Makan malam yang cukup menegangkan karena aku tidak berhenti mengagumi sosok mas Setto yang duduk di depanku, beberapa kali aku mencuri pandang saat ia menikmati makan malamnya dalam keheningan tanpa suara. Hanya bunyi denting sendok dan garpu yang memecah keheningan.
"Sekali lagi aku minta maaf karena sudah lancang tidur di sofa mas Setto, aku nggak tau kenapa bisa tidur selama itu di sini. Sepertinya aku benar-benar kelelahan setelah begadang seharian di kantor," aku akhirnya memberanikan diri memecah keheningan di antara kami.
Mas Setto melihatku lalu tersenyum seperti tadi.
"Saya sudah bilang santai saja, namanya juga ketiduran kecuali kamu memang sengaja tidur agar bisa berlama-lama di sini," ujarnya.
Aku langsung tersedak dan mengambil gelas berisi air dingin lalu meminumnya sampai habis. Aku merasakan tepukan pelan di bagian punggung, aku melihat mas Setto berdiri di sampingku dengan mimik wajah panik.
"Maaf, kamu baik-baik saja kan?" Tanyanya.
Aku meletakkan gelas tadi di atas meja.
"Aku baik-baik saja kok," balasku sambil menelan ludah karena posisi kami saling berdekatan membuatku benar-benar salah tingkah, sebelum aku membuat semuanya kacau lebih baik aku pulang.
Aku pun berdiri sebelum menyelesaikan makan malam ini.
"Mas, aku pulang dulu ya."
Sebelum mas Setto menahanku, aku bergegas mengambil tas serta barang belanjaan yang aku beli tadi.
Setelah keluar dari apartemennya barulah aku bisa bernapas dengan benar.
Nggak normal ini, kenapa aku bisa nggak napas ya padahal cuma tepukan pelan di punggung, ujarku dalam hati.
"ADARA!"
Teriakan mama membuyarkan lamunanku, aku melihat mama tergopoh-gopoh mendekatiku sambil memakai alat gendongan Olivia, di belakang mama ada papa yang sedang menggendong Olivia yang sedang tidur.
"Eh mama ... Eh papa," sapaku malu.
Mama mendekatiku lalu mengarahkan tangannya ke telingaku, tanpa ampun mama menarik telingaku dengan kencang.
"Awwwww, sakit ma!"
"Biarin! Bisanya bikin orangtua kesal!" Oceh mama sambil menarikku ke arah apartemen.
"Pa, tolongin!" Teriakku dengan wajah memelas.
Papa meletakkan jarinya di mulut lalu berbisik pelan.
"Onet tidur, jangan bacot!"
"Olivia! Bukan Onet!" Teriakku kesal.
Tarikan mama di telingaku semakin keras dan tarikan itu baru berhenti saat kami sudah berada di apartemenku.
Mama berkacak pinggang sambil menatapku dengan kejam.
"Ke mana saja seharian ini?" Tanya mama bagai detektif yang sedang menginterogasi pelaku kejahatan.
Aku menggosok daun telinga yang masih terasa panas karena tarikannya barusan.
"Kerjalah, memangnya ke mana lagi?" Ujarku berbohong.
Aku tidak mungkin beritahu mama soal aku ketiduran di apartemen sebelah, bisa-bisa mama langsung mencoretku dari kartu keluarga.
"Bohong! Mama tadi ke kantor kamu karena kuatir kamu nggak bisa dihubungi dan Senno bilang kamu nggak masuk hari ini. Jadi jujur, ke mana kamu seharian ini!" Tanya mama dengan nada lantang.
Aku memilih diam karena nggak tau harus menjawab apa, aku tidak menyangka mama akan mencariku di kantor.
"Aku ... Ketiduran," akhirnya aku memberanikan diri untuk jujur.
"Di mana?" Tanya mama lagi dengan mata mendelik bagai Lely Sagita.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, apakah aku harus jujur kalau aku ketiduran di apartemen Mas Setto? Mama pasti akan membunuhku kalau sampai tau aku tidur di apartemen orang asing.
"Spa ... Aku ketiduran di spa," ujarku berbohong.
Mama semakin mendelikkan matanya lebih besar dibandingkan mata Lely Sagita.
"Benaran?"
Aku mengangguk cepat.
"Syukurlah, mama nggak bisa bayangkan kamu tidur di tempat lain," mama mengelus dadanya.
Fiuh, untung aku bisa mengelak kali ini.
"Olivia sudah makan? Rewel nggak seharian ini?" Tanyaku sambil mendekati papa yang masih bermain dengan Olivia.
Aku hendak menoel pipinya tapi tanganku dipukul papa dengan keras.
"Sembarangan, cuci tangan dulu sana nanti Onet kena virus," oceh papa.
Aku mendengus lalu masuk ke dalam kamar mandi. Aku membersihkan tangan serta mencuci muka, hanya saja tiba-tiba aku merasakan perih di ujung bibir. Aku melihat melalui cermin dan ternyata bibirku bengkak.
"Lah ini kenapa ya? Kok tiba-tiba bengkak?"
Aku mencoba mengingat tapi nihil, rasanya aku nggak ada kepentok yang mengakibatkan bibirku bengkak.
Setelah membersihkan tangan dan muka barulah aku keluar dari kamar mandi. Mama dan papa masih asyik bermain dengan Olivia.
"Ma, bibirku bengkak ya?" Tanyaku sambil mendekat dengan mama agar bisa dilihatnya.
Mama memegang bibirku lalu menilai asal muasal kenapa bibirku bisa bengkak.
"Iya, kamu habis ciuman?" Tuduh mama dengan tidak berperasaan padahal mama tau aku itu jomblo akut.
"Ciuman dari Hongkong, pacar saja tidak punya!" Aku mendekati Olivia dan menggendongnya.
"Iya sih, kamu kan nggak punya pacar gimana bisa ciuman. Ah paling dicium semut atau serangga, ya kan pa?" Tanya mama ke papa.
Papa mengangkat bahunya lalu mengambil Olivia dari gendonganku.
"Balikin Onet ke papa," papa bertindak seolah Olivia itu miliknya.
"Onet ... Onet ... Namanya Olivia! Bukan Onet!"
Kenapa sih mama dan papa suka sekali nama Onet, nggak tau apa Onet itu jelek banget untuk bayi selucu Olivia.
"Mulut mulut siapa? Mulut papa kan? Nggak usah banyak bacot," ujar papa dengan tega.
Nasibku jelek amat ya dapat orangtua unik-unik gini.
****
Hari ini mama dan papa memutuskan untuk pulang ke rumah mereka, untuk besok aku terpaksa mengasuh Olivia sendirian karena mama ada arisan berlian sedangkan papa mau pergi mancing keributan eh mancing ikan dengan teman-temannya.
Aku pun terpaksa meminta cuti walau Ibu Aurora langsung mengomel dan memintaku menyetor bab 3 dan 4 secepatnya. Aku iyakan saja asal cuti itu dapat aku kantongkan.
"Olivia cantik, minum s**u dulu." Aku membawa dot berisi s**u ke dalam kamar.
Olivia sedang menjilat-jilat tangannya yang gembil. Aku memberinya botol s**u dan dengan sekejap isi botol itu habis tidak bersisa, lambat laun mata Olivia mulai tertutup rapat. Aku menepuk pelan pahanya agar Olivia benar-benar tertidur pulas.
Ting tong ting tong
Olivia kaget dan membuka matanya mendengar bunyi bel.
Hampir saja aku mengumpat kalau saja Olivia sampai menangis. Aku pun bergegas keluar untuk melihat siapa tamu yang datang malam-malam begini.
"Eh mas Setto," wajah kesalku berubah menjadi lebih bersahabat saat tau mas Setto lah yang datang
"Sudah tidur?" Tanyanya.
Aku menggeleng pelan dan mempersilakan mas Setto untuk masuk ke dalam apartemenku. Aku merapikan banyak barang Olivia yang berantakan di meja serta kursi.
"Maaf, apartemennya berantakan." Aku mempersilakan mas Setto untuk duduk.
Aku membuka kulkas untuk mencari sekaleng minuman dingin. Untungnya masih ada minuman sarang burung walet yang tersisa.
"Minum dulu mas," ujarku mempersilakan mas Setto untuk minum.
Mas Setto membuka kaleng minumannya lalu meneguknya sampai habis.
"Maaf saya datang malam-malam, di sini hanya kamu yang bisa diajak bicara. Malam ini insomnia saya kambuh lagi, siapa tau dengan punya teman bicara saya bisa tidur walau sebentar," katanya dengan suara berat.
Aku pun duduk di sofa lain.
"Ah nggak apa-apa kok, mas. Ketiduran tadi membuat aku juga sulit tidur lagi malam ini, Olivia sudah tidur nyenyak dan dia baru bangun kalau popoknya sudah penuh," balasku.
Mas Setto mengarahkan matanya ke kamarku.
"Apakah Olivia tidak rewel?"
Aku menggeleng pelan.
"Olivia itu anak yang cantik, baik hati dan tidak pernah rewel," pujiku dengan bangga.
Mas Setto melihatku lalu ia tersenyum lagi hingga membuatku kembali salah tingkah.
"Seperti mamanya," balas mas Setto.
"Aku? Hahahaha aku bukan mamanya," balasku malu.
Mas Setto menyatukan sepuluh jarinya.
"Kamu mamanya karena sudah merawatnya sejak dia ditemukan," katanya lagi.
Iya sih.
"Mas Setto sudah menikah?"
Entah kenapa aku lancang bertanya seperti itu, aku menundukkan kepala saking malunya. Wajah Mas Setto pun langsung berubah jadi lebih dingin dan seakan tidak suka aku bertanya hal itu.
"Ah lupakan saja pertanyaanku barusan, hehehehe."
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan agar suasana kembali cair.
"Adara," panggil Mas Setto.
Aku kembali melihat ke arahnya.
"Hmmm."
"Kamu cantik malam ini," aku melihat raut wajah Mas Setto lebih tenang dibandingkan saat aku bertanya tentang pernikahan.
****