Aku terus menangis dalam pelukan Kakek, Bunda, dan Nenek. Semua yang terjadi tadi tentu saja telah Allah gariskan. Andai saja ular hijau itu tidak menegakkan kepalanya, tentu aku tak akan mencurigai bahwa makhluk tadi adalah ular siluman.
Lingkaran kuning di atas kepalanya sungguh mengingatkanku pada mahkota di atas kepala wanita bertubuh ular itu. Alhamdulillah telah Allah gerakkan hatiku untuk mengingat lafaz doa yang telah diajarkan oleh Ustadzah Azizah. Allah pula yang telah memberiku keberanian untuk merebut bambu kuning dari tangan Kakek dan memukuli kepala ular itu.
Walaupun sudah menduga, tetap saja aku terkejut dan takut saat ular hijau tadi tiba-tiba menghilang. Aku sedang tak berada di Desa Sungai Ampar. Bahkan berada ratusan kilometer dari sana. Akan tetapi, mengapa ular siluman itu muncul juga di hadapanku.
"Ayo, Endit! Kita masuk ke dalam rumah."
Kakek membimbing langkah kakiku. Kami berjalan dengan perlahan. Aku masih terisak dan kakiku terasa sangat lemas.
"Ini Bunda sudah mengambilkan air putih. Diminum ya, Nak."
Bunda mengulurkan gelas berisi air putih setelah aku dan Kakek sudah duduk di sofa. Nenek menyusul kami sambil menggendong si Mpus. Kini dia sudah tenang dan tak lagi mengeong.
"Biar Bapakmu bacakan doa dulu di air minumnya, Nur. Biar balik semangatnya Endit."
Kakek mengambil gelas dari tangan Bunda. Lalu mulutnya melafadzkan beberapa ayat suci Al Qur'an. Aku tidak tahu surah apa yang sedang dibaca oleh Kakek. Setelah selesai, Kakek mendekatkan gelas ke d**a dan meniup ke dalam airnya.
"Diminum dulu, Endit."
Aku hanya menganggukkan kepala. Lidahku masih terasa kelu. Debaran jantungku masih terasa lebih cepat dari biasanya. Adrenalinku masih meningkat tajam, rasa takut dan cemas masih menyelimuti hatiku.
Kuambil gelas dari tangan Kakek, lalu mengucapkan basmalah dan mulai meminumnya. Beberapa teguk air telah membasahi kerongkonganku. Saat aku hendak mengembalikan gelas ke tangan Kakek, beliau memintaku untuk menghabiskan semua isinya.
"Dihabiskan, Endit. Pelan-pelan tidak apa."
Aku mengangguk dan memegang gelas itu dengan kedua tanganku. Kuteguk kembali, hingga akhirnya semua air dalam gelas itu berpindah ke dalam tubuhku. Rasa sejuknya membuat hatiku lebih tenang.
Kucoba untuk mengatur napas. Aku menegakkan punggung dan menarik napas panjang beberapa kali. Semoga saja detak jantungku menjadi lebih teratur. Aku harus berusaha menenangkan hati dan melupakan pertemuan dengan ular siluman.
"Sudah habis minumnya, Nak? Sini gelasnya."
Bunda mengambil gelas dari tanganku. Lalu melipat dua lembar tisu dan menggunakannya untuk mengeringkan wajahku. Air mata dan ingus yang sedari tadi menempel di pipiku, kini telah hilang.
Tak lama Nenek mendekat sambil membawa piring. Dia duduk di sebelah Bunda dan tersenyum padaku. "Ayo, tebak! Nenek bawa apa?"
Aku yang masih berusaha mengatur napas balik bertanya dengan suara lirih. "Bawa apa, Nek?"
"Taraaa..."
"Wow!"
Mataku membesar dan mulutku membulat. Aku menjadi bersemangat saat melihat apa yang ada di atas piring itu. "Kue brownies buatan Nenek!"
Nenek mengangsurkan piring ke pangkuanku. "Ayo, dimakan! Katanya coklat akan meningkatkan hormon endorfin yang mampu membangkitkan rasa bahagia. Ini sengaja Nenek buat pagi-pagi sebelum berangkat ke Mesjid Mujahidin tadi. Khusus buat Endit, cucu Nenek tersayang."
Aku tertawa bahagia. "Terima kasih sekali, Nenekku tersayang. Endit bahagia sekali dengan melihat kue brownies buatan Nenek. Coba, ya, Endit makan. Pasti makin bahagia!"
"Alhamdulillah. Gitu dong!" Nenek tersenyum dan mencolek hidungku.
Aku mengambil satu potong brownies dengan toping choco chip dan irisan kacang almon. Dalam satu loyang brownies ini, memang ada berbagai jenis toping. Selain toping keju yang berwarna putih, juga ada toping berwarna hijau, merah, dan cokelat yang sangat asing bagiku.
"Nek, yang ini dilapisi dengan toping dari apa?" Aku bertanya pada Nenek sambil mengacungkan telunjuk ke arah brownies.
"Oh, ini toping baru! Hari minggu kemarin, saat Nenek diantar Kakek belanja di toko bahan kue ada banyak stok baru. Yang merah ini adalah butiran red velvet, yang cokelat ini dari biskuit bisscof, dan yang berwarna hijau ini green tea. Cobain, deh! Lalu Endit sebutkan toping apa yang paling disukai?" Nenek menunjuk bergantian ke arah potongan brownies di piring itu.
"Oke, Nek. Endit makan yang ini dulu, ya." Aku mengangkat potongan brownies dengan toping keju.
Pada gigitan pertama, aku langsung menikmati kelezatannya. Permukaan brownies yang keras tapi lembut di bagian dalam, berpadu dengan rasa manis dan gurih di lidah. "Masyaallah enak sekali, Nek!"
Aku memuji Nenek sambil tersenyum. Setelah menghabiskan potongan brownies pertama tadi. Aku mulai melihat kembali ke atas piring. Pilihanku jatuh pada potongan brownies dengan toping berwarna merah. Red Velvet kata Nenek tadi.
Kemudian setelah menghabiskan potongan brownies red velvet, aku beralih mengambil potongan brownies dengan toping hijau. Kemudian, aku lanjut mengambil potongan brownies dengan toping berwarna cokelat. Semuanya enak.
"Jadi, yang mana yang paling Endit sukai?"
Aku menoleh ke arah Nenek. Mulutku masih penuh belum selesai mengunyah. Aku mengangkat tangan ke arah Nenek sebagai isyarat untuk menunggu sejenak.
"Haha, oke! Di telan dulu baru menjawab, cucuku tersayang."
Kakek dan Bunda pun ikut terbahak. Mereka semua tahu bahwa dengan menyediakan brownies, bisa menenangkan hatiku. Mau sedang sedih atau ngambek seperti apa pun. Pasti segera hilang setelah menyantapnya.
"Mau minum, Nak? Ini." Bunda mengangsurkan air dalam gelas ke arahku.
Aku menelan gigitan brownies terakhir yang telah kulumatkan dalam mulut. Segera kutelan dan kuambil gelas dari tangan Bunda. Setelah meneguk beberapa kali, kukembalikan lagi gelas ini pada Bunda.
"Makasi, Bunda. Makasi, Nenek. Makasi, Kakek. Endit sudah kenyang dan bahagia lagi."
Kakek tertawa dan mengacak rambutku. Hatiku menjadi semakin tenang saat melihat ruangan ini sudah penuh tawa dan senyum kembali. Perlahan aku bisa melupakan rasa trauma karena kejadian menegangkan tadi.
"Kek, sekarang Endit jadi teringat pada ucapan Kakek ke Bunda. Ternyata yang hadir di dalam mimpi tadi siang adalah benar si ular siluman. Jadi, kehadiran wanita ular itu bukanlah sekedar bunga tidur." Aku berkata sambil melap mulutku dengan tisu.
"Wallahu alam, Endit. Bisa jadi memang jin yang berwujud siluman ular hadir dalam mimpimu. Tapi, bisa juga mimpi tadi siang sebagai peringatan dari Allah agar kita lebih waspada. Allah mengingatkan sebelum ular siluman tadi benar-benar muncul di sini. Karena hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu. Kita hanya bisa melalui semua peristiwa dengan tetap beriman pada Allah."
"Iya, ya, Kek. Endit juga tidak menyangka kalau ular tadi ternyata si ular siluman. Saat dia menegakkan kepala, Endit lihat ada lingkaran kuning di atas kepalanya. Membuat Endit teringat pada wanita siluman ular dengan mahkota di atas kepalanya. Maka dari itu, Endit segera berusaha untuk mengingat kembali doa yang pernah diajarkan oleh Ustadzah Azizah. Saat sudah bisa mengingat, Endit spontan mengambil bambu kuning dan memukul ular itu."
"Kakek salut dengan keberanianmu, Nak. Sebenarnya Kakek sangat khawatir jika ular itu balik arah dan menyerangmu. Alhamdulillah, Allah melindungimu. Andai saja ular tadi bukan siluman, pasti dia tak akan menghilang tanpa bekas. Akan tetapi, ular itu bisa mengejarmu karena merasa diusik."
"Iya, ya, Kek. Endit tadi langsung menangis begitu melihat ular itu menghilang. Endit tidak menyangka kalai siluman ular di rumah dinas Bunda, bisa mengikuti kami sampai ke Kota Pontianak. Bagaimana caranya dia berpindah tempat, Kek? Apakah ular itu ikut masuk dalam tas Endit atau Bunda?"
Aku bertanya sambil bergidig ketakutan. Di pikiranku terlintas bayangan ular siluman itu lagi. Aku berada dalam dilema, tiap kali membahasnya. Akan tetapi, rasa penasaran mendera otakku jika terus menyimpan tanya.
"Makhluk gaib itu tidak terbatas dimensi ruang, Nak. Seperti Kakek bilang dulu saat menjelaskan pada Bundamu. Dia bisa memilih akan menampakkan diri kapan saja dengan ijin Allah." Kakek menjelaskan padaku sambil mengelus lembut kepalaku.