Bab 5

1259 Kata
Jam mulai menunjukkan angka dua dini hari saat aku akhirnya menyelesaikan seluruh revisi bab satu, aku merentangkan tangan yang mulai pegal memegang pena dan juga mouse. Aku melihat ke seluruh ruangan dan hanya ada aku serta Senno yang sedang meringkuk tidur di sofa. Aku membuka laci dan mengeluarkan selimut bulu yang selalu ada untuk menyelimutiku saat dingin melanda. Aku mendekati sofa tempat Senno tidur lalu menyelimutinya. "Cih, katanya mau temanin gue ampe kelar revisi eh dianya malah molor," ocehku sambil menyelimuti Senno dengan selimut tadi. Setelah menyelimutinya aku berniat ke pantry untuk membuat secangkir kopi. Di pantry ada sebuah cermin tergantung di dindingnya, sebelum membuat kopi aku mematut diri di depan cermin itu. Lagi-lagi aku melihat bajuku basah dibagian d**a, entah kenapa selama beberapa bulan ini bajuku selalu basah di daerah yang sama. Selesai membuat kopi aku balik ke kubikel untuk melanjutkan menulis bab dua dan rencananya menuju bab tiga, Senno masih tidur dan sesekali terdengar suara ia mengorok. Aku mengambil ponsel dan ternyata mama sudah beberapa kali misscall. Aku pun mencoba menghubungi mama untuk bertanya tentang Olivia. "Ma, maaf tadi aku sibuk revisi bab terbaru jadi nggak kepegang ponselnya." "Kamu jam berapa sih pulangnya? Pantasan nggak mau tidur di rumah, ini sudah jam dua dini hari dan kamu masih di kantor? Ckckck, kapanlah anak gadisku bisa berumah tangga kalau kerjanya keluyuran sampai jam segini." Lebay. "Iya, aku masih ada revisi lagi ma. Gimana Olivia? Masih mencret?" "Mama mau nanya sama kamu, seandainya orangtua Onet tidak juga ketemu kamu akan melakukan apa?" Aku diam beberapa saat. "Aku nggak tau, belum kepikiran." "Kalau kamu masih ingin menjaganya sebaiknya kamu urus proses adopsinya atau serahkan Onet ke panti asuhan biar pihak panti asuhan yang mengurusnya." Sambungan telepon aku matikan. Aku masih diam memikirkan perkataan mama barusan. Aku juga tidak mungkin meminta mama menjaga Olivia setiap aku kerja tapi menyerahkan Olivia ke panti asuhan aku juga nggak mau. Ada sisi terdalam hati ini yang menyuruhku untuk terus merawatnya. Hanya adopsi satu-satunya cara terbaik untuk mengasuh anak yang ditemukan. Adopsi berarti aku harus menikah, tapi dengan siapa? Pacar saja nggak punya. "Hmmmm, berisik. Lo ngobrol sama siapa sih?" Suara Senno membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah Senno, Senno sedang mengambil botol air mineral yang berada di lantai, Senno langsung meneguk air itu sampai tersisa setengah. "Lo mau nggak jadi suami gue?" Senno langsung menghamburkan air minum dari dalam mulutnya, ia menatapku seakan tidak percaya dengan ucapanku barusan. "Lo kesambet di mana? Kenapa baru sekarang? Maksud gue kenapa sekarang lo bahas masalah pernikahan sama gue?" Tanyanya bertubi-tubi. Aku mengangkat kedua bahu lalu kembali fokus melanjutkan revisi yang tertunda. **** Jarum menunjukkan pukul tujuh pagi saat aku tiba di apartemen, sebelum pulang aku sempat singgah di minimarket untuk membeli popok untuk Olivia. "Pagi, Adara." Aku yang sedang menunggu lift melihat mas Setto sedang berdiri di sampingku sambil memegang sepeda lipatnya. "Pagi juga mas Setto, baru pulang sepedaan?" Tanyaku basa basi. Mas Setto mengangguk pelan. "Oh, mas suka main sepeda ya?" Entah kenapa pertanyaanku sangat penuh basa basi. "Iya, main sepeda bisa membuat saya menghabiskan waktu saat insomnia melanda," balasnya. Aku membuat huruf o dengan mulutku. "Baru pulang?" Tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Pekerjaan mengharuskan aku selalu pulang pagi, sangat melelahkan." Mas Setto menepuk pelan bahuku, "Kalau lelah istirahat, jangan dipaksakan. Nanti kamu sakit loh," ujarnya penuh perhatian. Entah kenapa pipiku rasanya bersemu merah mendengar perhatiannya. "Makasih atas perhatiannya, mas." "Sudah sarapan?" Tanyanya. Reflek aku menggelengkan kepala pelan. "Boleh saya traktir sarapan pagi ini?" Tawarnya. Reflek aku mengangguk pelan. Ya ampun, kenapa aku segampang ini mengiyakan ajakannya. "Ya sudah, kita ke apartemen saya. Saya akan buatkan sarapan terenak untuk kamu," ajaknya saat akhirnya lift terbuka. Bagai magnet aku pun mengikutinya, aku sengaja berdiri di belakangnya dan aku menatap kagum bagian punggungnya. Sungguh mas Setto begitu sempurna di mataku dengan punggung sangat pelukable. "Ayo," lamunanku buyar saat aku melihat mas Setto sudah berdiri di luar lift, aku bergegas ikut keluar dengan menundukkan kepala saking malu kalau mas Setto melihatku mengagumi punggungnya. Aku melewati apartemenku dan masuk ke dalam apartemen mas Setto. Apartemen yang menurutku lebih besar dibandingkan apartemen milikku walau kami berada di satu tingkat tapi jenis apartemennya berbeda. Di sini ada dua kamar, terlihat dari dua pintu bersebelahaan saat aku baru masuk. Interiornya sangat minimalis dan terkesan seadanya. Hanya ada meja makan dua kursi, sofa satu set beserta mejanya serta ada lemari buku. "Silakan duduk dulu, saya akan siapkan sarapan untuk kita," ujarnya. Aku mengangguk dan mataku tertuju pada lemari buku yang penuh dengan susunan buku. "Mas Setto suka baca buku ya?" Tanyaku. "Iya, sekedar hobi," balasnya dari arah dapur. Aku kagum melihat jenis buku yang dibacanya, lebih banyak tentang hukum, keadilan dan juga keluarga. Aku mengambil sebuah buku yang menarik perhatianku, tentang adopsi anak. "Mas, kerja dibidang hukum ya?" Tebakku karena hampir sebagian buku di rak ini membahas tentang hukum. Mas Setto mendekatiku lalu meletakkan secangkir s**u putih di atas meja. "Iya, saya seorang pengacara." Betul kan tebakanku. Aku meminum s**u yang lumayan hangat itu dan membaca buku yang aku ambil tadi. Dibuku tertulis syarat-syarat mengadopsi anak. Pasangan harus berstatus menikah dengan usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Bukti pernikahan yang sah, minimal lima tahun. Berarti, orangtua angkat yang pernikahannya kurang dari lima tahun, tidak akan diizinkan. Surat keterangan sehat jasmani rohani dari rumah sakit. Surat keterangan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum atau Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Surat keterangan penghasilan sehingga layak mengangkat anak. Ternyata Senno benar, syarat mengadopsi anak itu berat. Aku harus menikah dulu selama lima tahun baru bisa mengadopsi Olivia, jangankan lima tahun bahkan calonnya saja aku belum punya. Aku mulai menguap saking lelahnya setelah semalam sibuk merevisi tulisanku. Aku mulai berbaring di sofa dan meletakkan buku yang sedang aku baca di atas perutku dan berhubung sarapan pagi masih di masak mas Setto. Perlahan mataku mulai menutup rapat. **** Aku mencoba membuka mata yang masih terasa berat, aku mengedipkan mata beberapa kali dan mengingat apa yang aku lakukan sebelum tidur. Aku seketika langsung berdiri saat sadar aku sedang di rumah mas Setto, ada selimut menyelimuti tubuhku dan aku melihat buku yang aku baca tadi berada di atas meja. "Sudah bangun? Kamu kelihatan lelah sekali, jadi saya enggan membangunkan kamu." Aku merapikan rambutku yang kusut saat melihat mas Setto sudah memakai kemeja kerjanya. Sepertinya mas Setto mau pergi kerja. "Maaf, aku ketiduran." Aku tertunduk malu, bisa-bisanya aku tidur di rumah orang asing. Aku merogoh ponsel yang ternyata sudah mati. "Jam berapa ya sekarang?" Mas Setto melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya. "Jam delapan ... Malam," balasnya. Bola mataku langsung membesar, jadi sekarang sudah malam? Aku berjalan menuju jendela dan membuka gordennya, ternyata memang sudah malam. Bisa-bisanya aku tidur senyenyak itu bahkan aku tidak tau kalau hari sudah malam. Bahkan mas Setto sudah pergi ke kantornya saat aku tidur tadi. "Maaf," aku menggaruk kepalaku. "Santai, namanya juga ketiduran. Ya sudah, kamu pasti lapar. Saya sudah siapkan makan malam untuk kamu, soalnya sarapan tadi sudah saya habiskan sendiri," ujarnya. Astaga, aku keterlaluan. "Maaf ya mas," ulangku lagi. Mas Setto mengangkat tangannya, setelah itu ia membuka satu persatu kancing kemejanya. Dadaku langsung berdetak tidak karuan. Kenapa wajahku memerah ya. "Maaf, saya kalau makan sukanya pakai kaos saja," ujarnya. Kemeja tadi diletakkannya di dekat aku berdiri, bahkan aku sampai bisa mencium aroma parfum khas miliknya. Aku nggak bisa napas. "Ayo makan, nanti makanannya keburu dingin." Ajak mas Setto lagi, kali ini ia hanya memakai kaos berwarna hitam serta celana kain berwarna senada. Aku pun mendekati meja makannya. "Akhirnya ... Ini makan malam pertama kita, Adara." Ujarnya dengan senyum manis. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN