ULAR HIJAU

1342 Kata
Aku mengucapkan terima kasih saat Kakek membukakan pintu mobil untukku. Jarak injakan kaki di mobil dengan hamparan semen di halaman mesjid cukup tinggi. Hingga aku harus sedikit melompat sambil berpegangan pada gagang pada bagian dalam pintu mobil dan tangan Kakek. "Alhamdulillah. Sudah pintar turunnya, ya cucu tersayang. Kakek sudah tidak kuat menggendongmu." Kakek berkata dengan nada lega. Aku tertawa dan segera menarik tangan Kakek setelah selesai mengunci pintu mobil. Dari kejauhan tampak Nenek dan teman-temannya sedang menuruni tangga mesjid Mujahidin. Mereka berjalan perlahan sambil saling berpegangan tangan satu sama lain. Sampai saat ini, Nenek belum menyadari bahwa aku dan Kakek sedang melangkah mendekat. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah tangga mesjid. Seorang wanita berhijab coklat berlari, diikuti oleh beberapa wanita yang berada di dekatnya. Aku bingung apa penyebab kericuhan itu terjadi. Saat ini, aku melihat semua orang yang berada di sana bergerak menjauh dari sumber suara dan ikut berteriak. Suasana menjadi semakin ricuh dan tegang. "Ada apa itu, Kek?" Aku bertanya pada Kakek tanpa melepaskan pandangan dari tangga mesjid. Kakiku berhenti melangkah. Tangan kananku mempererat genggaman pada tangan kiri Kakek. Tampak dua orang laki-laki berkopiah hitam sedang berlari mendekati tangga. Lalu seorang di antaranya berlari ke arah semula dan kembali lagi ke dekat tangga sambil membawa sebilah benda mirip tongkat. Akan tetapi, benda itu berwarna kuning. "Sepertinya ada ular. Bapak itu membawa bambu kuning. Biasanya dipakai untuk mengusir ular. Ayo, kita ke sana! Kasihan Nenek ketakutan." Kakek berseru dan mengajakku meneruskan langkah. Begitu mendengar kata ular diucapkan oleh Kakek, bulu kudukku meremang. Teringat kembali dengan penyebab terakhir kalinya aku mengompol. Aku bertemu dengan wanita bertubuh ular dengan mahkota di atas kepalanya. Saat kuceritakan pada Ayah dan Bunda, mereka tidak percaya. Kata Ayah pasti aku hanya bertemu dalam mimpi. Padahal aku yakin sekali saat itu aku tidak sedang tidur. Aku bertemu ular berkepala wanita itu sewaktu sedang mengintip melalui lubang kunci. "Kamu takut, ya? Apa mau menunggu di mobil saja. Kakek antarkan lagi ke mobil, Endit?" Aku tak langsung menjawab pertanyaan Kakek. Otakku sibuk memutar kembali ingatan akan kejadian bertemu dengan wanita berubuh ular. Aku bergidig karena diliputi rasa takut. "Endit sayang, kamu takut. Ayo, kita kembali ke mobil." Kakek sepertinya memperhatikan perubahan pada ekpresi tubuhku. "I, iya, Kek. Tapi, tak apa. Kasihan Nenek kalau kita tak segera mendekat. Pasti Nenek juga takut. Endit berani. Bismillah." Aku berusaha untuk berani. "Masyaallah, hebat cucuku tersayang. Ayo, kita jalannya lewat sana! Kalau melewati rerumputan itu pasti lebih cepat, tapi Kakek khawatir kalau masih ada ular lain yang bersembunyi di sekitar halaman mesjid." Kakek berucap sambil menunjuk ke depanku. Aku melihat ke arah yang ditunjuk oleh Kakek. Kami akan berjalan melewati jalanan dari semen di sisi mesjid. Memang jadi lebih jauh, tapi aku setuju bahwa pasti lebih aman dari ular. Akhirnya kami pun tiba di dekat tangga. Nenek dan teman-temannya sedang berkerumun mendekati kedua laki-laki yang berkopiah tadi. Aku mendengar beberapa teman Nenek sibuk berkomentar. "Alhamdulillah ularnya ndak mati. Katanya kalau sampai dibunuh akan datang teman-teman ularnya ke sini," ujar Ibu berjilbab krem. "Ih, Ibu bikin merinding. Lihat satu ular aja saya ketakutan. Alhamdulillah tadi sepatuku bukan warna hijau jadi kelihatan," Ibu berjilbab coklat menimpali. "Iya, ya, Bu. Aduh, saya bisa bayangkan apa yang terjadi kalau kaki Ibu keburu dimasukkan ke dalam sepatu. Naudzubillah min dzalik. Alhamdulillah, Allah masih memberi perlindungan." Ibu berjilbab krem berkata sambil menepuk-nepuk bahu ibu yang berjilbab coklat. Aku menyimak dengan serius perbincangan kedua ibu tadi. Rupanya ular yang membuat kehebohan itu berwarna hijau. Persis dengan warna tubuh wanita separuh ular yang pernah kulihat. "Endit, cucu Nenek tersayang." Terdengar suara Nenek memanggilku. Ternyata Nenek sudah menyadari akan kehadiranku dan Kakek terlebih dulu sebelum kami memanggilnya. Dia bergegas mendekat ke arahku dan kami pun berpelukan erat. Nenek menciumi keningku. "Nenek kangen sekali sama Endit." Nenek berucap sambil terus memelukku. "Endit lebih kangen lagi sama Nenek." Aku mengangkat kepala menatap wajah Nenek. "Nenek gak kangen sama Kakek?" Kakek menyela. Aku dan Nenek menoleh serempak ke arah Kakek. Lalu kami tertawa bersama. Suasana pagi ini semakin bertambah hangat dengan kehadiran Nenek di tengah-tengah aku dan Kakek. Aku berpikir, tentu akan menjadi sangat manis dan hangat kehidupanku jika tinggal bersama mereka. Andai saja aku tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan Bunda, tentu aku akan memilih tinggal bersama Kakek dan Nenek di Kota Pontianak. "Ayo, kita ke mobil, Kek. Endit takut lama-lama di sini. Bagaimana kalau masih ada temennya ular tadi. Hiii..." Aku berkata sambil bergidik ngeri. Segera kuajak Kakek Nenek untuk melangkahkan kaki dan meninggalkan tempat tadi. Tangan kiriku menggenggam erat telapak tangan Kakek, sedangkan tangan kananku menggenggam telapak tangan Nenek. Kami berjalan bergandengan bertiga melewati jalan yang sama. Aku merasa dengan berjalan di atas tanah yang sudah dilapisi semen lebih aman. Jika berjalan di atas rumput, aku khawatir tidak dapat melihat ular. Karena sama-sama berwarna hijau. Kakek membukakan pintu dan menutupkan lagi setelah aku duduk di kursi mobil bagian depan. Nenek duduk di kursi, di belakangku. Lalu Kakek berjalan memutari bagian depan mobil. Aku mengalihkan pandangan ke arah tangga mesjid. Kerumunan sudah mulai terurai. Kedua laki-laki yang menangkap ular tadi sudah tak kelihatan lagi. "Nek, tadi lihat ularnya?" Aku bertanya sambil menoleh ke belakang. "Iya, Endit. Nenek lihat sewaktu ularnya sudah ditangkap. Awalnya Nenek langsung lari menjauh ketika teman Nenek berteriak ada ular." Nenek menjelaskan responnya tadi. "Sebesar apa, Nek? Ibu-ibu berani juga, ya. Setelah ularnya berhasil ditangkap, malah berkerumun menonton." Kakek bertanya sambil menyampaikan kekaguman pada Nenek dan teman-temannya. Aku pun salut melihat keberanian teman-teman Nenek. Apakah mereka tidak takut akan terbayang terus wujud ular yang dilihat tadi? Aku saja sampai saat ini masih selalu teringat dengan wanita bertubuh ular yang kuintip dari lobang kunci kamar kerja Ayah. "Kira-kita sebesar tangannya Endit itu, Kek. Panjangnya kurang dari satu meter. Kata temanku posisinya melingkar di sepatunya. Hiii, Nenek merinding mengingatnya." Nenek menjawab sambil menyentuh tanganku. "Apalagi teman Nenek yang melihat pertama kali, ya. Pasti dia terbayang terus. Endit aja masih terus terbayang dengan ular yang beberapa hari lalu dilihat. Mana Endit sedang sendirian di rumah." Aku merespon ucapan Nenek. "Lho, Endit pernah melihat ular sewaktu sendirian di rumah? Lalu siapa yang mengusir?" Kakek bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke arahku. "Ya, Allah. Alhamdulillah cucu Nenek selamat. Seperti apa ularnya?" Nenek pun ikut bertanya. Mereka berdua menanyaiku dengan nada cemas. Aku pun bersiap untuk memulai cerita mengenai detik-detik bertemu dengan wanita bertubuh ular. Bunda kan hanya melarangku bercerita tentang Ayah berbuat kasar, tidak tentang ular. "Jadi waktu itu, Bunda dan Ayah lagi pergi berdua. Endit hanya sendirian di rumah. Endit sayup-sayup mendengar suara mendesis dari kamar kerja Ayah, jadi timbul rasa penasaran. Akhirnya Endit memberanikan diri untuk mengintip dari lubang kunci pintu. Ternyata suara desisan itu memang berasal dari situ." Aku berhenti sesaat untuk melihat reaksi Kakek dan Nenek. "Ya, Allah. Untung aja kamu tidak langsung membuka pintu kamar kerja Ayah." Nenek berkata dengan wajah cemas. "Ya, gak akan bisa Endit buka, Nek. Kamar itu selalu terkunci, hanya Ayah yang pegang kuncinya. Bunda dan Endit memang gak pernah masuk ke dalam ruang kerja Ayah." Aku menjelaskan kondisi kamar itu pada Nenek. Kakek menoleh ke arahku sejenak, lalu kembali menatap ke depan. Mobil sudah melaju di atas aspal. Meninggalkan halaman Mesjid Mujahidin. Aku pun kembali meneruskan ceritaku. "Tapi ularnya itu aneh, lho. Masak kepalanya perempuan cantik berambut panjang. Pake mahkota pula, Nek. Badannya aja yang kayak ular warna hijau." Aku berkata sambil memandang ke arah Nenek. "Astaghfirullah." Kakek dan Nenek serempak mengucapkan istighfar. Aku semakin semangat bercerita. "Iya, lho! Endit intip terus sambil deg-degan. Penasaran tapi juga takut. Perempuan setengah ular itu julurin lidahnya, minum air dalam bejana emas di atas meja. Lidahnya panjaaaang. Serem, hiii." Aku bergidig saat menceritakan kejadian saat itu. Nenek mengelus lembut pundakku. Sepertinya dia sangat paham aku masih saja ketakutan saat menceritakan kembali pertemuan dengan wanita bertubuh ular. Tampaknya Nenek dan Kakek juga percaya pada ceritaku ini, tidak seperti Ayah dan Bunda. Aku pun semakin semangat melanjutkan cerita. "Tiba-tiba wanita setengah ular itu mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sepertinya dia bisa tahu kalau ada yang sedang ngintip. Endit mau lari, tapi kakinya kayak dikasi lem di lantai. Baru bisa gerak sewaktu Endit mengucap nama Allah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN