Anya mengendarai mobilnya menyusuri sebuah kompleks perumahan di mana temannya tinggal. Namun, sudah setengah jam dirinya mengelilingi kompleks tersebut dan ia belum menemukan keberadaan rumah temannya itu.
Saat Anya hendak meraih ponselnya di dalam tas untuk menghubungi temannya, tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang berlari gontai sambil dikejar oleh dua orang pria. Tak lama, wanita itu melambaikan tangan padanya. Merasa ada yang aneh, Anya memutuskan untuk menepikan mobilnya dan tanpa basa-basi langsung keluar dari mobil.
Anya menatap wanita yang mulutnya tengah dibekap oleh seorang pria. Melihat gelagat wanita itu yang terus menatapnya seolah meminta tolong membuat Anya semakin skeptis. Wanita itu tak lain adalah Eleanor.
“Apa yang kalian lakukan pada Nona ini?” tanyanya pada kedua pria itu dengan berani.
“Pergilah. Ini bukan urusanmu,” sahut salah satu dari kedua pria tersebut.
“Aku sudah terlanjur melihatnya. Jadi, ini juga urusanku,” tukas Anya. “Lepaskan dia sekarang juga.”
“Kau tahu? Aku paling membenci wanita yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Persis sepertimu,” desis pria itu. “Pergilah sekarang sebelum aku bertindak kasar padamu,” ancamnya.
“Lepaskan dulu wanita itu dan aku akan pergi,” balas Anya keukeuh sembari bersedekap dadaa.
“Hah! Dasar jalangg sialan!” umpat pria tersebut dengan tatapan sinis.
“Kau bilang apa?” tanya Anya tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kubilang, dasar kau jalangg sialan!” maki pria itu dengan mata melotot kemudian menarik rambutnya ke belakang.
“Aku sudah berbaik hati dengan menyuruhmu pergi baik-baik, tapi kau terus mengganggu urusan kami. Ingatlah apa pun yang terjadi padamu nanti, itu karena kau sendiri yang memilih jalan ini. Jadi, jangan salahkan aku, jalangg!” Ia lalu mengangkat tangan hendak menampar Anya.
Akan tetapi, Anya lebih dulu menahan lengan pria itu di udara. Ia lalu menyikut perut pria tersebut dan segera membantingnya ke depan dengan kuat hingga terdengar suara benturan yang keras di tanah.
“Akh!” Pria itu mengerang kesakitan sambil memegang perut dan punggungnya yang berdenyut sakit.
Setelah mengalahkan pria tersebut, Anya beralih pada pria lain yang masih membekap mulut Eleanor. “Hei, kau! Cepat lepaskan dia!” pintanya sambil menunjuk pria itu dengan jari telunjuknya.
“Brengsekk!” umpat pria itu kemudian mendorong tubuh Eleanor dengan kasar ke samping lalu berlari menyerangnya. Namun, Anya dengan gesit langsung melayangkan pukulan ke wajah, perut, punggung, dan selangkangann pria yang bahkan tak sempat menyentuhnya.
“Kalian tahu? Aku paling membenci pria yang hanya berani melawan wanita. Persis seperti kalian,” cemooh Anya seraya berkacak pinggang. “Dasar pria-pria pengecut. Harusnya pria seperti kalian dimusnahkan saja dari dunia selamanya,” gerutunya kesal.
Seusai membereskan kedua pria tersebut, Anya menoleh pada Eleanor yang hanya mematung di tempatnya. Ia ikut tersenyum saat melihat wanita itu mengulas senyum dengan wajah pucatnya.
Namun, belum sempat Anya membuka mulut, Eleanor tiba-tiba jatuh pingsan. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari menghampiri dan langsung menangkap tubuhnya yang telah terduduk di tanah.
“Hei! Apa yang terjadi? Sadarlah!” seru Anya sambil mengguncang tubuh Eleanor cukup kencang. Melihat tak ada reaksi dari Eleanor, ia lantas mengecek nadi wanita itu yang terasa sangat lemah. Tubuhnya pun terasa hangat.
Anya menghela napas berat kemudian segera memapah Eleanor masuk ke dalam mobilnya dengan susah payah. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengendarai mobilnya menuju rumah sakit dan melupakan tujuan awalnya berada di sana.
***
“Bagaimana kondisinya?” tanya Anya pada Christian yang secara kebetulan sedang bertugas untuk jaga malam di IGD.
“Dia terlalu banyak mengonsumsi obat tidur berdosis tinggi. Sungguh keajaiban dia masih bisa bangun dan berjalan setelah menerima obat tidur sebanyak itu sekaligus dalam sehari. Dia bahkan bisa overdosis jika mengonsumsinya sekali lagi,” terang pria itu.
“Overdosis? Ya, ampun. Siapa yang tega melakukan itu padanya? Tidak mungkin dia melakukannya sendiri, karena aku menemukannya sedang dikejar oleh dua orang pria,” tutur Anya sambil memegang dadanya tak percaya.
“Dikejar dua orang pria?” tanya Christian dengan sebelah alis terangkat.
“Ya. Dia bahkan terlihat tidak sanggup lagi hanya untuk berdiri, tapi dia masih memaksakan diri untuk melambaikan tangan padaku. Karena merasa aneh, kuputuskan untuk menghampirinya dan inilah yang terjadi,” jelas Anya.
Christian lalu menoleh pada Eleanor yang terbaring lemah di ranjang IGD. Wanita yang selalu terluka setiap kali bertemu dengannya. Entah karena nasib wanita itu yang memang siall atau takdir keduanya yang buruk.
“Tapi, syukurlah dia selamat. Entah apa yang terjadi padanya jika aku tidak kebetulan berada di sana. Mungkin orang-orang itu akan menyiksanya dengan lebih kejam,” gumam Anya merasa iba. Ia lalu menatap Christian dan mengamati penampilan pria itu dari atas ke bawah.
“Tapi, kenapa kau ada di sini? Seingatku hari ini bukan jadwalmu untuk jaga malam,” tanyanya bingung.
“Hanya ingin,” jawab Christian tak acuh sambil berlalu menuju nurse station.
“Cih! Alasan macam apa itu?” cibir Anya seraya mengikuti pria itu. “Tapi, menurutmu kira-kira siapa yang melakukan itu padanya?”
***
“Ma, aku pulang~” Dengan riang Yelena masuk ke dalam rumah setelah menghadiri pesta temannya di sebuah club. Mengenakan pakaian minim, ia sedikit berjoget asal-asalan seolah euphoria dari pesta tersebut masih terasa.
“Ma! Ambilkan aku air putih, aku haus,” serunya sambil melempar tubuhnya ke sofa lalu memejamkan mata. “Ma! Air putih! Ambilkan aku air putih!” teriaknya lagi saat Margaret tak kunjung datang membawakannya air putih.
Ketika ia hendak berteriak untuk ketiga kalinya, Margaret dengan tergopoh-gopoh menghampirinya lalu memberikan segelas air putih hangat.
“Ini minumlah,” ucap wanita paruh baya itu lalu ikut duduk di sofa.
“Tidak mau. Aku mau air dingin,” tolak Yelena sembari memberikan gelasnya kembali.
Margaret mendelik. “Minum saja. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengganti air minummu.”
“Tapi, aku benar-benar ingin minum air dingin,” rajuk Yelena cemberut.
“Ck! Ini bukan saatnya bagimu untuk merajuk hanya karena segelas air. Kau tidak tahu apa yang telah terjadi saat kau tidak ada di sini,” omel Margaret menghela napas berat.
“Memangnya apa yang bisa terjadi di sini? Manusia tidak tahu diri itu sudah pergi dan sekarang kita telah bebas,” gerutu Yelena yang dengan terpaksa meminum air hangatnya.
“Benar. Dia sudah pergi. Lebih tepatnya dia melarikan diri lagi,” tukas Margaret.
“Uhuk! Uhuk!” Yelena tersedak air. “Apa?! Lagi?!” serunya tak percaya sambil menggenggam erat gelasnya. “Sungguh tidak tahu diuntung! Sebenarnya apa mau wanita sialann itu?!”
Margaret menghela napas lemah. “Kali ini Bos Barnes benar-benar murka dan tidak ingin mendengar penjelasanku lagi. Bahkan dia sampai mengancamku.”
“Mengancam apa?” tanya Yelena dengan mata memicing curiga.
Dengan ragu Margaret melirik sang putri yang menatapnya tak sabar. “Kita harus mengembalikan semua uang Bos Barnes dalam waktu satu minggu. Jika tidak ....” Ia sengaja menggantungkan kalimatnya kemudian menghela napas berat.
“Jika tidak apa? Kenapa Mama bicara setengah-setengah?” desak Yelena mengguncang lutut sang ibu.
Sekali lagi Margaret menghela napas lalu dengan berat hati berkata, “Jika tidak, kau yang akan menggantikan Lea.”
PRANG! Sontak gelas yang Yelena pegang terjatuh ke lantai. Wajahnya melongo tak percaya. Margaret yang melihatnya lantas terperanjat kaget.
“Ya, ampun! Lena! Kau tidak apa-apa? Kenapa kau begitu ceroboh?” omel Margaret sembari memeriksa tubuh Yelena dan berusaha menjauhkannya dari pecahan kaca di lantai. “Kau tahu betapa berharganya tubuhmu. Kau harus sangat berhati-hati. Bagaimana jika kulitmu terluka karena pecahan kaca? Itu pasti akan menimbulkan bekas luka yang jelek. Lena, kau ha-”
“Ma,” sela Yelena menggenggam tangan Margaret dengan erat yang membuat gerakan wanita paruh baya itu berhenti. “Apakah Bos Barnes benar-benar mengatakan itu? Dia ingin aku menggantikan Lea?” tanyanya dengan tatapan menyalak yang membuat Margaret sesaat merasa takut. Terlihat jelas bahwa wanita itu tampak sangat terguncang saat ini.
“Y, ya. Dia sungguh mengatakan itu. Aku sampai tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengarnya,” ujar Margaret gugup.
Selama beberapa saat Yelena tak menanggapi dan hanya membisu di tempatnya. Hingga membuat Margaret semakin takut jika putrinya akhirnya menjadi gila karena masalah ini. Jika itu benar terjadi, maka benar-benar habislah riwayatnya.
Namun di luar dugaan, Yelena tiba-tiba meraung tak karuan sambil menangis. “Aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku tidak mau dijual pada tua bangka itu! Aku tidak mau! Huaaa! Mama, aku tidak mau!”
Melihat itu sontak membuat Margaret menghela napas lega. Paling tidak putrinya belum gila. Ia lantas segera memeluk Yelena sambil berusaha menenangkan wanita itu.
“Iya, Sayang, iya. Mama tidak akan membiarkan Bos Barnes membawamu. Tidak akan,” bujuknya. “Tenanglah, Sayang. Mama tidak akan menjualmu pada pria mana pun. Kau adalah putriku yang paling berharga. Pria tua bangka itu tidak akan bisa membawamu. Mama akan memikirkan cara untuk mengatasi masalah ini.”
Selama beberapa saat, Yelena hanya terus menangis sambil meraung yang membuat Margaret hampir kesulitan menanganinya. Hingga tak berapa lama, tangisan Yelena mendadak berhenti seketika. Wanita itu menegakkan tubuhnya lalu menatap sang ibu yang juga menatapnya dengan bingung.
“Ma, bukankah kita masih punya itu?” tanyanya yang membuat Margaret semakin kebingungan.
“Apa maksudmu? Kita tidak punya apa-apa lagi untuk menggantikan uang Bos Barnes. Semuanya sudah habis dijual tiga bulan lalu dan hanya rumah ini yang tersisa. Kita juga tidak mungkin lagi menggunakan Lea yang sekarang bahkan tidak jelas keberadaannya,” desah wanita paruh baya itu.
“Ck! Bukan itu maksudku. Tapi, itu,” decak Yelena frustrasi sambil menatap sang ibu dengan penuh arti.
Sementara Margaret yang masih bingung terus berusaha mengartikan ucapan putrinya. Sampai tak lama kemudian matanya membulat.
“Maksudmu ... yang itu?” tanya Margaret memastikan yang diangguki oleh Yelena dengan sumringah. “Ah! Kau benar. Kita masih punya itu. Kenapa aku bisa melupakannya?” serunya dengan wajah berbinar.
“Kalau begitu, kapan kita akan melakukannya?” tanya Yelena tak sabar.
“Tentu saja secepatnya,” jawab Margaret menyeringai.
***
To be continued.