Selesai aku menceritakan semua kejadian itu, Kakek menghela napas panjang. Sedangkan Nenek tak henti mengelus lembut pundakku. Mungkin mereka menjadi sedih mendengar ceritaku.
"Jadi karena Ayah dan Bunda menemukan Endit dalam posisi terbaring di atas sofa ruang tamu dan terpejam, maka mereka mengatakan semua yang Endit lihat tadi adalah mimpi?"
"Betul, Kek. Ditambah lagi celana Endit basah terkena ompol. Mereka semakin yakin bahwa Endit bertemu dengan siluman ular itu, ya, hanya di dalam mimpi. Padahal Endit yakin sekali, saat itu tidak sedang tidur. Juga tidak dalam kondisi tidak mengantuk."
"Apa ada bekas ompol di lantai? Terutama di tempat Endit berpegangan pada lemari saat kaki ditarik oleh lilitan ular itu? Kalau ada, semestinya Bunda dan Ayahmu jadi berubah pikiran dan menyadari bahwa kejadian itu nyata. Iya kan, Kek?"
"Betul, Nek."
Aku terdiam mendengar pertanyaan Nenek. Mencoba mengingat kembali pada saat kejadian Ayah dan Bunda membangunkanku. Sepertinya aku pingsan setelah merasakan ketakutan yang teramat sangat dan membuatku mengompol.
Waktu itu...
"Endit, bangun, sayang. Kamu mimpi apa sampai mengigau begini?"
Aku yang masih dalam kondisi baru saja sadarkan diri, segera membuka mata setelah mendengar suara yang telah akrab di telingaku. Aku tahu betul bahwa itu suara Bunda.
"Bunda...! Endit takut sekali!"
Aku berteriak sambil memeluk erat tubuh wanita kesayanganku. Lalu aku kembali memejamkan mata, khawatir jika masih ada siluman ular di dekatku. Rasa takut masih menyeruak di hatiku. Aku tak mau lagi melihat wanita setengah ular dengan lidah yang panjang itu.
"Sayang, tenang, ya. Ada Bunda dan Ayah di sini."
Bunda memeluk erat sambil mengelus lembut rambutku. Aku memberanikan diri untuk membuka mata dan melihat ada Ayah duduk di dekat kakiku. Dia hanya diam, tapi kedua telapak tangannya menggenggam lembut kedua pergelangan kakiku. Napasku masih memburu akibat rasa takut yang teramat sangat tadi.
"Sewaktu Bunda dan Ayah baru saja tiba di rumah, terdengar suaramu berteriak kencang sekali dari dalam rumah. Bunda panik, ingin segera masuk melihat keadaanmu. Begitu membuka pintu ternyata Endit sedang tidur di sofa."
"Endit teriak apa Bunda?" Aku membuka mata dan menatap pada Bunda.
"Apa, ya? Seperti membaca dzikir atau ayat suci Al-Quran gitu. Lupa Bunda, Nak! Coba Ayah, inget gak tadi Endit teriak apa?" Bunda mengalihkan pertanyaan pada Ayah.
Aku pun beralih memandang pada Ayah. Dia mengerutkan dahi seperti sedang berpikir keras. Aku dan Bunda menunggu jawaban yang terucap dari mulut Ayah, sambil menatap lekat padanya.
"Apa, ya? Ayah juga lupa apa yang diteriakkan Endit. Ayah sudah panik, ingin segera masuk ke dalam rumah dan mengetahui kondisi Endit. Sama seperti yang ada di pikiran Bunda tadi. Memangnya tadi Endit mimpi apa?"
Aku menggelengkan kepala dengan keras sambil berucap, "Endit tadi gak mimpi, Ayah. Karena memang tidak sedang tidur. Tadi itu, ada perempuan cantik pake mahkota. Anehnya badannya itu bukan badan manusia, tapi ular berwarna hijau. Baunya amis, badannya panjang, dan suaranya mendesis. Hiii, sampe sekarang aja seperti masih terngiang di telinga Endit, lho, suara desisannya."
"Astaghfirullah, serem amat mimpimu, Nak! Pantas saja Endit teriak-teriak begitu."
"Bunda... Endit tuh yakin sekali, tadi itu gak mimpi! Kan memang gak sedang tidur. Jadi, Endit benar-benar dikejar sama wanita siluman ular yang pake mahkota di atas kepalanya. Pokoknya seram dan panik sekali. Karena itulah, Endit berusaha untuk lari ke luar dari dalam rumah ini. Sayangnya belum sampai di pintu, kaki Endit terasa dililit. Tidak tahu pasti lilitannya pakai lidah atau ekornya si siluman, gak berani menoleh. Takuuut!"
Aku bergidig saat bercerita. Rasa takut masih saja mendera. Kejadian tadi telah menimbulkan trauma dalam pikiranku. Setelah sedikit berhasil menguasai diri, aku kembali bercerita pada Ayah dan Bunda.
"Terus setelah dililit kakinya, Endit jatuh dan diseret menjauh dari pintu. Endit takut sekali, apalagi memikirkan kalau sampai lilitan di kaki semakin ketat, lalu hadap-hadapan sama mukanya siluman. Makanya tadi Endit berusaha untuk menggapai apa aja. Mencoba menahan tarikan ular siluman dengan kedua tangan agar tak semakin terseret. Alhamdulillah, akhirnya berhasil dapat pegangan juga di kaki lemari. Endit pegang kencang-kencang sambil teriak-teriak, membaca ayat dan dzikir yang bisa diingat. Biar silumannya pergi. Duh, pokoknya serem banget! Sampai pipis di celana saking takutnya. Endit denger, kok, suara motor Ayah tadi."
Aku bercerita dengan sangat berapi-api tentang semua yang telah terjadi padaku, sebelum Ayah dan Bunda tiba di rumah. Aku meluapkan semua rasa takut dan panik dalam d**a. Berusaha meyakinkan pada Ayah dan Bunda bahwa aku tidak bermimpi. Semua peristiwa itu adalah kejadian nyata.
Aku menatap bergantian ke dalam mata Ayah dan Bunda. Ingin mengetahui tanggapan mereka atas semua ceritaku tadi. Tapi, tak satu kata pun terlontar dari mulut mereka. Aku masih menunggu apa pendapat mereka.
Akhirnya Bunda memegang bajuku dan berucap, "Endit beneran ngompol ini. Bajunya basah. Padahal sudah lama, lho, berhenti pipis di celana!"
"Kan Endit udah bilang tadi, Bun. Endit takuuut sekali, jadinya ngompol," ucapku membela diri.
"Tadi ketika Ayah dan Bunda masuk, tidak ada, tuh, melihat wujud wanita siluman seperti yang Endit ceritakan. Pasti Endita mimpi tadi, kan? Makanya ngompol. Paling Endit tertidur di sofa saat menunggu Ayah dan Bunda pulang dari acara, kan?" Ayah ikut menyangsikan ceritaku.
"Bunda dan Ayah tadi gak melihat ada siluman ular? Ya, bisa saja karena silumannya sudah lari saat mendengar dzikir dan ayat suci Al Qur'an yang Endit teriakkan tadi. Kata Ustadzah Azizah, makhluk gaib yang jahat seperti jin dan setan memang langsung lari ketika mendengar nama Allah diucapkan. Benar, kan, Bun?"
Aku menatap dalam ke mata Bunda. Berharap akan mendapat dukungan dari wanita yang selama ini paling dekat denganku. Aku pikir semestinya Bunda pasti tahu dan bisa merasakan bahwa apa yang kuceritakan tadi bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi di alam mimpi.
"Sudahlah sayang, tak usah dipikirkan lagi. Ayo, ikut Bunda ke belakang! Bersihkan bajumu yang terkena ompol. Sekalian mandi saja ya, Nak." Bunda berkata sambil tersenyum padaku.
"Betul. Jangan diingat-ingat, Endit! Itu semua hanyalah bunga tidur. Mimpi itu bukanlah suatu kejadian nyata yang harus dipikirkan dengan berat. Yang penting, sekarang ini sudah ada Ayah dan Bunda. Jadi, jangan takut lagi, ya!"
Aku menghela napas dengan berat. Ya Allah, Bunda dan Ayah tidak percaya bahwa peristiwa itu adalah benar kejadian nyata. Aku yang sudah hafal dengan sifat Ayah, maka memilih untuk tidak membantah ucapannya. Walaupun aku punya seribu alasan dan kata pembelaan, pasti dia tak akan mau mendengarkan.
"Ayo, sayang! Bunda ambilkan air buat Endit mandi sekarang. Biar gak masuk angin karena kelamaan pakai baju yang basah. Nanti di saat Endit mandi, Bunda akan kembali ke sini untuk mengeringkan bekas ompol di sofa."
Aku menganggukkan kepala dengan lemah sambil berucap lirih, "maafkan Endit ya, Bunda. Malah menambah kerjaan Bunda, membersihkan bekas ompolnya Endit."
Bunda tersenyum manis. "Iya, Nak. Tidak apa-apa. Sudah gede anak Bunda, kan. Semoga setelah ini Endit tidak ngompol lagi. Lebih baik pipis dulu sebelum tidur, ya."
"Tuh, dengar kata Bundamu. Bagus lagi sebelum tidur, tidak lupa untuk baca doa dulu. Biar Endit tidak mimpi yang seram lagi." Ayah menimpali dengan raut wajah serius.
Sebenarnya aku kesal saat mendengar ucapan Ayah dan Bunda. Kecil-kecil begini, aku tak pernah lupa pipis dan menyikat gigi sebelum tidur. Apalagi berdoa, sudah menjadi rutinitasku sebelum beranjak tidur. Akan tetapi, aku tetap diam karena malas mendebat ucapan Ayah dan Bunda lagi.
Kata Ustadzah Azizah, seorang anak tak boleh membantah ucapan dan perintah orang tua. Kecuali, apa yang diucapkan oleh mereka itu adalah hal yang bertentangan dengan perintah agama. Karena pada umumnya semua ucapan orang tua pasti ada maksud baik di dalamnya, demi kepentingan dan kebaikan anaknya.
Ah, aku ingin segera bertemu dengan Ustadzah. Aku harus menunggu setelah waktu Ashar tiba. Akan kuceritakan semua kejadian tadi padanya. Siapa tahu dia percaya bahwa aku tidak sedang bermimpi.
"Ayo, Bunda! Endit ingin segera mandi sekalian siap-siap ke musala."
Aku pun bangkit dan melangkah beriringan dengan Bunda tanpa menoleh lagi ke arah Ayah. Biarlah mereka berdua tak percaya. Aku masih punya Ustadzah sebagai tempat berbagi cerita.