan sebanyak dua kali lipat!” bentaknya. Sementara itu, Margaret hanya bisa menunduk takut dan gugup sambil merutuki Eleanor yang terus mengacaukan rencananya. Ia tak memiliki apa-apa lagi yang bisa dikatakan di hadapan Bos Barnes yang murka. Di lain sisi, Eleanor terus menyeret kakinya untuk berlari dengan seluruh tenaganya yang masih sangat lemah. Dan entah karena nasibnya yang siall atau apa, malam ini kompleks rumahnya lebih sepi dari biasanya. Bahkan seorang pejalan kaki pun tak ada. Meski begitu, Eleanor tak menyerah begitu saja. Sesekali ia menoleh ke belakang dan melihat dua orang pria yang mengejarnya telah berada tepat di belakangnya. Dengan panik, Eleanor segera mempercepat larinya meski ia telah mulai kehabisan napas dan kakinya perlahan menjadi kebas. ‘Ya, Tuhan! Kumohon, bantu aku sekali lagi! Aku tidak ingin menerima nasib siall ini begitu saja! Aku tidak mau!’ Air mata Eleanor kembali mengalir di wajahnya yang pucat. Seolah Tuhan mendengar doanya, sebuah mobil tiba-tiba melaju lambat ke arah Eleanor. Tanpa basa-basi, ia segera melambaikan tangannya pada mobil tersebut dengan wajah memelas. Ingin rasanya ia berteriak keras, namun suaranya sama sekali tak bisa keluar. Sekali lagi, Eleanor melihat sebuah harapan ketika mobil tersebut berhenti tepat di sampingnya. Namun, belum sempat ia menghampiri mobil itu, salah seorang pria yang mengejarnya lebih dulu membekap mulutnya. “Diam!” kecam pria itu tepat di telinga Eleanor yang telah berderai air mata sambil berusaha meronta tanpa mengindahkan peringatannya. Tak lama, seorang wanita keluar dari mobil dan menatap mereka dengan garang. “Apa yang kalian lakukan pada Nona ini?” tanyanya dengan berani. “Pergilah. Ini bukan urusanmu,” sahut pria lainnya. Sementara Eleanor terus meronta sambil menatap wanita itu dengan memelas meminta pertolongan. “Aku sudah terlanjur melihatnya. Jadi, ini juga urusanku,” tukas wanita tersebut. “Lepaskan dia sekarang juga,” pintanya dengan tegas. “Kau tahu? Aku paling membenci wanita yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Persis sepertimu,” desis pria itu menjilat bibir bawahnya seraya berkacak pinggang. Ia lalu mulai melangkah mendekati wanita itu sambil menyeringai. “Pergilah sekarang sebelum aku bertindak kasar padamu,” ancamnya. “Lepaskan dulu wanita itu dan aku akan pergi,” balas wanita tersebut keukeuh sembari bersedekap dadaa. “Hah! Dasar jalangg sialan!” umpat pria itu sinis. “Kau bilang apa?” tanya wanita itu tak percaya. “Kubilang, dasar kau jalangg sialann!” maki pria tersebut dengan mata melotot kemudian menarik rambut wanita itu ke belakang. “Aku sudah berbaik hati dengan menyuruhmu pergi baik-baik, tapi kau terus mengganggu kami. Ingatlah apa pun yang terjadi padamu, itu karena kau sendiri yang memilih jalan ini. Jadi, jangan salahkan aku, jalangg!” Ia lalu mengangkat tangannya hendak menampar wanita tersebut. Akan tetapi, belum sempat tangannya mendarat di pipi wanita itu, tangannya mendadak berhenti di udara. Wanita tersebut menahan lengannya dengan sebelah tangan. Dan dalam sekali hentakan, ia menyikut perut pria itu lalu membantingnya ke depan dengan kuat hingga tubuhnya membentur tanah. Tentu tindakannya itu membuat mata Eleanor melebar terkejut. “Akh!” Pria tersebut mengerang kesakitan sambil memegang perut dan punggungnya yang berdenyut sakit. Setelah mengalahkan pria itu, wanita tersebut beralih pada pria lain yang masih membekap mulut Eleanor. “Hei, kau! Cepat lepaskan dia!” “Brengsekk!” umpat pria tersebut kemudian mendorong tubuh Eleanor dengan kasar ke samping lalu berlari menyerang wanita itu. Namun, bukannya melayangkan tinju, ia justru menerima pukulan di wajah, perut, punggung, dan selangkangannya. “Kalian tahu? Aku paling membenci pria yang hanya berani melawan wanita. Persis seperti kalian,” cemooh wanita tersebut. “Dasar pria-pria pengecut. Harusnya pria seperti kalian dimusnahkan saja dari dunia selamanya,” gerutunya kesal. Di lain sisi, Eleanor yang terkejut melihat perkelahian tersebut hanya bisa mematung di tempatnya. Namun begitu, ia merasa senang karena bisa terbebas dari kedua pria yang mengejarnya. Ketika tatapannya bertemu dengan wanita yang menolongnya, Eleanor tersenyum lemah. Akan tetapi, saat ia ingin mengucapkan terima kasih, tiba-tiba saja kepalanya kembali terasa pusing dan pandangannya mulai buram. Hal terakhir yang Eleanor ingat adalah wanita itu berlari ke arahnya seraya berteriak panik. Hingga akhirnya pandangannya menjadi gelap dan ia jatuh pingsan. *** To be continued.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN