Namanya untuk pertama kali merasakan pacaran dan punya pacar setelah lama jomblo membuatku selalu tersenyum seperti orang gila, bahkan sampai ke kantor pun aku tetap senyum-senyum nggak jelas membayangkan Mas Setto mengajakku pacaran dan orang pertama yang langsung kepo adalah Senno.
Senno menggangguku dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Tumben lo senyum-senyum? Kesambet jin tol cawang?" Tanya Senno dengan wajah menyelidik.
Aku mendorongnya agar menjauh dari meja kerjaku, aku menghidupkan laptop dan kembali teringat reaksi tubuhku saat Mas Setto memelukku tadi.
"Eh gue dikacangin, fix kesambet lo!" Senno menoyor kepalaku dengan keras hingga mengenai ujung kursi, aku mengedipkan mata beberapa kali agar rasa sakit dikepalaku hilang.
Senno memegang tanganku dengan erat.
"Maaf, gue kelewatan. Kepala lo sakit?" Tanyanya.
Aku diam beberapa saat dan kembali mengedipkan mata agar rasa sakit itu hilang.
"Gue ... Nggak apa-apa," aku memegang kepalaku lalu memijitnya, aku membuka laci dan mengeluarkan botol berisi obat sakit kepala, "tolong air putih," pintaku ke Senno.
Senno bergegas ke pantry dan tidak lama ia kembali dengan segelas air yang aku pinta. Aku langsung meneguk obat itu dan setelah itu aku meletakkan kepalaku di atas meja.
"Maafin gue ya, gue selalu membuat lo sakit. Gue bukan sahabat dan juga ip ... Yang baik," wajah Senno berubah lebih serius, Senno mengurut bahuku beberapa kali dan obat penghilang rasa sakit tadi mulai bereaksi, aku mulai mengantuk ditambah pijitan di bahu oleh Senno membuatku nyaman.
Akhirnya aku terlelap dalam tidur, semoga pas bangun nanti sakit kepalaku berkurang.
****
Aku bangun setelah sejam tidur dan syukurlah kepalaku tidak lagi sakit, Senno masih menungguku dengan wajah takutnya.
"Gue nggak apa-apa kok, jangan kuatir kayak gitu deh. Biasa saja dong wajahnya," ujarku.
Senno menghembuskan napasnya beberapa kali.
"Syukurlah kalau lo nggak kenapa-napa, gue nggak akan bisa maafin diri gue lagi kalo lo sakit lagi," ujarnya dengan mimik wajah serius.
Aku tertawa lepas.
"Maksud lo kejadian tiga bulan lalu? Ya ampun, waktu itu gue cuma operasi usus buntu tapi lagaknya kayak gue baru bangun dari kematian," balasku.
Aku teringat tiga bulan lalu aku sadar dari tidur panjang dan saat bangun orang pertama yang aku lihat adalah Senno. Waktu itu aku ingatnya ada bekas operasi di perut dan aku yakin itu operasi usus buntu, Senno pun mengiyakan saat aku bertanya bekas operasi apa di perutku.
"Iya, pokoknya gue mau minta maaf sama lo." Senno berdiri dari tempatnya duduk lalu menepuk pelan bahuku sebelum kembali ke meja kerjanya.
****
Rasa lelah merevisi bab dua dan tiga membuatku ingin menghirup udara di rooftop, aku membeli segelas kopi dingin dan membawanya ke rooftop.
Saat akan membuka pintu aku mendengar suara Senno sedang bicara dengan seseorang tapi nadanya tinggi.
"Iya gue salah! Gue yang menyebabkan ini semua terjadi, gue minta maaf bang."
Aku menutup pintu pelan dan sepertinya Senno sadar dengan kehadiranku. Senno buru-buru mematikan ponselnya lalu mencoba tersenyum walau sangat dipaksakan.
"Ngobrol sama siapa?" Tanyaku dengan kepo.
Senno menyimpan ponselnya dalam saku celananya, ia mengeluarkan sebatang rokok dan menghidupkannya.
"Mau?" Tawarnya.
Aku menggeleng pelan, sejak mengasuh Olivia aku memutuskan untuk berhenti merokok.
"Baguslah, rokok hanya akan merusak kesehatan lo," ujarnya.
Aku menawarinya kopi dingin tadi dan kali ini ia pun menolak.
"Gue akhirnya punya pacar, Senno." Ujarku malu.
Senno melihat ke arahku tapi wajahnya tidak terlihat kaget, mungkin ia sudah tau sejak aku datang tadi dengan wajah malu-malu terus senyum terus mengambang di wajahku.
"Gimana perasaan lo?" Tanya Senno.
Aku terdiam.
"Entahlah, hanya saja di dekatnya d**a gue berdetak nggak karuan. Gue bahagia tapi di sudut terdalam gue ngerasa ada kesedihan gitu," balasku.
Senno kembali menepuk pelan bahuku.
"Gue cuma berdoa kali ini lo benar-benar bahagia, Adara." Setelah mengucapkan itu Senno pun meninggalkan aku sendirian.
****
Mama menyerahkan Olivia ke dalam pangkuanku, aku masih shock mama tiba-tiba datang ke kantor sambil membawa Olivia.
"Loh kok dibawa ke sini sih ma? Aku lagi kerja, nggak mungkin aku mengasuh Olivia ma."
"Mama mau pergi hangout dengan ibu-ibu arisan berlian, nggak mungkin bawa Onet ke cafe dong. Ya sudah mama balikin ke kamu, lagian perjanjiannya hari ini kamu cuti kenapa malah masuk kerja? Oh iya, kapan Setto melamar kamu? Katanya pacaran?" Mama mulai usil lagi.
Aku menggendong Olivia dan mencium aroma busuk dari popoknya yang penuh dengan pup.
"Ma, aku itu baru pacaran loh."
Mama mengangkat tangannya.
"Alah, kayak abg saja pakai acara pacaran. Suruh dia lamar kamu lagi atau mama akan carikan suami baru untuk kamu," mama melewatiku dan sengaja mengibaskan rambut panjangnya.
"Cih, gaya oma mu Olivia. Suami baru? Cih, kayak aku pernah bersuami saja," aku mengambil tas berisi popok dan membawa Olivia menuju ruang ganti.
Setelah mengganti popok, memberi s**u dan juga menidurkan Olivia aku pun membawa Olivia menuju meja kerjaku.
"Eh ada Onet," aku melihat Senno berdiri sambil mencubit pipi gembit Olivia.
"Olivia ya bukan Onet, lagian lo kok ikut nyokap bokap gue panggil Onet."
Senno menggendong Olivia, ia mengangkat kedua bahunya dan membawa Olivia ke meja kerjanya.
"Onet yang cantik main sama om Senno ya, peek a boo!" Senno membuat gerakan lucu dan itu membuat Olivia tertawa lepas, ia menjilat tangan mungilnya dan Senno melarang.
"Onet ... Onet ... Onet..." Panggil Senno.
Olivia tertawa ngakak saat Senno memanggilnya Onet. Dasar bocah dikasih nama bagus malah suka dipanggil Onet. Aku cuma bisa menggelengkan kepala melihat interaksi Senno dan Olivia, lumayan Olivia ada yang jaga sembari aku mengejar revisi bab yang tertunda.
****
Jarum jam menunjukkan pukul lima saat aku melihat ponselku berdering, nama mas Setto muncul di layar ponselku.
Aku langsung bergegas menjawab panggilannya.
"Halo, mas Setto."
"Sudah selesai revisi bab baru novel kamu?"
Aku menoleh dan melihat mas Setto berdiri di belakangku sambil memegang ponselnya.
"Loh kok mas bisa di sini?" Tanyaku kaget.
"Tadi sekalian pulang kerja dan saya mau jemput kamu pulang," ujarnya.
"Onet sudah nyu ... su," Senno muncul dari ruang istirahat sambil menggendong Olivia. Senno melihat ke arah Setto dan aku secara bergantian.
"Oh iya mas, ini Senno teman kerjaku sekaligus sahabat baikku," aku memperkenalkan Senno kepada mas Setto tapi entah kenapa aku melihat mas Setto seperti tidak suka dan ia memilih mengambil tas milik Olivia serta mengambil Olivia dari gendongan Senno.
"Ayo pulang," ajak Mas Setto sambil menarik tanganku, aku melihat ke arah Senno dan dibalasnya dengan tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Sepanjang jalan dari lantai kantorku sampai lobby, aku memilih diam begitupun Mas Setto.
"Mas kok nggak ramah sama teman aku? Aku jadi nggak enak," Akhirnya aku memberanikan diri membahas sikap dinginnya saat aku mengenalkan Senno kepadanya setelah kami meninggalkan kantorku.
Mas Setto melihatku melalui kaca spion tengah yang memilih duduk di belakang bersama Olivia, "Maaf, saya hanya tidak terlalu suka kamu dekat dengan laki-laki lain," balasnya.
Aku membuang wajahku.
"Kita baru pacaran sedangkan Senno sahabat aku sejak dulu, jadi jangan rusak persahabatanku dengan sikap cemburu mas yang nggak jelas itu," ujarku dengan tegas.
Mas Setto pun tidak menjawab ucapanku. Kami memilih diam, hanya suara khas anak bayi keluar dari mulut Olivia.
"Maaf, saya selalu cemburu saat kamu dekat dengan laki-laki lain terutama dia," aku melihat raut wajah Mas Setto melalui kaca spion.
Aku tertawa lepas.
"Ya ampun, aku sudah bilang Senno itu sahabat aku sejak dulu. Aku nggak ada perasaan ke dia, mas." Aku masih berusaha menjelaskan.
"Tapi dia? Kamu nggak tau apa yang dirasakan ke kamu kan?" Tanyanya balik.
Tawaku semakin lepas.
"Senno itu gay, mas. Nggak mungkin dia ada perasaan ke aku."
Mobil tiba-tiba berhenti secara mendadak, Mas Setto melihatku dengan tatapan tidak percaya.
"Gay?"
Aku mengangguk cepat.
****