Hari ini sepertinya aku tidak bisa membawa bayi ke kantor, kemarin saja ibu Aurora menatapku bagai ibu tiri kejam tapi aku juga nggak mungkin meninggalkan bayi sendirian di apartemen, nggak mungkin dia bisa bikin s**u dan ganti popok sendiri.
Satu-satunya jalan dengan minta mama menjaganya walau aku yakin mama pasti akan mengoceh bak masinis kereta api.
"Belum ketemu orangtuanya?" Tanya mama sesampainya di apartemenku.
Kali ini papa nggak ikut katanya ada meeting dengan RT setempat perihal penggerebekan anak kost yang ketahuan kumpul kebo.
"Belum, makanya aku pusing," aku mengunyah roti bakar isi telur mata sapi yang dibawa mama dari rumah.
Mama menepuk-nepuk punggung bayi sambil menyanyikan intro lagu bukan boneka nya Kekeyi.
"Please, jangan lagu itu ma. Kasihan bayi bisa stress dan illfeel main boneka pas dia gede," pintaku dengan wajah muak dan mau muntah.
"Ih lucu tau, keke bukan boneka boneka boneka," ulang mama lagi.
Bukannya tidur atau pun nangis bayi malah tertawa.
"Nah kan, Onet ketawa dengar mama nyanyi. Onet suka kan suaranya tante," Aku langsung tersedak mendengar mama menyebut panggilan tante.
"Nenek kelessss, tante dari Hongkong!" Ocehku.
Mama menyunggingkan senyum lebarnya.
"Eh tunggu, kok namanya Onet? Seenaknya saja kasih nama anak orang Onet!"
"Hehehe habis mama nggak tau namanya, masa nggak ada nama panggilan. Kamu saja mama kasih nama Adara sebelum kamu diproduksi, jadi pas kepala kamu brojol ke dunia papa langsung teriak Adara ...hh, terus pingsan."
Aku menepuk keningku dengan keras. Punya mama halunya nggak ketolong tapi biarlah walau begitu aku tetap sayang.
"Yo wes, aku pergi dulu ke kantor. s**u Onet ... Eh jangan Onet lah tapi Olivia lebih kece, s**u Olivia sudah aku siapkan di atas nakas di kamar. Popoknya juga sudah rapi di dekat s**u, mama jagain Olivia dulu hari ini," pintaku dengan wajah memelas.
Mama mengangguk lalu melanjutkan nyanyiannya.
"Keke bukan boneka boneka boneka." Aku mendengar kekehan khas anak bayi dari mulut Olivia.
Iya bukan boneka tapi vodoo.
Ah kebayang lagi kan lagunya.
Adara bukan boneka boneka boneka.
Shit! Aku malah reflek menyanyikannya saat menuju lift. Lagu itu memang bikin gila pendengarnya.
****
Saat hendak masuk ke dalam mobil aku melihat laki-laki tampan kemarin sedang memeriksa ban mobilnya. Ban mobil itu terlihat kempes dan beberapa kali ia melirik jam di tangannya. Berhubung kemarin dia membantuku menekan tombol lift nggak ada salahnya hari ini aku menawarinya bantuan.
Sekedar basa basi sih sebenarnya.
"Eh mas yang kemarin," sapaku seolah baru melihatnya.
Laki-laki itu menoleh ke arahku dan ia cukup kaget bertemu lagi denganku.
"Mbak yang di lift kemarin?" Tanyanya sambil berdiri.
Aku mengangguk cepat.
"Bannya kempes? Nggak ada ban cadangan?" Tanyaku sambil celingak celinguk ke dalam mobilnya.
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya.
"Saya baru pindah dari Sydney beberapa hari yang lalu dan ini mobil keluarga jadi saya nggak tau ternyata ban serapnya nggak ada," laki-laki itu melirik lagi ke jam tangannya, "setengah jam lagi ada meeting dan saya masih di sini," lanjutnya dengan kesal.
"Oh, kantornya daerah mana? Saya di Sudirman kalau se arah kita bisa semobil, itu pun kalau mas mau. Anggap balasan karena kemarin sudah membantu saya yang sedang kesulitan," ujarku menawarkan tumpangan.
Adara bodoh! Mama sudah berulang kali memberitahuku untuk tidak memberi tumpangan orang asing yang tidak dikenal.
"Sepertinya kita memang searah, saya juga mau ke daerah Sudirman."
Gayung bersambut kayaknya.
"Ya udah, tapi mas yang nyetir bisa?" Aku menjulurkan kunci mobil ke arahnya.
Dia pun mengambil kunci mobil dari tanganku. Aku benar-benar kesambet di mana sih, sudahlah memberi tumpangan orang asing sekarang malah menyuruh orang itu mengemudikan mobilku.
Fix sebentar lagi namaku keluar di acara Sergap.
'Seorang penulis ditemukan termutilasi di daerah terpencil'
Hiiii, bulu kudukku langsung berdiri.
"Mbak, jadi?" Panggilan dari arah dalam mobil membuat khayalan anehku buyar. Aku bergegas masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, hanya lagu Secret Number berjudul Who Is Dis? Mengalun merdu di tengah kesunyian.
"Oh iya, nama saya ..."
Drttt drttt
Aku mengeluarkan ponsel dan nama mama muncul di layar ponselku.
"Sebentar, mama saya nih."
Laki-laki itu mempersilakan dan aku langsung menjawab telepon dari mama sebelum mama mengoceh karena aku telat menjawab teleponnya.
"Ada apa ma? Aku ..."
"Onet mencret. Kamu kasih s**u merek apa sih?"
"Olivia? Ih sudah dibilang namanya Olivia masih saja dipanggil Onet! Olivia ma bukan Onet!"
"Whatever, pokoknya si Onet eh Olivia mencret-mencret. Kayaknya susunya nggak cocok, kamu beli merek apa sih?"
Aku menggaruk kepalaku, kemarin aku nggak ketemu s**u yang mereknya sama dengan yang ditinggalkan orangtua Olivia. Akhirnya aku asal ambil s**u yang menurutku cocok untuk diberikan ke anak bayi.
"Dancow +3 kayaknya."
"Ya elah pantasan mencret, Onet eh Olivia ... Ih ribet, pokoknya mama mau panggil Onet saja. Itu s**u untuk anak usia tiga tahun bukan tiga bulan."
"Ya mana aku tau, namanya juga belum pernah brojolin anak. Kirain karena ada angka tiga itu bisa juga untuk anak bayi."
"Ya udah mama bawa Onet ke klinik di bawah saja."
"OLIVIA!"
Aku matikan sambungan telepon dan melirik ke arah laki-laki itu yang kaget mendengar terikan barusan, aku membalas dengan cengiran malu.
"Maaf, mama aku rese banget kasih panggilan ke bayi kemarin. Masa dipanggil Onet, padahal aku sudah pilihkan nama Olivia," aku mencoba menjelaskan.
"Santai, saya sudah dengar tentang bayi itu dari pengumuman yang ditempel di papan pengumuman. Belum ditemukan juga orangtuanya?" Tanyanya.
Aku menggeleng lemah.
"Belum."
"Kenapa nggak lapor polisi," ujarnya memberi saran.
Astaga, kenapa aku tidak kepikiran sampai ke sana ya? Aku hanya sibuk meminta satpam mencari orangtua Olivia. Seharusnya aku melapor ke pihak kepolisian, mereka pasti bisa mencari tau siapa orangtuanya.
"Iya juga ya, nanti deh saya coba lapor sepulang dari kantor. Terima kasih sudah memberi saran terbaik yang pernah saya dengar sejak menemukan Olivia ... Oh iya nama saya Adara, kalau nama mas?"
"Setto ... Setto Araghutama," katanya sambil tersenyum simpul.
Wow, ini luar biasa.
Namanya sama persis dengan nama cinta pertamaku sayangnya mereka itu dua orang yang berbeda.
"Senang berkenalan dengan mas Setto," aku menjulurkan tanganku ke arahnya dan dia pun membalas uluran tanganku.
Cukup lama tangan kami bersalaman hingga akhirnya aku menarik tanganku terlebih dahulu.
Mobil akhirnya berhenti di depan gedung perkantoran dan letaknya ternyata tidak jauh dari kantorku.
"Terima kasih tumpangannya, Adara."
"Sama-sama mas. Ternyata kantor kita tidak jauh jaraknya jadi aku bisa langsung sampai."
Mas Setto pun turun dari mobil dan melambaikan tangannya, setelah pindah ke kursi supir aku pun bergegas menuju kantor sebelum ibi Aurora ngamuk lagi karena aku belum menyetorkan naskah bab dua ke tangannya.
****
Hari ini aku agak sibuk dengan berbagai revisi bab satu dan juga setoran bab dua. Sudah tiga gelas kopi habis aku minum agar mata ini tidak mengantuk.
"Bayi lo mana?" Tanya Senno.
"Gue tinggal sama nyokap, lo jangan ganggu gue deh hari ini. Bab satu gue banyak revisi nih, ibu Aurora kasih tenggat waktu malam ini," usirku dengan tajam.
Senno mengambil gelas kopiku dan meminumnya tanpa seizinku.
"Oooo, gue juga lagi pusing. Novel gue belum ada kemajuan, apa sebaiknya gue liburan dulu ya ke Sydney? Sekedar berkunjung untuk melepaskan penat otak sambil jenguk ponakan," balasnya.
Aku langsung berhenti mengetik.
"Setto sudah punya anak? Kapan lahirnya? Kok gue nggak tau ya?" Tanyaku.
Senno kembali menyesap kopi milikku lalu ia mengangguk pelan.
"Belum gue kasih tau ya? Hmmm, beberapa bulan yang lalu sih dan mereka bahagia banget menyambut kelahiran anak pertama mereka, lo harus bertemu anak itu. Pipinya unyu kayak lo, gembil-gembil kayak bakpao." Senno mencubit pipiku dengan kasar.
"Sialan! Ini bukan gembil tapi semok." Aku menjulurkan lidah ke arahnya.
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku
"Adara," panggilnya.
"Hmmm, jangan ganggu deh."
"Cariin gue pacar dong. Gue pengen kayak Setto, hidup normal dan punya anak cantik."
Aku langsung batuk mendengar ucapannya barusan.
"Lo? Nggak belok lagi? Kesambet di mana?" Sindirku.
"Habisnya ponakan gue lucu banget, gue iri dong."
Aku tertawa sambil menggelengkan kepala beberapa kali.
"Hahahaha, adopsi si Olivia aja kalo orangtuanya nggak ketemu juga, gimana?"
Eh kenapa aku kepikiran sampai sejauh itu. Kalau orangtua Olivia tidak juga ditemukan apakah aku harus mengadopsi Olivia? Aku nggak mungkin menyerahkan Olivia ke panti asuhan.
"Adopsi? Hahaha, syaratnya ribet. Lo harus nikah dulu baru bisa adopsi, mau?"
Nikah?
Nanti dulu deh.
****