Aku tergopoh-gopoh menuju pos satpam sambil memegang keranjang si bayi, entah kenapa tengah malam tadi bayi ini rewel banget dan membuatku kalang kabut. Aku bahkan baru memejamkan mata jam setengah lima pagi dan ujung-ujungnya aku bangun kesiangan.
Tanpa dandan dan menyisir rambut aku langsung pergi membawa bayi yang belum sempat aku mandikan, aku hanya mengganti baju dan popoknya.
"Pak, gimana? Sudah ada kabar?" Tanyaku terburu-buru, sesekali aku melirik jam di tangan dan setengah jam lagi waktu yang aku butuhkan untuk sampai ke kantor.
Satpam kemarin menggelengkan kepalanya.
"Belum ada satupun orang yang mengklaim anak itu mbak," balasnya.
Aduh, kacau kalau begini.
Aku mengarahkan keranjang bayi ke satpam itu.
"Pak, saya mau kerja. Bisa bapak jaga bayi ini?" Tanyaku.
Satpam itu menggaruk kepalanya lalu menyunggingkan senyum lebarnya.
"Maaf, mbak. Saya bisa dipecat kalau ngasuh bayi di jam kerja. Mbak mau tanggung jawab? Anak saya lima mbak, masih kecil-kecil," jawabnya.
Aku menghela napas dan menarik kembali keranjang bayi.
"Baiklah, maaf. Pokoknya bapak harus cari orangtua bayi ini ya," pintaku.
"Siap!" Satpam langsung memberi hormat kepadaku.
Aku melihat bayi yang tersenyum lagi padaku.
"Kamu ini ya dek bikin kakak kewalahan, kakak terpaksa bawa kamu ke kantor." Aku menoel lagi dagunya dan membawa keranjang bayinya menuju mobilku.
Mudah-mudahan ibu Aurora tidak marah melihatku ke kantor membawa bayi, tapi melihat sifatnya aku yakin 100 persen kalau ibu Aurora akan ngomel di kantor ada bayi.
****
Tebakanku benar, sesampainya di kantor langsung terjadi kehebohan luar biasa saat aku datang membawa keranjang berisi bayi. Banyak karyawan dan penulis lain mengerubungi keranjang yang aku letakkan di ruang istirahat.
"Mbak Adara, ini bayi siapa?" Tanya Gina, office girl yang sedang membersihkan ruang istirahat.
"Nggak tau, kemarin nemu di depan apartemen," balasku.
Semua mata langsung tertuju padaku, seakan tidak percaya kalau bayi itu memang aku temukan kemarin di depan apartemen.
"Masa sih mbak? Setauku orang buang bayi itu di mesjid, jalanan, tempat sepi atau panti asuhan. Baru sekali ini aku dengar di depan apartemen," sela Kaila, penulis junior yang baru gabung satu bulan yang lalu.
Benar juga sih apa yang barusan Kaila ucapkan, kok bisa tinggalkan bayi di apartemen kecuali orangtua bayi itu mengenalku.
Ya, pasti ibu atau ayahnya mengenalku. Aku teringat surat yang ditinggalkan di dalam keranjang. Di surat itu tertulis namaku, berarti orangtuanya pasti mengenalku tapi siapa? Aku mencoba mengingat kenalan yang baru-baru ini hamil tapi nihil.
"Nggak tau juga, pokoknya bayi ini gue temukan di depan pintu apartemen," kataku dengan tegas.
Beberapa karyawan masih asyik melihat bayi yang selalu menyunggingkan senyum manisnya.
"Namanya siapa, mbak?"
Nama?
"Nggak tau, belum ada namanya."
"Terus kita panggil apa?"
Aku berhenti menuangkan air panas ke dalam botol susunya, iya juga bayi ini butuh nama.
"Oi ... Ada rapat mendadak, ngegosip aja lo di sini," Suara cempreng Senno membubarkan kerumunan yang mengerumuni bayi.
Senno melihat ke arah keranjang.
"Apaan tu?" Tanyanya kepo.
"Boneka, minggir!" Aku melewatinya dan memberikan s**u untuk si bayi biar nggak lapar saat aku kerja nanti.
Senno mengintip ke arah dalam keranjang.
"Lo culik anak siapa?"
Reflek aku langsung menendang kakinya dengan ujung heel yang cukup runcing, Senno langsung mengaduh kesakitan dan dia langsung membalas dengan menoel keningku dengan jarinya, sampai kepalaku tertoyor ke belakang.
"Sialan, lo!" Makiku dengan kesal.
Bayi yang sedang asyik mengenyot botol susunya langsung nangis mendengar makianku.
"Pergi lo! Nangis kan bayinya," aku menggoyangkan keranjang agar bayi ini diam.
Bukannya pergi Senno malah mengambil bayi dari dalam keranjang dan menggendongnya supaya bayi ini diam.
"Cup cup anak pintar ... Anak cantik ... Nggak boleh nangis," bujuknya dengan suara lembut.
Bayi langsung diam dong.
"Eh, lo bapaknya ya?" Tebakku asal.
Senno melihatku tajam.
"Anak dari Hongkong, masih perjaka gini."
"Mbehhh, perjaka bagian depan lo tapi gue yakin yang bagian belakang udah nggak," sindirku balik.
"Bacot! Ada anak kecil tau!" Senno membelalakkan matanya.
Aku pun memilih diam.
Tidak lama si bayi akhirnya tertidur pulas, pelan-pelan Senno meletakkannya kembali ke dalam keranjang.
"Anak siapa sih?" Tanyanya lagi.
Aku mengangkat bahu pelan.
"Nggak tau, ketemu di depan apartemen gue kemarin. Udah capek nyari orangtuanya tapi belum ketemu, anehnya ada nama gue di surat yang ditinggalkan orangtuanya. Gue yakin pasti orangtuanya kenal gue."
Senno mengangguk-anggukan kepalanya.
"Yakin? Bukan anak lo, kan?"
Hadeuhhhh kenapa sih pada nggak percaya semua orang kalau bayi ini bukan anakku.
"Gue kayak emak-emak ya? Kok semua orang pikir gue ibunya?" Tanyaku bingung.
Senno pun mengangkat bahunya.
"Ya, habis aneh sih. Lo tiba-tiba bawa bayi ke kantor gimana orang nggak curiga kalo bayi ini bukan anak lo," balasnya.
"Yeee tapi kan kalian bisa mikir. Gue pernah kelihatan hamil nggak? Perut gue buncit selama sembilan bulan? Masa punya anak nggak pake acara hamil dulu, ngaco lo!"
Senno melirik ke arah perutku, lalu ia tersenyum jahil.
"Iya sih, perut lo nggak pernah kelihatan buncit tapi kayak balon kalo ditusuk peniti langsung berbunyi stttttttt terus terbang," Senno membuat gerakan terbang ala superman.
Lagi-lagi aku tendang betisnya dengan ujung heel saking kesalnya.
"Rese lo!"
****
Dengan susah payah aku membawa keranjang di tangan kanan sedangkan tangan kiri membawa plastik berisi barang-barang bayi seperti popok, baju-baju dan juga peralatan lain yang dibutuhkan bayi.
Aku kembali melewati pos satpam.
"Udah ada kabar pak?" Tanyaku.
Satpam kembali menggelengkan kepalanya.
"Saya sudah bikin pengumuman di papan pengumuman tapi belum ada yang ngaku, sementara bayinya mbak asuh saja ya atau kalau kesusahan mbak antar saja ke panti asuhan," balas satpam.
Ih, nggak deh. Mana tega aku meletakkan bayi ini di panti asuhan.
"Ya sudah, kalau CCTV?"
Lagi-lagi satpam menggeleng pelan.
"Saya sudah cek ternyata CCTV lantai apartemen mbak hari itu lagi rusak, jadi nggak ada kegiatan yang terekam hari itu," balasnya.
"Baiklah, pokoknya kalau ada berita baru tolong kabari saya," pintaku.
Setelah berbincang dengan satpam aku langsung membawa keranjang serta plastik dengan susah payah.
"Haduh, ribet!" Aku hendak meletakkan keranjang di lantai untuk menekan tombol lift.
"Lantai berapa, mbak?" Aku menoleh ke arah kanan dan melihat seseorang yang baru aku lihat di sekitar apartemen menawarkan bantuan untuk menekan tombol lift.
"Lantai 16, makasih." Aku tidak jadi meletakkan keranjang tadi.
Tidak lama lift pun melaju.
"Orang baru mas? Atau tamu?" Tanyaku sekedar basa basi.
Laki-laki itu tersenyum ramah.
"Saya penghuni baru dan kebetulan kita tinggal di lantai yang sama," balasnya.
"Oooo, unit berapa?"
"1604."
Aku tercengang.
"Wah kita tetanggaan ternyata, saya di unit 1603."
Laki-laki itu tersenyum lagi. Aku diam-diam menatapnya dengan kagum, laki-laki ini benar-benar titisan dewa berbentuk manusia. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, wajah berbentuk lonjong dengan alis tebal. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan dagunya. Ditambah aroma parfum khas semerbak memenuhi lift.
"Mbak, ayo."
Lamunanku buyar saat melihat lift akhirnya terbuka. Dengan susah payah aku langsung keluar dari lift, aku sengaja jalan pelan agar bisa melihat laki-laki itu masuk duluan ke dalam apartemennya dan ternyata benar, dia tinggal di sebelah kiri apartemenku.
"Salam kenal, mbak." Ujarnya sebelum masuk ke dalam apartemennya.
Ah aku kenapa nggak tanya namanya ya. Entah kenapa aku jadi penasaran siapa namanya.
****