Aku melihat wanita berambut panjang dan memakai mahkota sedang tidur di atas kasur Bunda. Dia menutupi tubuhnya dengan selimut yang biasa Bunda gunakan saat tidur. Hatiku panas. Mengapa dia seenaknya saja tidur di atas kasur Bunda dan memakai selimut milik Bunda.
Sungguh aku tak bisa terima, pasti wanita ini memakai kasur dan selimut tadi tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada Bunda. Ke mana Ayah? Bagaimana kalau Ayah masuk ke dalam kamar dan langsung tidur di kasur ini tanpa menyadari bahwa wanita di sebelahnya bukan Bunda?
Tak ingin semua yang ada dalam pikiranku tadi terjadi, segera aku mendekat dan menarik selimut berwarna merah muda yang dipakai oleh wanita itu. Darahku berdesir, jantungku berdegup dengan kencang. Mataku terbelalak saat selimut telah berpindah ke tanganku.
Pemandangan tak lazim tampak di hadapanku. Wanita itu sama sekali tidak memakai pakaian layaknya manusia. Bagaimana dia hendak berpakaian? Wanita itu tak memiliki tubuh seperti manusia pada umumnya.
Aku tak melihat ada tangan dan kaki. Tubuhnya lurus dan panjang. Kulitnya bersisik dan berwarna hijau mirip ular.
Bau amis tiba-tiba terhidu oleh hidungku. Rasanya aku pernah mencium aroma seperti ini. Aku pun rasanya pernah melihat wanita bertubuh mirip ular itu. Tak asing bagi indera penciuman dan penglihatanku.
Akan tetapi, kapan saat aku pertama kali melihat wanita ular ini? Di mana? Aku memutar otak, berusaha untuk mengingat kembali sambil tetap menatap lekat pada wanita siluman itu.
Saat aku sedang berusaha untuk menggali memori, tiba-tiba mata wanita itu terbuka. Lalu hanya dalam hitungan detik, kepalanya sudah tak lagi berada di atas bantal. Wanita itu mengangkat lehernya dan menegakkan kepala di atas gulungan tubuhnya. Mirip sekali seperti posisi ular yang sedang dalam keadaan terancam dan siaga.
Aku terkesiap dan ingin bergerak mundur perlahan. Akan tetapi, belum sempat aku menggerakkan kaki, kini aku sudah berada dalam lilitan yang cukup kencang. Napasku sesak, tubuhku terangkat, dan tak lagi menyentuh lantai. Aku ditarik mendekat ke arah wajah wanita ular itu.
Menyadari bahaya sedang mengancam, aku berusaha berontak dengan mencoba menggerakkan badan. Akan tetapi, jemariku saja tak bisa berubah posisi karena ketatnya lilitan. Apalagi tubuhku. Segera aku pejamkan mata, tak ingin melihat wajah wanita ular dari jarak dekat.
Bau amis semakin tercium. Rasanya aroma ini seperti memenuhi rongga hidung hingga kepalaku. Membuatku tak mampu berpikir dengan cepat bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari lilitan ular ini.
Saat sedang berada dalam kepanikan dan kebingungan yang teramat sangat, aku merasakan wajahku basah. Ada sesuatu yang permukaannya agak kasar sedang bergerak di pipiku. Benda apa itu? Aku semakin tegang dan panik.
Jangan-jangan aku sudah berada sangat dekat dengan wajah siluman ular itu. Apakah artinya yang bergerak dmdan membasahi pipiku adalah lidah wanita ular itu? Oh, aku tak mau dijilati oleh siluman itu. Aku bergidig ngeri.
Dalam ketakutan yang teramat sangat, aku berusaha mengumpulkan sisa keberanian dan meneriakkan takbir. "Allahu akbar!"
Setelah berhasil meneriakkannya, aku pun memberanikan diri untuk membuka mata.
"Miauw. Miauw." Terdengat suara kucing yang tak asing lagi.
"Astaghfirullah. Ya Allah, Mpus. Bikin kaget." Aku tertawa geli menyadari bahwa yang sedang menjilati pipiku adalah lidah dari seekor kucing peliharaan Kakek dan Nenek.
Perlahan aku menggeliat dan menyadari bahwa telah tertidur dalam posisi tengkurap. Pantas saja dalam mimpi merasa d**a terhimpit. Selain aku tertidur dalam posisi d**a tertekan, di punggungku sedang menggelendot si Mpus.
Aku mengucapkan kalimat tahmid dan menarik napas panjang. "Alhamdulillah. Ya Allah, kukira d**a yang terasa sesak ini betul-betul sebagai akibat dari lilitan ekor wanita ular."
Aku mengalihkan pandangan kembali pada kucing putih itu.
"Alhamdulillah, ternyata cuma mimpi. Mpus, makasi, ya, sudah membangunkanku dari mimpi terburuk tadi. Ya Allah, aku tak sanggup membayangkan jika apa yang tadi terjadi akan menjadi kenyataan. Hambamu berlindung padaMu dari gangguan jin dan syaitan. Aamiin."
Terdengar suara pintu diketuk dan didorong perlahan. Aku segera duduk untuk melihat siapa yang memasuki kamar.
"Assalamualaikum, Endit."
Bunda menyapaku sambil melangkah di depan Kakek dan Nenek. Aku tersenyum bahagia melihat mereka memasuki kamarku. Ketiganya adalah sosok yang kucintai dan kuharapkan.
Si Mpus masih melingkar malas-malasan di atas kasurku. Dia tak terusik dengan kedatangan Bunda, Kakek, dan Nenek. Si Mpus memang sering tidur di kamarku. Di dalam rumah ini, Kakek dan Nenek memang menyediakan kamar khusus diperuntukkan untuk aku dan Bunda.
"Alaikumussalam, Bunda sudah pulang? Endit baru saja terbangun." Aku tersenyum sambil merentangkan tangan menyambut Bunda. Kami pun berpelukan.
Bunda bercerita, ternyata dia sudah kembali ke rumah sejak dua jam yang lalu. Saat memasuki kamar, dia melihatku sedang tidur tengkurap di atas lantai, bersebelahan dengan si Mpus. Lalu Bunda mengangkat tubuhku dan memindahkan ke atas kasur.
Aku baru ingat. Seusai menunaikan salat dhuhur dan makan siang bersama Kakek dan Nenek tadi, aku dan si Mpus bermain di dalam kamar. Mungkin setelah capek bermain, aku pun tertidur di atas lantai. Kata Bunda, si Mpus ikut naik ke atas kasur saat aku dipindahkan.
"Endit kecapekan bermain. Kakek bolak balik melihat dari jendela, kamu masih saja tertidur pulas. Padahal Kakek dan Nenek mau ajak Endit jalan-jalan sore, keliling Kota Pontianak naik mobil."
"Nyenyak tidurmu, sayang?"
Kakek dan Nenek bergantian menyapaku. Mereka berdua duduk di atas kasur, sedangkan Bunda mengambil kursi di dekat meja rias. Mungkin kehadiran mereka membuat si Mpus tak nyaman. Dia akhirnya memilih untuk turun dari kasur dan berjalan ke luar kamar.
Semua perabotan di kamar ini terbuat dari kayu berukir dan berwarna coklat. Aku pernah berpikir, andai saja perabotan ini dibawa ke rumahku di Desa Sungai Ampar seperti peralatan makan kami. Akankah lantai rumah yang terbuat dari kayu di sana, akan kuat menahan beban perabotan yang berat ini.
Saat aku atau Bunda berjalan saja, lantai kayunya akan berderit. Satu-satunya perabotan di rumahku yang mirip dengan yang ada di sini hanyalah lemari di ruang tamu. Kaki lemari itu yang kujadikan pegangan saat hendak diseret oleh siluman ular.
Aku pun teringat kembali akan mimpi yang baru saja terjadi. "Endit baru saja mimpi buruk, lho! Pas Bunda membuka pintu dan Kakek Nenek masuk tadi, itu tuh Endit baru saja terbangun!"
"Cucu Nenek tersayang, sini!"
Aku menggeser tubuh mendekat pada Nenek dan berpelukan erat. Kakek mengelus kepalaku. Bunda bangkit dari kursi dan memeriksa kasurku.
"Endit tidak mengompol, kan? Tidak ada yang basah di kasur ini. Endit mimpi buruk apa?"
"Endit mimpi ketemu dengan wanita yang di atas kepalanya ada mahkota. Dia tidur di atas kasur Bunda dan memakai selimut pink milik Bunda. Endit kesal sekali melihat hal itu, seenaknya saja dia memakai barang milik Bunda. Karena itu, Endit tarik selimutnya pinknya. Eh, ternyata badan wanita itu bersisik hijau seperti ular! Gak ada tangan dan kaki, lurus aja, Bun."
"Astaghfirullah, Nenek merinding. Lalu bagaimana kelanjutannya? Apa Endit langsung terjaga?" Nenek menanggapi ceritaku sambil bergidig ngeri.
"Belum, Nek. Abis itu Endit kan berpikir, sepertinya sudah pernah melihat wanita itu. Kemudian jadi teringat, kalau dia yang pernah menyeret Endit di rumah dinas Bunda. Eh, tiba-tiba saja wanita bertubuh ular yang semula terpejam itu membuka mata! Lalu seketika meneggakkan kepala seperti ini."
Aku mengangkat lengan kanan dan memperagakan posisi kepala wanita siluman ular tadi. Bulu kudukku meremang saat melakukannya. Menceritakan kembali apa yang telah kulihat di dalam mimpi dan menyandingkannya dengan yang pernah kulihat secara nyata, telah membuatku bergidig ngeri.
Bunda mengangkat tangan kanannya dan segera menggenggam tangan kananku. "Udah, ah! Bunda kok merinding, ya, melihat posisi tangan Endit seperti tadi. Jadi seperti ikut melihat wanita bertubuh ular."
"Nah, Bunda yang membayangkan aja jadi merinding, kan! Apalagi Endit tadi. Hii... serem. Apa lagi, tiba-tiba badan Endit terangkat dan ternyata tubuh ini sudah dililit sama ekor ularnya. Endit takut sekali dan memejamkan mata. Tak lama kemudian terasa pipi Endit basah." Aku menceritakan kelanjutan peristiwa tadi.
"Basah? Endit nangis?" Bunda bertanya sambil mengelus pipiku.
"Bukan nangis, Bun. Ada yang bergerak di pipi dan permukaannya kasar. Udah gitu, Endit mulai mencium bau amis pula. Pokoknya seram sekali."
"Ya Allah, Nenek jadi merinding gak berhenti ini. Mimpinya Endit, kok, serem amat!" Nenek berkata sambil kembali memelukku.
"Endit aja takut sekali tadi, Nek. Mana d**a ini terasa semakin sesak, sepertinya ular itu semakin memperkuat lilitannya. Akhirnya Endit memutuskan untuk membuka mata saja. Ternyata yang terlihat adalah si Mpus lagi baring di atas punggung Endit sambil menjilati pipi. Karena Endit tadi tidurnya tengkurep, makanya jadi sesak napas."
Aku mengakhiri cerita panjang tadi sambil tertawa. Bunda, Nenek, dan Kakek pun ikut tertawa. Cerita yang menegangkan tadi untung saja hanya bunga tidurku.
"Alhamdulillah cuma mimpi, ya. Kalau yang dulu Endit lihat nyata kan?" Kakek bertanya saat tawa kami sudah berhenti.
Aku mengalihkan pandangan pada Kakek dan mengangguk. Sepertinya saat ini akan menjadi awal untuk kembali meyakinkan Bunda. Bahwa semua ceritaku dulu bukanlah mimpi seperti saat ini.