"Sudah berapa banyak wanita mas gombalin selain aku?" Tanyaku malu, aura wajahku berubah sejak mas Setto memujiku cantik malam ini.
Mas Setto tertawa lepas, ternyata mas Setto punya lesung pipit di pipinya dan setiap ia senyum aku teringat akan seseorang yang mirip dengannya tapi siapa ya? Wajah mereka mirip tapi aku nggak ingat, hmmm kenapa aku jadi sering lupa ya akan masa laluku.
"Maunya berapa? Kenapa sih setiap laki-laki memuji wanita selalu menganggap itu sebuah gombalan? Padahal itu bukan sembarang gombalan, kalau dari hati terdalam masih dianggap gombalan?" Tanyanya balik.
Aku terdiam beberapa saat, aku kehilangan kata-kata menjawab pertanyaannya barusan.
"Mas sudah makan? Eh sudah ya tadi, mau tambah minum lagi?" Aku berusaha mengelak dengan mengubah topik pembicaraan yang mulai rancu ini.
Mas Setto menggelengkan kepalanya.
"Saya tiba-tiba mengantuk, Adara. Kalau saya pulang pasti nanti rasa kantuknya langsung hilang, bolehkah saya tidur di sofa hari ini?" Mas Setto langsung mengambil posisi tidur di sofaku.
Mau aku tolak tapi mas Setto keburu menutup matanya, sepertinya ia memang butuh tempat untuk bisa tidur. Lagipula aku bisa tidur di kamar dan mengunci pintu, sebaiknya aku mengizinkan mas Setto tidur malam ini di sini.
Aku mengambil selimut dari dalam lemari dan menyelimutinya agar nanti malam tidak kedinginan.
"Selamat malam, mas." Aku pun masuk ke dalam kamar dan tidak lupa mengunci pintu.
Aku mendekati Olivia yang masih pulas tidur di ranjangku. Aku mencium pipinya pelan dan aku merapikan rambutnya yang berantakan.
"Olivia ... Siapa ya orangtua kamu? Kenapa kamu bisa dibuang begitu saja?"
Tiba-tiba aku merasakan payudaraku menegang dan sedikit sakit, aku memegang payudaraku yang terasa keras dan juga baju yang basah. Mungkin saat minum tadi aku menumpahkan sedikit air.
"Selamat malam, Olivia."
*****
Aku terbangun saat merasakan sebuah tangan mungil menyentuh payudaraku dan rasanya sangat sakit. Aku meringis dan melihat Olivia tersenyum hingga menunjukkan lesung pipitnya.
"Pagi, Olivia. Kamu ceria sekali pagi ini, sudah senyum-senyum manis," aku menoel pipinya.
Olivia mencoba untuk memiringkan badannya hingga mengenai lagi payudaraku.
"Aduh, kenapa bisa sesakit ini ya? Apa aku mau menstruasi? Kapan ya terakhir aku menstruasi?" Aku mencoba mengingat tapi lagi-lagi aku sulit mengingat kejadian lampau.
Aku turun dari ranjang dan mengendong Olivia untuk dibawa keluar kamar.
Saat aku hendak membuka kunci kamar tiba-tiba ada gedoran dari arah luar.
"Adara!" Suara mama menggelegar sampai ke dalam kamar hingga Olivia menangis karena kaget.
Aku membuka kunci kamar dan berusaha mendiamkan Olivia, mama masuk sambil berkacak pinggang.
"Mama ini datang-datang bikin keributan, Olivia jadi nangis kan?" Ocehku sambil menenangkan Olivia.
Mama berhenti berkacak pinggang dan mendekati Olivia lalu mengambilnya dari gendonganku.
"Onet kaget ya oma teriak? Maafin oma ya Onet," mama mencium Olivia.
Aku capek memberitahu mama nama Olivia dan biarlah mama memanggil Olivia dengan sebutan Onet, capek berdebat dengan mama.
"Katanya mau arisan berlian, kok ke sini pagi-pagi?"
Aku mengikat rambutku dan membentuk sanggul kecil, aku keluar dan melihat papa sedang duduk bersama Mas Setto.
Astaga!
Astaga!
"Ma," pantasan mama tadi teriak membabi buta, aku nggak sadar kalau mas Setto tadi malam tidur di sini dan orangtuaku pagi ini datang, perang dunia sebentar lagi bakalan pecah.
"Eh iya, kok mama lupa sama marahnya. Itu siapa? Kok ada di apartemen kamu? Kamu kumpul kebo kan? Onet anak kamu kan? Laki-laki itu suami dan juga ayahnya Onet kan?" Tanyanya bertubi-tubi.
Mulai lagi halunya mama.
"Nggak lah, ih sudah dibilang Olivia itu aku temukan di depan apartemenku, laki-laki itu namanya Mas Setto dan dia itu tetangga di samping, pokoknya hubungan kami tidak seperti yang mama pikirkan," balasku mencoba membela diri.
Mama membawa Olivia menuju tempat mas Setto duduk bersama papa.
"Mas, coba jelaskan ke mama kalau kita itu ..."
"Saya ... Pacarnya Adara, ma."
Heh, aku membesarkan bola mata dan langsung duduk di samping Mas Setto. Aku mendekati telinganya dan berbisik pelan.
"Jangan ngawur, mas. Mamaku bisa minta tanggung jawab kalau mas ngaku sebagai pacarku," bisikku pelan.
"Pacar? Kok kamu mau sih sama Adara?"
Mama menatap Mas Setto bagai mertua kejam di sinetron azab Indosiar yang tayang pagi, siang dan sore mungkin pas malam saja waktu sinetron azab digantikan acara dangdut penuh airmata.
"Kenapa kita pacaran, Adara?" Tanya Mas Setto balik kepadaku.
Lah kok nanya aku?
"Nggak ma, kami nggak pacaran kok. Mas Setto nggak mau mama marah saja makanya ngaku pacaran sama aku," ujarku menjelaskan.
"Pacaran tidak ... Tapi tidur se apartemen, kalian habis buat maksiat kan? Onet itu anak kalian kan?" Tuduh mama membabi buta.
"Ma, bacot. Onet dengar mama ngomong kayak gitu, nggak baik untuk perkembangan otaknya." papa berdiri lalu mengambil Olivia dari gendongan mama.
Aku memberi kode agar papa membawa Olivia menjauh dari perbincangan penuh keabsurdan ini.
"Saya pacar Adara, ma. Adara masih denial karena kami tadi malam bertengkar hebat, makanya pagi ini dia nggak ngaku," balas Mas Setto.
Aku mencubit pinggangnya karena ia mulai ngawur tapi Mas Setto tidak merasa kesakitan, sikapnya biasa saja.
"Oh gitu, jadi kamu pacarnya Adara?" Suara mama mulai melunak, kayaknya sebentar lagi mama mulai meminta hal aneh deh ke Mas Setto.
"Iya, ma."
Ma? Sedekat itu sampai Mas Setto memanggil mama bukannya tante? Padahal ini pertemuan pertama mereka.
"Kapan kalian menikah?"
Benarkan firasatku.
Aku menatap Mas Setto dengan geram, rupanya mama datang untuk menjemput Olivia yang akan dibawanya ke arisan berlian untuk diperkenalkan ke teman-temannya. Aku yang keburu tidak mood karena mas Setto akhirnya mengizinkan mama membawa Olivia.
"Mas nyebelin banget, bisa-bisanya ngawur tentang hubungan kita. Mamaku jadi berpikir kalau kita itu benaran pacaran," ocehku kesal sambil menyatukan tanganku di d**a.
Mas Setto menyunggingkan senyumnya.
Menyebalkan!
"Kok ngawur? Kamu hidup sendiri dan saya juga hidup sendiri, kalau kita memang pacaran ada yang salah?"
Aku langsung tersedak dan batuk beberapa kali.
"Mas Setto ngajak aku pacaran lempeng amat, nggak ada romantisnya."
Mas Setto mengacak rambutku beberapa kali sampai-sampai sanggul kecil akhirnya lepas dan membuat rambutku tergerai sampai ke bahu. Tangan Mas Setto merapikan rambutku yang masih berantakan.
"Kita sudah sama-sama dewasa, Adara. Tidak zamannya lagi untuk mengungkapkan perasaan seperti dulu," balasnya.
Dulu? Lah kapan? Kayak pernah saja.
"Hmmm, kita itu baru hitungan hari kenalnya loh. Kok mas bisa ajak aku pacaran?"
"Apa ya, dekat kamu saya bisa tidur nyenyak. Selama beberapa bulan ini saya nggak bisa tidur sama sekali tapi tadi malam saya tidur nyenyak, andai mama tidak datang mungkin saya belum bangun saat ini," balasnya.
Oke, jadi aku diajak pacaran karena itu? Nggak romantis banget.
"Kalau begitu pacaran sama bantal saja mas, bantal kan bisa mas ajak tidur setiap saat. Aku ini manusia loh, punya hati dan perasaan masa diajak pacaran karena mau tidur nyenyak setiap malam," aku memanyunkan bibirku.
Mas Setto tertawa lagi.
"Aku serius loh mas," aku semakin kesal, aku lagi marah mas Settoalah tertawa seakan aku itu lagi bercanda.
"Jadi mau kamu apa?"
"Nggak mau apa-apa," aku berdiri dan berniat menjauh agar rasa kesalku hilang.
Mas Setto tiba-tiba menarikku hingga tubuhku jatuh ke dalam pelukannya. Aku tiba-tiba berhenti napas dan menatap mata Mas Setto tanpa berkedip.
"Kamu mau kan pacaran sama saya?" Tanyanya sambil memeluk pinggangku.
Tubuhku tiba-tiba bereaksi aneh, aku seperti disengat aliran listrik hingga napasku sesak dan tubuhku menegang.
Seakan ini bukan pertama kalinya Mas Setto memelukku.
****