"Waktu itu Endit cuma mimpi juga, Pak." Bunda menjawab terlebih dahulu sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Kakek tadi.
"Beneran kejadian yang di rumah dinasmu itu cuma mimpi, Nur? Kan, yang mengalami Endit. Kok, kamu bisa menjawab kalau semua yang diceritakan itu hanya merupakan bunga tidur?"
Kakek bertanya kembali sembari menatap ke dalam mata Bunda. Aku memilih untuk tetap diam seperti Nenek. Kami hanya menunggu saja, bagaimana tanggapan Bunda atas pertanyaan Kakek.
Apakah Bunda akan percaya pada ceritaku, seperti Kakek dan nenek. Ataukah Bunda akan tetap menganggap pertemuanku dengan siluman ular itu hanya terjadi di dalam mimpi.
"Hmm, menurut pendapat Nur tidak mungkin ada wanita setengah ular dalam kehidupan nyata, Pak. Tidak mungkin, kan, ada manusia menikah dengan ular dan menghasilkan anak yang berwujud manusia separuh ular. Seumur hidup Nur, belum pernah melihat dengan mata dan kepala sendiri ada wujud manusia seperti itu." Bunda mengemukakan alasannya.
"Hmm, apakah karena kamu belum pernah melihat sendiri, jadi kamu menganggap bahwa cerita dari anakmu yang pernah melihat wujud makhluk seperti itu sebagai bunga tidur?" Kakek memberi jeda sejenak sebelum meneruskan ucapannya.
"Begini Bapak perjelas lagi. Apa karena kamu tak pernah melihat jin, lalu tidak akan percaya bahwa ada manusia lain yang pernah bertemu dan melihat jin? Padahal jin adalah makhluk yang telah Allah ciptakan lebih dahulu dari pada manusia."
"Hmm... Nur percaya akan adanya jin, Pak. Ya, karena memang tertulis di dalam Al Qur'an. Akan tetapi, keberadaan manusia berbadan ular itu, Nur belum pernah membacanya."
"Kalau itu pendapatmu, coba kita tarik kesimpulan. Jadi begini, ya. Nur, anak Bapak yang cantik. Jin itu punya kemampuan untuk menyerupai apa saja, tentu semua terjadi atas ijin Allah. Apa kamu tahu dan pernah membaca tentang itu?" Bunda menjawab pertanyaan Kakek dengan anggukan kepala.
"Bagus, alhamdulillah. Jin pun bisa memilih, kapan dia mau menampakkan diri pada manusia yang memiliki frekuensi tertentu, atau kapan dia ingin masuk ke dalam alam mimpi manusia. Nur pernah baca tentang itu?" Bunda kembali menganggukkan kepala.
Mulutku membentuk hurup O saat mendengarkan penjelasan Kakek. Sungguh apa yang telah diucapkan tadi, merupakan pengetahuan baru bagiku. Ustadzah Azizah pernah menjelaskan tentang jin di depanku dan teman-teman.
Akan tetapi, aku baru tahu dari Kakek bahwa jin bisa benar-benar hadir melalui mimpi manusia. Apakah ini berarti bahwa siluman ular itu benar-benar datang? Ataukah bunga tidur tadi hanyalah perwujudan dari memori pertemuanku yang sangat membekas hingga terbawa ke alam mimpi?
Kedua pertanyaan itu timbul dalam pikiranku. Saat ini kedua pertanyaan tersebut akan aku simpan. Pada waktu yang tepat akan kucari jawabannya.
Aku, Nenek, dan Bunda fokus menyimak semua penjelasan Kakek. Pengetahuan Kakek memang sangat beragam. Beliau adalah pegawai negeri sipil yang kini telah memasuki masa pensiun.
Seingatku dulu Kakek bekerja di Departemen Agama. Walaupun sudah purna tugas, sampai saat ini Kakek masih menjadi tamu di sebuah universitas di Kota Pontianak. Beliau tak pernah lelah mengajar dan belajar. Tak heran wawasannya sangat luas.
Ilmu agama didapatkan Kakek pada saat bersekolah di pulau Jawa. Aku pernah diberi tahu oleh Bunda tentang pekerjaan dan nama tempat sekolah Kakek dulu. Akan tetapi, aku lupa apa nama sekolahnya.
Kakek sering kali mengucapkan agar aku bisa bersekolah di pulau Jawa. Beliau ingin ada generasi penerusnya yang memiliki keluasan pengetahuan dalam ilmu agama.
Nenek mengamini ucapan Kakek, karena setiap ucapan adalah doa. Maka berucaplah yang baik. Begitu pesan Kakek dan Nenek padaku.
"Pak, Nur punya pertanyaan yang masih mengganjal di pikiran. Bagaimana mungkin Bapak bisa berpikir kalau wanita ular di rumah dinas Nur itu nyata?" Bunda memecah lamunanku.
"Coba Bapak balik dengan pertanyaan ke kamu. Kenapa hal itu tidak mungkin, Nur? Kita tanyakan saja kronilogisnya pada sang tokoh utamanya. Endit, cucu Kakek tersayang, di mana kamu pertama kali melihat wanita siluman ular itu?"
Setelah balik bertanya pada Bunda, kini Kakek beralih bertanya padaku.
"Di dalam kamar kerja Ayah, Kek." Aku menjawab dengan mantap.
"Endit melihat siluman ular saat memasuki kamar kerja?"
"Tidak, Kek. Ruangan itu selalu terkunci. Endit mengintip melalui lubang kunci karena penasaran mendengar ada suara mendesis dari dalam kamar. Setahu Endit, hanya Ayah yang sering masuk ke dalam kamar itu. Tetapi, Endit juga gak tahu, apakah Bunda pernah memasuki ruangan kerja Ayah atau tidak."
Kakek menganggukkan kepalanya. Pandangannya kini beralih ke arah Bunda lagi.
"Nur, apakah kamu pernah memasuki kamar kerja suamimu? Bapak tidak tahu ruangan mana yang dimaksudkan oleh Endit tadi? Bukannya di rumah dinasmu hanya ada dua kamar? Apa kalian tidur sekamar bertiga karena kamar yang satu lagi difungsikan sebagai kamar kerja suamimu?"
Kakek kembali bertanya pada Bunda. Memang sudah setahun ini Kakek tidak berkunjung ke rumah kami. Maka, beliau tidak mengetahui kalau Ayah menambah satu kamar lagi di sana.
"Ayahnya Endit ada merenovasi rumah dinas, Pak. Dia menambah satu ruangan sebagai kamar kerjanya. Kira-kira mulai dikerjakan setelah Bapak dan Ibu terakhir berkunjung ke rumah kami. Nah, sejak ruangan itu selesai dibangun sekitar setahunan yang lalu, Nur belum pernah masuk ke dalamnya."
"Lho, kenapa?"
"Kuncinya selalu dipegang oleh Ayahnya Endit, Pak." Bunda menjawab malu-malu.
"Nur... Nur... Apa kamu tidak pernah menanyakan ke suamimu, kenapa tidak boleh memasuki ruangan itu? Lalu siapa yang membersihkan ruang kerjanya? Apakah suamimu sendiri?" Bunda terdiam, tak menjawab pertanyaan Kakek.
Aku bisa paham mengapa Bunda tak langsung menjawab pertanyaan Kakek. Pasti Bunda sedang berpikir keras dan menimbang harus menjawab apa. Andai Bunda menjawab dengan apa adanya, pasti akan membuat Kakek dan Nenek sedih.
Aku bertanya-tanya apakah Bunda akan menceritakan tentang semua perbuatan kasar Ayah di rumah. Aku masih ingat betul saat kejadian Bunda menawarkan diri untuk membersihkan ruang kerja, Ayah tiba-tiba saja menjadi marah besar. Hingga timbul pertengkaran hebat dan Ayah menyeret Bunda. Aku menangis sejadi-jadinya saat melihat ada darah yang mengalir di kedua kaki Bunda.
Ternyata akibat benturan di perut dan diseret di lantai kayu, kandungan Bunda terganggu. Aku sedih karen kejadian itu menjadi penyebab calon adikku meninggal. Padahal Kakek dan Nenek baru saja pulang ke Kota Pontianak setelah acara tasyakuran empat bulan kehamilan Bunda.
Ayah ikut panik saat melihat Bunda berdarah dan kesakitan. Dia segera memanggil Bidan di desa sebelah dan bidan itu membantu untuk merujuk Bunda ke rumah sakit di kota Pontianak. Mereka berangkat dengan menaiki speed boat.
Aku sangat sedih dan bingung. Untung saja Ustadzah Azizah datang dan menemaniku menyusul dengan menggunakan motor air. Kakek dan Nenek baru diberi kabar setelah kondisi Bunda stabil. Semua itu kami lakukan demi menghindari efek buruk pada Kakek yang memiliki riwayat sakit hipertensi.
Karena itulah, aku merasa tidak akan mungkin Bunda menceritakan tentang kejadian yang telah menyebabkan keningnya berdarah. Apalagi menceritakan tentang Ayah yang mencekik leher Bunda sampai sesak napas dan kesulitan bernapas.
Setelah mengingat semua peristiwa itu. Kini aku baru menyadari bahwa semua sikap kasar Ayah terhadap Bunda mulai semakin sering terjadi setelah ada kamar baru di rumahku. Aku jadi bertanya-tanya, apakah semua ini ada hubungannya atau tidak.
Sepertinya misteri ini harus dipecahkan. Aku harus mencari tahu apakah memang ada hubungan antara kamar baru dan sikap kasar Ayah. Ataukah memang sejak dulu dia kerap menyakiti Bunda. Aku semakin tertarik untuk mencari jawaban.
Sesungguhnya, bila aku mengingat lagi tentang kejadian saat kakiku dililit dan diseret oleh ular siluman itu. Lalu ditambah lagi dengan kejadian dalam mimpiku tadi siang. Rasanya nyaliku tak cukup besar untuk mencari tahu. Mengingat lagi suara ular mendesis, bau amis, dan kilau sisik ular sungguh telah membuatku merinding.
Di hari yang sama setelah aku mengompol akibat diseret oleh siluman ular itu, aku sempat berpikiran untuk tak tinggal lagi di rumah dinas Bunda. Rasanya tak sudi berada serumah dengan makhluk siluman yang mengerikan. Ditambah lagi Ayah dan Bunda meragukan kebenaran ceritaku, bahkan menganggapnya hanya sebagai bunga tidur.
Akan tetapi, saat aku mengadukan semuanya pada Ustadzah Azizah selepas kegiatan mengaji di musala, pikiranku berubah. Ustadzah Azizah memberiku nasehat untuk bersabar. Aku diminta untuk menunggu sampai ada bukti lain yang bisa meyakinkan Bunda, bahwa Ayah benar-benar berteman dan dibantu oleh jin.