PERCAYA

1587 Kata
Setelah beberapa lama terdiam dan mengingat kembali detik demi detik pada saat kejadian bertemu dan diseret oleh siluman ular. Aku pun akhirnya bisa menemukan jawaban atas pertanyaan Nenek. "Waktu itu, Endit langsung mengikuti Bunda menuju ke belakang rumah untuk mandi, Nek. Jadi, kami sama sekali tidak ingat untuk memeriksa apakah di lantai sekitar lemari ada air bekas ompol Endit atau tidak." "Hmm, sayang sekali, ya! Padahal menurut Nenek, jika di lantai ada air atau bekas air yang sudah terserap lantai kayu. Maka, hal itu bisa menjadi bukti yang kuat bahwa Endit benar-benar berpegangan pada kaki lemari dan mengompol saking takutnya." Nenek menjelaskan kembali padaku. "Betul sekali, Nek. Warna permukaan kayu yang habis terkena air pastilah akan berbeda dengan permukaan sekitarnya yang kering. Wah, istriku sangat cerdas! Endit harus mencontoh kecerdasan Nenek, ya." Kakek memuji Nenek sambil tersenyum bangga. "Iya, Kek. Endit memang ingin cerdas dan perhatian seperti Nenek dan Kakek." Aku berucap sambil tersenyum dan bergantian menatap ke arah keduanya. Aku senang melihat kekompakan Kakek dan Nenek yang saling mendukung buah pemikiran pasangannya. Mereka tampak kompak dan saling mengagumi. Andai saja Ayah dan Bunda seharmonis Kakek dan Nenek. "Jadi ini maksudnya Kakek dan Nenek percaya, bahwa apa yang Endit lihat itu adalah kejadian nyata dan bukanlah mimpi?" Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. Kakek mengangguk dengan mantap dan berujar, "Kakek yakin kejadian itu nyata dan bukan mimpi. Alasannya jelas. Karena menurut Kakek, Endit sudah besar dan Allah telah berikan anugrah kesalehan dan akal yang luar biasa. Endit sudah bisa menceritakan kembali rangkaian kejadian dengan runtut dan jelas. Padahal cucu kesayangan Kakek ini, kan, baru saja ulang tahun yang ketujuh." Aku tersenyum bangga mendengar ucapan Kakek. Lalu berkata, "Iya, Kek. Endit bulan lalu sudah ulang tahun yang ketujuh. Alhamdulillah, akhirnya sekarang ada tiga orang yang percaya pada ucapan Endit." "Tiga? Kakek dan Nenek saja cuma dua orang. Siapa gerangan orang yang pertama kali percaya? Ustadzah Azizah, ya?" Nenek bertanya sambil mengelus lembut rambutku "Wah, Nenek pintar sekali! Tebakannya benar, lho!" Aku menjawab sambil memuju Nenek. Nenek dan Kakek terkekeh. Kemudian Nenek memajukan sedikit tubuhnya dari kursi di belakangku. Lalu dia mencium keningku. Aku sangat senang bersama Kakek dan Nenek. Andai saja, setiap hari bisa selalu seperti ini. "Nah, akhirnya kita sudah tiba di rumah! Endit tunggu dulu, ya ! Biar Nenek yang membukakan pintu mobilnya." Nenek bergegas membuka pintu mobilnya. Namun, Kakek berkata sebelum Nenek turun dari dalam mobil. "Biar Kakek saja, Nek. Tolong Nenek bawakan bungkusan yang ada di bagasi saja. Tadi, Nur dan Endit membelikan pisang goreng dan keladi goreng serikaya di warung kopi Asiang." "Ya, Kek. Wah, alhamdulillah! Terima kasih, ya, cucuku tersayang. Pergi jajan tanpa Nenek ikut pun, Endit tetap ingat untuk membawakan oleh-oleh." Nenek berucap sambil meneruskan gerakan membuka pintu mobil. "Kembali kasih, Nenekku tersayang. Endit dan Bunda kan sayang sekali sama Nenek. Maka, kami ingin agar Nenek ikut menikmati juga makanan enak yang kami makan." Aku berkata sambil mendorong pintu mobil. "Nenek juga sayang sekali sama Endit!" Nenek menjawab ucapanku dengan mata berbinar. Aku baru saja hendak turun dari mobil sambil berpegangan pada lengan Kakek. "Jadi sama Kakek sayang sekali juga, gak? Apa cuma Endit saja yang disayang sama Nenek?" "Sama Kakek juga, dong!" Aku dan Nenek berucap dengan semangat. Kami tertawa saat menyadari telah kompak mengucapkan kalimat yang sama persis. Aku pun mulai melangkah sambil menggandeng tangan Kakek dan Nenek. "Ayo, Kek, Nek, kita masuk ke dalam rumah! Endit sudah kangen sama si Mpus." Aku menyebut nama kucing peliharaan Kakek dan Nenek. Dia kucing kesayangan kami. Sebenarnya si Mpus ini lebih tepat disebut sebagai hewan peliharaan Mbak Etik. Karena dia yang mengurusi kotoran, kandang, dan makanan si Mpus. Sedangkan kami hanya ikut andil dalam memandikan dan bermain saja. "Wah, cucu Nenek ini selain kangen sama kami berdua ternyata kangen sama si Mpus juga! Ayo, sini! Coba Endit yang pencet belnya!" Sesampainya di depan pintu, aku pun segera berjinjit dan memencet bel. Dulu, saat terakhir datang ke rumah Kakek dan Nenek, aku masih harus melompat untuk menggapai bel. Sejak dulu, aku memang senang memencet bel berulang kali. Karena senang mendengarkan ada suara orang yang mengucapkan salam tiap kali memencet bel. Untuk anak yang tinggal di tempat terpencil seperti aku, mainan seperti pencet bel saja sudah menjadi kegiatan yang seru. Tak menunggu lama, seorang wanita seusia Bunda membuka pintu rumah. Dia tersenyum dan menyapaku dengan antusias, "Eh, Endit! Assalamualaikum. Apa kabarnya, nih?" "Alaikumussalam, Alhamdulillah sehat, Mbak Etik." Aku menyambut uluran tangan Mbak Etik dan mencium punggung tangannya. Biarpun dia asisten rumah tangga di rumah Kakek dan Nenek. Akan tetapi, usianya sepantaran Bunda. Maka aku menghormatinya. Kakek, Nenek, dan Bunda mengajarkanku untuk menghormati orang tanpa memandang status pekerjaannya. "Makanan dalam plastik ini tolong dipindahkan ke dalam piring, ya, Tik. Oleh-oleh dari Endit. Kamu ambil saja dulu beberapa potong pisang dan keladi. Setelah itu, baru dibawakan ke ruang keluarga, ya." Nenek mengulurkan tangan kanannya yang membawa plastik ke pada Mbak Etik. "Ya, Bu. Sini, sekalian Etik bawakan tasnya Endit, Pak." Mbak Etik mengambil bungkusan dari tangan Nenek, juga tasku dari tangan Kakek. Aku melangkah masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan basmalah dan salam. Kata Ustadzah Azizah apa yang kulakukan tadi adalah salah satu adab saat akan memasuki rumah. "Mpus, Mpus..." Aku berteriak dengan nada penuh semangat untuk memanggil kucing yang sudah lama menjadi hewan peliharaan Kakek. Dulu Kakek punya beberapa ekor kucing. Akan tetapi, saat ini hanya si Mpus saja yang tetap menjadi hewan peliharaan di rumah ini. Induknya telah meninggal dan saudara-saudaranya sudah pergi meninggalkan rumah ini. Si Mpus sudah tinggal di sini sejak baru saja dilahirkan. Seekor kucing dengan bulu halus berwarna putih dengan warna coklat di kedua matanya, tampak di kejauhan. Dia berlari dengan penuh semangat mendekat ke arahku. Aku menatapnya dengan sumringah dan segera berjongkok menyambut. "Halo, Mpus! Kamu semakin gemuk sekarang." Dua bulan yang lalu tubuhnya masih belum sebesar ini. Aku menatap Mpus sambil terus mengelus bulunya yang putih dan bersih. "Kamu, tuh, gaya! Di dalam rumah pun pakai kacamata coklat terus. Ih, gemes!" Si Mpus seperti memahami apa yang aku ucapkan. Dia mengerjapkan kedua matanya yang dikelilingi bulu berwarna coklat. Kucing betina ini memang manja dan sedikit centil. Dia paling suka saat dielus bulunya dan diajak bermain. "Endit, kamu gak capek? Malah langsung main sama si Mpus." Suara Nenek membuatku mengalihkan pandangan dari si Mpus. "Capek sedikit, Nek. Soalnya Endit juga kangen sama si Mpus." Aku menjawab sambil tersenyum. "Ya, sudah, cucuku tersayang. Main sama si Mpus sebentar saja, ya. Nanti jam 11.30 harus ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Kan habis perjalanan jauh. Setelah itu, salat berjamaah sama Nenek, ya. Lalu kita akan makan siang dan dilanjutkan bobok siang berdua." Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum pada Nenek. Masih ada cukup waktu untuk aku melepas rindu pada si Mpus. Dia mengajakku berlari ke arah halaman belakang. Aku pun mengikuti di belakangnya. Kuambil sebuah bola kecil yang dipenuhi bulu dan mengeluarkan suara berdecit. Si Mpus suka sekali mengejar bola ini. Agar tidak terlalu capek saat mengejar bola yang menggelinding. Kakek memasang seutas benang dan semacam lidi untuk mengikatnya. Jadi saat sedang bermain, kami bisa sambil berdiri atau duduk. Sambil tetap mengayunkan bola bulu ini ke arah si Mpus. Aku tertawa terbahak melihat tingkah si Mpus yang tampak gemas saat hendak menangkap bola bulu. Sedari tadi dia belum berhasil menyentuhnya. Aku berhasil menggerakkan lidi ini lebih lincah dari gerakan si Mpus mengejarnya. "Waduh!" Aku berteriak saat bola bulu lepas dari ikatan pada lidi. Bola itu terlempar dan menggelinding ke arah halaman rumput di belakang rumah Kakek. Si Mpus bergegas berlari dan mengejarnya. Aku memperhatikan dari kejauhan. Si Mpus dengan lincah berjalan di sela-sela rerumputan. Dia sangat bersemangat mencari, demi menemukan bola bulu yang sedari tadi belum berhasil digapainya. "Endit, kamu di sini rupanya! Kakek keluar dari kamar mandi mencarimu ke kamar, tapi Kakek kecele." Aku terkekeh mendengar ucapan Kakek. Saat aku memanggil si Mpus tadi, Kakek sudah masuk ke dalam kamar mandi. Bisa kubayangkan bagaimana lucunya Kakek saat membuka pintu kamar sambil berteriak ciluk ba, tetapi aku tak ada di sana. "Pasti Kakek tadi kecele saat mau mengagetkanku di kamar, kan? Hehehe..." Aku tak dapat menahan tawa. "Iyalah, sayang. Endit ngapain duduk sendirian di sini?" Kakek mengelus rambutku sambil terseyum. "Itu, Kek! Endit nungguin si Mpus mengambil bola bulu. Tadi talinya lepas dan menggelinding ke arah sana, Kek." Aku menjawab pertanyaan Kakek sambil mengarahkan jari telunjuk menuju si Mpus yang sedang mengeong. Aku baru menyadari, kucing itu melangkah menjauh dari tempat semua. Mungkin si Mpus sudah berhasil menemukan bola bulu. Akan tetapi, saat kuperhatikan lagi dia tak membawa apa pun. "Ternyata si Mpus tidak berhasil menemukan bolanya, Kek. Biar Endit saja yang mencarinya." "Eh, jangan! Rumputnya belum ditebas, Kakek khawatir ada ular. Biar nanti Bang Pardi yang mencarikan." "Bang Pardi mau ke sini, Kek?" Bang Pardi adalah suami dari Mbak Etik. Aku sudah lama tidak bertemu dengan dia. Si Mpus sudah berlari dan mendekat ke arahku lagi. Suara mengeong tak henti keluar dari mulutnya. Kasihan sekali, sepertinya dia masih penasaran dengan bola bulu yang tadi. Aku segera mencari di dalam kotak penyimpan mainan si Mpus. Ternyata masih ada satu bola bulu lagi. Aku pun mengulurkan bola bulu yang belum diikat pada tali itu. Mata si Mpus berbinar dan mulai bergumul bermain dengan bola bulu. "Kakek tadi minta tolong Bang Pardi untuk menebaskan rumput. Biar aman kalau Endit mainan di halaman sama si Mpus. Sudah siang, Endit. Ayo, kita masuk! Sebentar lagi azan dhuhur." Aku mengangguk dan meninggalkan si Mpus yang masih sibuk bermain dengan mainannya. Aku tertawa melihat gayanya yang lucu. Tubuh gembul yang dipenuhi bulu halus itu tampak bergerak lincah sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN