Bunda akhirnya angkat bicara juga setelah beberapa saat hanya terdiam.
"Iya, Pak. Ayahnya Endit biasa membersihkan ruangan itu sendiri. Nur memang tidak selalu sempat membersihkan rumah setiap hari. Biasanya ada anak-anak murid yang akan membantu membersihkan rumah, dibsaat Nur sedang mengajar."
"Kalau begitu, sesekali cobalah kamu menawarkan diri pada ayahnya Endit untuk membersihkan kamar kerjanya. Ya, sambil menyelidiki apakah ada barang yang mencurigakan." Kakek memberi saran pada Bunda.
"Barang yang mencurigakan? Seperti apa misalnya, Pak? Malah Nur jadi gak paham ini." Bunda bertanya sambil mengernyitkan dahi.
"Begini Nur, biasanya makhluk gaib sejenis siluman akan tinggal di dalam suatu benda, terutama benda pusaka peninggalan masa lalu. Meskipun ada juga benda pusaka yang memang tak dihuni oleh makhluk gaib apa pun. Hanya sebagai benda seni saja. Coba sekarang Nur ingat-ingat lagi, apakah ayahnya Endit punya koleksi benda pusaka?"
"Ada, Pak. Pernah lihat beberapa koleksinya. Tapi, Nur gak begitu paham..."
Belum selesai Bunda berbicara, kami semua dikejutkan dengan suara si Mpus yang mengeong dengan keras. Tidak hanya sekali, dia mengeong berulang kali. Karena terkejut dan penasaran, kami berempat segera berdiri dan berusaha mencari di mana asal suara.
"Itu si Mpus kenapa? Tumben suaranya kenceng dan heboh sekali, Kek." Nenek bertanya sambil melangkah ke luar kamar.
"Iya, Nek. Biasanya kalem dan gak ribut. Lah, bukannya tadi si Mpus ada di dekat Endit, ya?" Kakek berkata tanpa menghentikan langkahnya.
"Dia turun sewaktu Nur berpindah dari kursi dan ikut duduk di atas kasur, Pak." Bunda menjelaskan pada Kakek.
"Itu asal suaranya dari luar kamar. Ayo, segera kita lihat! Ibu takut si Mpus kenapa-napa."
Nenek mendahului kami berjalan dengan cepat keluar dari kamarku. Si Mpus memang kucing kesayangan kami semua, terlebih Nenek yang telah mengurusnya sedari baru dilahirkan oleh induknya. Induk si Mpus bernama Meri, dia adalah kucing peliharaan pertama Nenek dan Kakek.
Aku berlari kecil dan mengekor di belakang Nenek sambil bergandengan tangan dengan Kakek. Bunda terakhir ke luar dari kamar. Posisi duduk Bunda di kasur tadi memang berada paling jauh dari pintu kamar. Aku sempat menoleh ke belakang sejenak dan melihat Bunda menutup rapat daun pintu kamarku sebelum menyusul kami.
"Etik, kenapa itu si Mpus ribut sekali?" Nenek bertanya saat bertemu dengan Mbak Etik.
"I...itu, Bu. Ada ular hijau besar di teras belakang. Waktu saya lagi lihatin Bang Pardi menebas rumput, tiba-tiba si Mpus mengeong keras. Sewaktu saya dan Bang Pardi menoleh, di depannya si Mpus ada ular." Mbak Etik menjelaskan tanpa bisa menyembunyikan rasa takutnya.
"Astaghfirullah!"
Mendengar penjelasan yang diucapkan Mbak Etik pada Nenek, kami semua serempak mengucapkan istighfar. Nenek segera maju dan mengangkat si Mpus yang masih saja mengeong dengan keras. Kini kucing berbulu putih itu berada dalam gendongan Nenek.
"Ya Allah, alhamdulillah kamu gak kenapa-napa, Mpus." Nenek berucap dengan nada khawatir sambil mengelus kepala kucing kesayangannya dengan lembut.
"Sekarang ke mana ularnya sembunyi, Tik?" Kakek bertanya menyuarakan hal yang sama dengan yang ada dalam pikiranku.
"Ularnya lari ke sana, Pak. Itu suami saya lagi mencarinya." Mbak Etik menunjuk ke suatu arah.
Kami mengalihkan pandangan dari si Mpus pada sosok laki-laki yang sedang memegang bambu. Bang Pardi berjalan perlahan menuju rerumputan di dekat dinding pagar. Kakek bergegas hendak mendekatinya.
"Pak, jangan! Ingat sudah tua. Biar Bang Pardi yang masih muda dan kuat larinya saja yang menangkap ularnya. Bahaya!" Nenek berujar sambil tangan kirinya memegang erat pada tubuh Kakek yang hendak melewatinya.
Si Mpus yang masih berada dalam gendongan Nenek terus saja mengeong dengan keras. Meskipun Nenek sudah mengelus bulunya. Suasana menjadi semakin tegang.
Aku dan Bunda sama sekali tak berucap sepatah kata pun. Aku bingung hendak melakukan apa. Sungguh, mendengar kata ular saja sudah membuatku trauma.
Masih terekam dengan baik di otakku, suara desisan dan bau amis. Aku tak mau lagi berada di dekat siluman ular atau pun ular asli. Aku bergidig ketakutan.
"Nampak ularnya, Di?" Kakek berteriak kepada Bang Pardi yang masih mengarahkan bambu ke sela-sela rerumputan. Tadi Kakek menghentikan langkahnya, demi menuruti permintaan Nenek.
"Belum, Pak. Tapi, saya yakin sekali kalau ular itu lari ke arah sini." Bang Pardi menjawab sambil menunjuk menggunakan bambu.
"Kalau begitu bambunya dibawa ke sini saja! Lalu kamu langsung arahkan mesin pemotong rumput ke arah ularnya menghilang. Biar bersih dan nampak sekalian dimana ular itu bersembunyi karena sudah lapang rumputnya." Kakek memberi perintah pada Bang Pardi.
"Ya, Pak."
Bang Pardi menganggukkan kepala dan berjalan ke arah kami. Dia menyerahkan bambu kuning yang ada di tangan kanannya pada Kakek. Baru saja beberapa langkah Bang Pardi melangkah, aku melihat ada seekor ular berwarna hijau bergerak cepat di dekat kakinya.
Segera aku berteriak, "Awas kakinya, Bang!"
Bang Pardi reflek melompat sebelum ular hijau itu mematuk kakinya yang tak memakai alas kaki. Bambu kuning pun terlepas dari genggaman tangannya dan menggelinding ke arah Kakek. Dengan sigap Kakek memungut bambu kuning itu.
"Astaghfirullah!"
Baru saja kami semua selesai mengucapkan istighfar, si Mpus melompat turun dari gendongan Nenek dan berlari menuju ke arah Bang Pardi. Dengan segera, perhatian ular itu beralih pada kucing berbulu putih bersih yang mendatanginya sambil mengeong dengan garang.
Aku panik melihat semua peristiwa itu. Di satu sisi, aku sudah trauma berhadapan dengan ular. Akan tetapi, di sisi lain aku tak mau si Mpus atau pun kami ada yang dicelakai oleh ular itu.
Aku pun memberanikan diri untuk berlari dengan maksud menyelamatkan si Mpus. Aku tak bisa tinggal diam saja, saat melihat ular itu telah menjadikan si Mpus sebagai lawan. Dia sudah melupakan rencana hendak mematuk kaki Bang Pardi.
Ular berwarna hijau itu sedang menegakkan lehernya dan mengarahkan tubuhnya ke arah si Mpus yang masih saja mengeong keras. Saat itulah aku baru tersadar, bahwa di atas kepala ular berwarna hijau itu ada lingkaran berwarna kuning seperti mahkota. Aku segera teringat pada mahkota di atas kepala wanita siluman ular.
"Ya Allah, Endit jangan mendekat!"
Bunda berhasil menarik ujung bajuku sebelum aku semakin dekat dengan si Mpus. Suasana menjadi semakin tegang saat terdengar suara mendesis dari ular itu. Aku menutup kedua mata sambil mencoba mengingat lafaz doa yang pernah diajarkan oleh Ustadzah Azizah. Aku yakin ular berwarna hijau ini, bukanlah ular biasa.
Setelah aku berhasil mengingat lafaz doa yang pernah kuucapkan saat menghentikan cekikan Ayah pada Bunda. Segera aku membuka mata dan merebut bambu kuning dari genggaman tangan Kakek. Aku berlari ke arah ular itu sambil menggenggam erat bambu kuning di telapak tangan kananku.
"Bismillahi Allahuakbar! Bismillahi Allahuakbar! Bismilahi Allahuakbar! Audzubilakalimatillahi tammati min syarri ma khalaq!"
Aku mengucapkan kalimat demi kalimat dengan suara kencang sambil memukulkan bambu kuning beberapa kali di kepala ular itu. Tepat pada saat kalimat terakhir kuucapkan, ular hijau dengan lingkaran kuning di atas kepalanya pun lenyap dari pandangan kami. Seketika bulu kudukku merinding dan tubuhku menjadi lemas.
"Ya Allah, Endit!"
Kakek memelukku tepat sebelum aku terjatuh. Tubuhku serasa tak bertulang. Kakiku lemas saat menyadari bahwa memang benar, ular itu adalah ular jadi-jadian. Dia menghilang tanpa bekas.
"Astaghfirullah. Ya Allah, Kek. Dia adalah ular siluman. Lihat, dia menghilang!"
Aku mulai terisak dan menangis keras dalam pelukan Kakek. Bunda dan Nenek ikut memeluk tubuhku. Aku merasakan kakiku basah. Saat aku menunduk, ternyata si Mpus sedang menjilati kakiku.
"Ya Allah, Endit. Alhamdulillah kamu gak kenapa-napa. Bunda rasanya seperti sedang tak menapak di atas tanah saat melihatmu merebut bambu kuning dari tangan Kakek dan berlari. Jantung Bunda rasanya berhenti berdetak. Bunda takut kamu celaka, Nak."
Bunda mengeluarkan semua rasa khawatir dalam d**a. Aku tak menjawab, jantungku berdegup sangat kencang. Sungguh mengejutkan ular siluman kembali muncul di hadapanku. Walau pun dalam wujud yang berbeda.