Semua pintu apartemen di lantai yang sama dengan apartemen milikku sudah aku ketuk satu persatu untuk menanyakan apakah ada yang mengenal bayi ini tapi jawaban mereka sama.
Tidak kenal.
Bukan urusan saya.
Anak kamu ya? Pakai acara bilang ketemu di depan apartemen.
Anak haram ya mbak?
Rasanya aku lelah menggendong bayi yang sejak tadi tidak pernah menangis walau beberapa kali aku harus meletakkan bayi ini di lantai karena tanganku lelah memegang keranjangnya.
"Orangtua kamu di mana sih, dek?" Aku menoel pipi gembilnya.
Berjam-jam mengitari satu lantai tapi tidak ada satupun penghuni mengklaim sebagai orangtuanya, nggak mungkin bayi ini muncul begitu saja dari langit.
"Mbak," sapaan dari arah samping membuatku menoleh.
Satpam yang biasa aku jumpai di lantai bawah berdiri sambil melihatku dan bayi itu sedang duduk di lantai depan apartemenku.
"Saya dapat laporan mbak sejak tadi mengganggu penghuni lain, ada yang perlu saya bantu?" Tanyanya dengan ramah.
Aku langsung berdiri dan menghampiri satpam itu, kenapa nggak kepikiran sejak tadi untuk lapor satpam.
"Begini pak ..."
Aku mulai menceritakan kronologi penemuan bayi di depan apartemenku, satpam itu mendengar dengan seksama dan sesekali melirik ke arah keranjang bayi.
"Begitu pak ceritanya kenapa saya mengetuk pintu penghuni lain," lanjutku memberitahunya.
Satpam itu mendekati bayi yang masih di keranjang itu lalu melihatku.
"Bukan mbak ibunya?" Tanya satpam dengan tatapan menuduh seolah aku sedang berakting di depannya.
"Maaf ya pak, saya itu jomblo jangankan punya anak. Punya pacar saja nggak pernah, puas!" Makiku dengan kesal.
Andai aku nggak punya hati mungkin aku nggak akan peduli dengan bayi itu, tapi berhubung bayinya lucu dan cantik makanya aku bersusah payah mencari orangtuanya.
"Ya maaf, habisnya sekarang banyak maling nggak ngaku mbak. Sebaiknya mbak bawa bayi ini dulu ke dalam, kasihan kedinginan di luar sini. Saya akan buat pengumuman dan sekaligus cek CCTV, kalo memang ada orang meletakkan bayi di sini pasti terekam di CCTV kan?" Ujarnya.
Aku langsung bertepuk tangan.
"Astaga, CCTV! Kenapa saya lupa kalau di lorong ini terpasang CCTV, baiklah pak saya akan bawa dulu bayinya ke dalam apartemen saya. Kalau bapak sudah menemukan orangtuanya tolong kabari saya," pintaku.
Satpam pun mengangguk dan meninggalkan aku bersama bayi cantik nan menggemaskan ini. Aku mengangkat keranjangnya lagi dan melihat bayi itu memasukkan tangannya ke mulut.
"Kamu pasti lapar, sebaiknya kita bikin s**u dulu."
Aku membawa masuk bayi itu ke dalam apartemen. Aku meletakkan keranjangnya di atas ranjang, setelah itu aku mengeluarkan bayi dan membaringkannya di atas ranjang, aku kembali memeriksa isi keranjang itu dan hanya ada beberapa popok, surat tadi dan juga sekotak s**u bubuk untuk bayi serta botolnya.
"Ibumu di mana sih dek," aku menyentuh lagi pipi gembilnya.
Bayi itu tersenyum kepadaku, senyumnya entah kenapa sangat indah sekali. Aku jarang berinteraksi sedekat ini dengan bayi, paling jauh aku hanya menggendong itupun cuma dua menit lalu aku kembalikan ke ibunya.
"Mau s**u? Lapar? Sebentar, kakak bikinkan dulu s**u untukmu," aku meletakkan beberapa bantal agar dia tidak jatuh dari ranjang.
Aku membaca petunjuk membuat s**u bayi dan ternyata ribet juga, air nggak boleh panas. Takaran harus pas agar bayi kenyang dan bisa merasakan gizi diusianya.
Setelah berkutat dengan tatacara membuat s**u, akhirnya sebotol s**u siap untuk si bayi. Aku kembali ke kamar dan melihat bayi itu masih asyik menggigit tangannya.
"Ayo minum s**u dulu," aku menggendongnya lalu memberinya s**u tadi.
Ternyata bayi ini benar-benar haus, dalam sekejap botol s**u yang terisi penuh langsung habis. Setelah habis dia kembali tersenyum padaku, mungkin ini cara dia berterima kasih karena aku sudah memberinya sebotol s**u.
Ting tong ting tong
"Mungkin bapak satpam tadi," aku meletakkan bayi tadi di dalam keranjang lalu bergegas menuju pintu.
Dengan buru-buru aku membuka pintu tapi bukannya satpam yang aku temui tapi kedua orangtuaku.
"Eh mama ... Eh papa kok datang nggak bilang-bilang," sapaku sambil mengambil beberapa plastik bertuliskan nama supermarket terkenal di Jakarta dari tangan mereka.
"Orangtua berkunjung memang harus bilang dulu? Kami sengaja datang sekaligus mau inspeksi mendadak, siapa tau kamu kumpul kebo di sini tanpa seizin mama," mama mulai mengoceh dan mengedarkan matanya ke seluruh ruangan.
Berhubung aku tidak melakukan seperti yang dituduhkannya tadi aku pun cuek bebek dan memeriksa plastik bawaan mereka.
Papa memilih diam dan duduk di sofa sambil membaca koran, mama masih memeriksa setiap ruangan dan terakhir dia masuk ke dalam kamarku.
"Astaga! Kamu sudah punya bayi?" Teriakan mama membuatku berhenti memakan buah apel.
Aku teringat bayi yang ada di kamarku.
Mama membawa keranjang itu keluar dari kamarku lalu meletakkan keranjang itu di dekat papa.
"Lihat pa, benarkan firasat mama kalau Adara itu pasti menyembunyikan sesuatu dari kita makanya dia nggak mau pulang ke rumah atau pun menikah, ya karena bayi ini!"
Kambuh lagi sikap lebay mama yang selalu mendramatisir keadaan dengan sekehendak hatinya.
"Bayi itu bukan anak aku kok, ma. Jangan lebay deh," aku kembali menggigit apel.
"Dengar tu, jangan asal bacot." Kali ini papa membelaku walau matanya masih tertuju ke artikel yang ada di koran.
Mama mendekatiku memegang bahuku lalu memeriksa tubuhku.
"Benaran ini bukan anak kamu?" Tanya mama dengan tatapan menyelidik.
"Nggak, ih nggak percaya sama anak sendiri. Gini ma, tadi itu aku menemukan bayi itu di depan pintu apartemen, aku sudah cari siapa orangtuanya tapi belum ketemu. Tapi aku sudah minta satpam membantuku mencari orangtuanya, untuk sementara aku terpaksa mengasuhnya," balasku.
Mama menghela napas sambil mengelus dadanya.
"Baguslah, mama nggak bisa bayangkan kalau kamu punya anak tapi suami nggak punya," mama menjentik keningku lalu menuju dapur.
Mama membuka kulkas dan decakan keluar dari mulutnya."Ckck kosong melompong, pa. Untung kita belanja sebelum ke sini, kamu ini ngapain aja sih? Ke rumah mama jarang, isi kulkas nggak ada, punya pacar nggak ada juga," sindir mama tajam sambil memasukkan barang-barang yang dibelinya.
"Nulis ma," jawabku jujur.
Mama melirikku tajam.
"Kapan kawin?"
"Bacot dijaga, ma." Tegur papa.
"Kapan nikah?" Tanya mama lebih manusiawi.
"Papa kapan nikah lagi?" Balasku tidak mau kalah.
"Adara, bacot!" Teriak papa lantang.
Mama melemparkan timun ke arahku dan aku balas dengan senyum nggak jelas.
"Nah nggak enakkan ditanya kayak gitu. Aku juga kesel tiap ketemu mama selalu nanya itu mulu," kataku membela diri.
"Mama karena nggak mau anak gadis mama jadi perawan tua," balas mama masih adu ngotot denganku.
"Yang masih perawan siapa sih ma? Yakin amat aku jadi perawan tua," mama berdiri dari posisinya.
Papa kayaknya mulai bosan teriak bacot dan memilih bermain dengan bayi itu. Mama mendekatiku lalu memegang perutku, aku langsung terkejut dan mencoba menghindar.
"Itu benaran bukan bayi kamu?" Tanya mama sambil meraba setiap sudut perutku.
"Astaga, masih saja nggak percaya. Nih periksa!" Aku mengangkat kaos agar mama bisa melihat perutku yang masih mulus.
"Ini bekas operasi apa?" Mama menunjuk bekas operasi yang ada di perutku.
"Usus buntu," balasku.
"Kok mama nggak tau? Benaran usus buntu? Bukan bekas ceasar kan? Kamu nggak hamil diam-diam kan?" Mama melihatku dengan tatapan bak detektif yang sedang menyelidiki kasus pembunuhan dan tentu saja aku lah tersangka utamanya.
"Tidak! Aku nggak pernah hamil!" Teriakku lantang.
"Bacot, Adara! Itu mama kamu!" Tegur papa karena aku berani teriak di depan mama.
"Habisnya mama ngeyel pa, masa bekas operasi usus buntu dibilang bekas ceasar," kataku membela diri.
Papa menggelengkan kepala melihat aku dan mama selalu berdebat setiap bertemu.
"Mama sih, dibilang nggak sama anak sendiri malah nggak percaya. Lagipula nggak mungkin bayi ini anaknya Adara, Adara itu jelek sedangkan bayi ini imut," papa sekalinya ngomong tapi nyelekit, seenaknya ngatain anak sendiri jelek.
"Aku itu jelek karena pabrik yang menghasilkan aku itu jelek juga. Berbeda dari bayi itu, aku yakin pabriknya luar biasa bagus makanya hasilnya cantik," papa langsung melemparkan popok ke arahku.
"Pa, mama masukin lagi saja anak durhaka ini ke rahim mama ya. Seenaknya bilang pabrik kita jelek," oceh mama.
"Silakan, nanti kita produksi lagi anak secantik bayi ini," ujar papa.
"Eh enak saja, nggak boleh ya ada anak lain!" Tolakku sambil berkacak pinggang.
****