"Kamu tau darimana kalau dia itu 'gay'" tanya Mas Setto dengan wajah penasaran.
Olivia mulai rewel karena popoknya mulai penuh dan aku langsung mengeluarkannya dari car seat, membaringkannya di sampingku dan mengganti popoknya dengan popok baru agar Olivia merasa lebih nyaman.
"Selama ini aku tidak pernah melihatnya dekat dengan wanita manapun dan beberapa waktu lalu akhirnya dia ngaku kalau selama ini dia menyukai laki-laki dibandingkan perempuan," jawabku.
Hal itu aku ketahui sehari setelah aku siuman setelah operasi usus buntu selesai, entah kenapa Senno memberitahuku tentang orientasi seksualnya. Aku cukup kaget tapi sebagai sahabat aku pun mendukung apapun pilihan hidupnya.
"Oh," aku mendengar suara helaan napas dari mulut Setto.
"Mas nggak usah cemburu, bagiku saat ini mungkin hanya mas laki-laki yang mengisi hatiku," ujarku menenangkannya.
Aku melihat Mas Setto tersenyum melalui kaca spion tengah.
"Terima kasih, Adara. Saya sangat bahagia mendengar ucapan kamu barusan," balas Mas Setto.
****
Mas Setto mengajakku untuk makan malam di apartemennya, tentu kali ini Olivia ikut bersama kami. Sejak diambil dari gendongan Senno saat Mas Setto menjemputku tadi, Olivia seakan diberi magnet dan selalu menempel saat Mas Setto menggendongnya.
"Mas pinter ya momong bayi, Olivia kayaknya suka digendong mas," aku menoel pipi gembil Olivia.
Mas Setto menyunggingkan senyumnya, begitupun Olivia dan ternyata mereka sama-sama mempunyai lesung pipit di pipi.
"Kalian berdua mirip banget," ujarku tanpa sadar bagai cicitan.
"Hah, kamu bilang apa?" Tanya mas Setto.
Aku tersenyum lalu menggeleng pelan, aku mengambil Olivia dari gendongan Mas Setto untuk diberikan s**u botol sedangkan Mas Setto mulai membuka pintu kulkas untuk mengeluarkan beberapa bahan makanan yang akan dimasak untuk makan malam kami. Ia berkacak pinggang sambil meletakkan jarinya di bibir.
"Kita masak spagetti malam ini, mau?" Tanyanya sambil mengeluarkan beberapa bahan makanan dan diletakkan di atas meja dapur.
Aku yang sedang memegang botol s**u mengangguk setuju.
"Hmmm kayaknya enak," ujarku antusias.
"Oke, kita masak spagetti saja malam ini." Mas Setto mulai memasak sedangkan aku masih terus memegang s**u botol Olivia.
Kali ini tidak seperti biasa, Olivia agak kurang bernapsu menghabiskan s**u botolnya. Olivia beberapa kali melepehkan dot agar keluar dari mulutnya.
"Olivia nggak suka susunya?" Aku meletakkan botol s**u di atas meja, bahkan isi botol s**u masih tersisa setengah.
"Nggak habis susunya?" Tanya Mas Setto setelah mendengar suara galauku karena Olivia tidak menghabiskan susunya.
Aku menggeleng pelan lalu menghela napas, kasihan anak seumur Olivia tidak merasakan ASI dari ibu kandungnya.
Payudaraku tiba-tiba berdenyut hingga aku meringis menahan rasa sakit sambil memegang dadaku yang terasa keras dan tegang.
"Adara," Mas Setto mengambil Olivia dari gendonganku, "kamu baik-baik saja?" Tanyanya dengan panik.
Aku menggeleng pelan.
"Nggak tau mas," aku menghembuskan napas beberapa kali.
Mas Setto membawa Olivia ke dapur, tidak lama ia kembali sambil membawa gelas berisi s**u putih. Ia menyerahkan gelas itu ke tanganku.
"Minum dulu susunya," perintahnya.
Aku pun mengangguk dan langsung meminum s**u itu sampai habis tidak bersisa.
"Mulai enakan? Apa sebaiknya kita pesan makanan luar saja? Jadi saya bisa menjaga Olivia dan kamu bisa istirahat dulu," kata Mas Setto.
Aku mulai menguap dan mataku tiba-tiba sangat berat untuk dibuka.
"Terserah mas, bangunkan aku kalau makanannya sudah datang ya." Pintaku.
Mas Setto mulai menyuruhku untuk baring di sofa.
"Tidurlah, sayang."
****
Ocehan khas anak kecil membangunkanku, aku mencoba membuka mata dan melihat Olivia berada di sampingku sedang menjilat kakinya sambil sesekali mengganti dengan tangannya. Aku mencoba mengganti posisi tidur agar tubuhku lurus karena posisi saat aku bangun dalam posisi miring.
"Olivia," aku melihat daerah sekitar mulut Olivia basah bekas s**u hingga bajunya basah, "sudah happy lagi, kamu?" Sambungku.
Aku melihat sekeliling ruangan dan baru sadar ini bukan di kamar pribadiku, aku berada di kamar dan juga ranjang asing. Aku melihat ke arah bawah tubuhku dan ternyata celana jeansku masih terpasang dengan rapi. Hanya saja baju kemejaku beberapa kancing bagian atas terbuka hingga menampakkan bagian p****g payudaraku. Aku menekan bagian atas payudaraku, ajaibnya pagi ini sudah tidak keras dan tegang lagi seperti tadi malam.
"Sudah bangun, Adara?" Suara Mas Setto membuatku buru-buru mengancing kemeja yang terbuka tadi.
"Kenapa aku bisa tidur di kamar ini?" Tanyaku bingung.
Mas Setto meletakkan baki berisi makanan di atas nakas samping ranjang.
"Kemarin kamu sepertinya tidak enak badan, saya kasihan lihat kamu tidur di sofa. Jadi saya menggendong kamu ke kamar agar bisa tidur di dekat Olivia," ujarnya menjelaskan.
"Kenapa aku nggak tau ya mas gendong? Kayaknya aku benar-benar keenakan tidur di apartemen ini," balasku dengan bingung.
Mas Setto mengendong Olivia lalu membawanya menuju sofa yang ada di dalam kamar ini.
"Mungkin itu pertanda kalau apartemen ini ingin kamu tinggal di sini ... lagi." Mas Setto mengeluarkan baju ganti Olivia.
"Aku? Maksudnya mas pengen aku tinggal di sini sebagai istri kan? Bukan pacar? Bisa dibunuh mama kalau kita kumpul kebo."
Mas Setto melihatku tanpa berkedip.
"Hanya kamu satu-satunya wanita yang saya izinkan tidur di kamar ini, itu berarti kamu adalah wanita paling penting di hidup saya. Baik dalam status pacar ataupun istri."
Wajahku langsung memerah mendengar gombalannya. Aku mulai salah tingkah dan agar Mas Setto tidak melihat perubahan mimik wajah aku mendekati Olivia lalu menggendongnya lalu membawanya keluar dari kamar Mas Setto.
"Olivia ... Kamu anak siapa sih, kok bisa secantik ini," aku menoel hidungnya dan Olivia kembali tersenyum senang setiap aku menoel hidung mancungnya.
Mas Setto pun keluar dari kamarnya.
"Olivia mirip kamu, kalian berdua sama cantiknya di mata saya," jawab Mas Setto sambil mengacak rambutku dan Olivia bergantian.
Wajahku lagi-lagi memerah dan juga panas, aku mengambil gelas berisi air putih di meja makan lalu meneguknya sampai habis.
"Mas sehari ini gombal banget loh," ujarku malu.
"Karena saya suka melihat wajah malu kamu setiap saya gombalin," balasnya.
Aku memanyunkan bibir dan Mas Setto tertawa lepas melihatku manyun.
****
Setelah pulang dari rumah Mas Setto, Olivia mulai rewel lagi dengan alasan nggak jelas. Aku pikir karena popoknya penuh tapi setelah diperiksa popoknya masih kering. Aku juga pikir karena perutnya kembung dan aku juga sudah beri minyak kayu putih tapi Olivia masih rewel dan menangis tanpa henti.
"Olivia jangan rewel dong, beritahu aku bagian mana yang sakit?" Aku berusaha menenangkan Olivia tapi gagal.
Olivia masih terus menangis, panik membuatku menghubungi mama untuk memintanya datang ke apartemenku.
"Ma, Olivia rewel."
"Onet rewel? Masuk angin mungkin atau pupnya keras."
"Aku sudah kasih minyak kayu putih di perutnya tapi dia masih saja nangis. Mama bisa ke sini nggak?"
"Aduh, maafin oma ya Onet. Oma lagi di Bandung."
"Heh, mama di Bandung? Ngapain? Ya sudahlah, aku coba tenangkan Olivia dulu."
Aku melempar ponsel dan mencoba membujuk Olivia tapi bukannya tenang Olivia malah semakin menangis keras. Aku memegang dahinya dan terasa hangat, aku mengambil alat cek suhu tubuh dan ternyata suhunya 38,7 derajat.
"Astaga, ini penyebab kamu rewel ya."
Aku mengambil selimut Olivia untuk membawanya ke klinik.
Saat hendak mengunci pintu apartemen aku melihat Mas Setto juga baru keluar dari apartemennya.
"Ada apa, Adara? Kenapa kamu pucat?" Tanya Mas Setto sambil memegang tanganku.
"Olivia ... Demam, mas. Aku panik karena baru kali ini Olivia demam," balasku.
Mas Setto mengarahkan tangannya ke dahi Olivia, tidak lama ia langsung mengambil Olivia dari gendonganku. Ia membuka kembali pintu apartemennya dan aku mengikutinya dari belakang.
Mas Setto membawa Olivia ke kamarnya, ia membuka selimut serta baju yang dipakai Olivia hingga hanya menyisakan popoknya saja.
"Mas, kenapa dilepas? Nanti Olivia semakin demam."
Mas Setto meletakkan jarinya di bibir untuk menyuruhku diam. Tidak lama Mas Setto ikut membuka kemeja dan baju kaos dalamnya.
Aku menelan ludah melihat Mas Setto hanya memakai celana panjang. Mas Setto menggendong Olivia dan menyatukan tubuh mereka.
"Ini namanya skin to skin antara orangtua dan anak, cara ini dilakukan agar panas anak pindah ke orangtuanya. Ini pertolongan pertama sebelum kita membawanya ke klinik."
Aku terkesima mendengar penjelasannya. Mas Setto seperti sudah berpengalaman punya anak.
"Apakah ... Mas pernah mempunyai anak?" Tanyaku tiba-tiba.
Mas Setto melihatku dengan tatapan kaget.
****