HIJRAH

1013 Kata
Aku pun menceritakan ulang semua kejadian tadi. Kakek dan Nenek sangat tegang saat mendengar ceritaku. Mereka beberapa kali mengucapkan istighfar. "Menurut Kakek, kita harus mempercepat keberangkatan ke Jogja. Siluman itu masih saja berusaha mengganggu Endit di sini." "Kek, apa sudah pasti siluman itu tak akan mengikuti Endit ke Jogja?" Kakek menghela napas panjang. "Memang tidak bisa dipastikan. Hanya saja dengan Endit segera berangkat, berarti semakin cepat mulai belajar. Mungkin dengan menguatkan fondasi dalam dirimu, bisa membuatmu mampu melawan jika bertemu lagi dengan si ukar siluman." "Endit paham, sekuat apa pun Pak Saibani dan Kakek membuat pagar di rumah ini dengan air yang sudah di rukyah. Tapi, si ular masih berani menunjukkan diri dan mencoba mempengaruhi pikiran Endit dengan memanggil untuk ikut dengan dia. Maka yang harus diperkuat adalah Endit sendiri. Harus mulai menimba ilmu agar kuat melawan jika ular siluman itu berusaha menguasai pikiranku." "Betul. Bukankah Allah juga mengatakan, tidak akan merubah nasib suatu kaum jika tidak kaum itu merubah nasibnya sendiri. Jadi kunci untuk melawan ancaman dari si ular siluman. Maka Endit yang harus menyiapkan diri untuk mampu melawannya. Endit siap?" Aku mengangguk. Hatiku sudah mantap untuk hijrah dan menimba ilmu di sana. Aku tak ingin hari-hari keluargaku terus berada dalam ketakutan. Kakek segera bangkit dan keluar dari kamar. Tak berapa lama, kembali masuk dan berkata, "Lusa kita berangkat. Besok pagi Ustadzah Azizah dan Pak Saibani yang akan mencarikan tiket untuk kita." "Alhamdulillah. Bapak habis menelepon Pak Saibani, ya?" Nenek bertanya sambil berdiri. "Iya, Bu. Bapak ceritakan sekilas kejadian yang dialami Endit tadi. Beliau juga setuju kalau kita semakin mempercepat keberangkatan. Hanya untuk memastikan tak ada lagi barang atau dokumen yang tertinggal, tentu lebih baik kita sediakan waktu sehari lagi untuk berkemas." Nenek mengangguk mendengar penjelasan Kakek. Lalu menepuk bahuku dan berkata, "Nenek berkemas dulu. Kamu dan Bunda juga mulai berkemas, ya, Endit." "Iya, Bu. Nur akan mulai dengan memeriksa daftar barang dan dokumen yang harus dibawa. Kebetulan kemarin Nur sudah menulis apa saja yang harus Nur dan Endit bawa untuk pindah." "Alhamdulillah. Kamu memang selalu teliti dan terorganisir, Nur. Ibu senang melihatmu. Tampaknya ikhlas menjalani kepindahan ke Jogja." Bunda tersenyum lalu menjawab, "Nur tidak ingin menyusahkan Ibu dan Bapak lagi. Inginnya membuat tersenyum bahagia, bukan tangisan seperti kemarin." "Ibu dan Bapak akan tersenyum bahagia kalau kamu dan Endit bahagia. Maka buatlah dan pilihlah jalan yang membuat kalian bahagia." Sepanjang malam hingga menjelang tidur, aku membantu Bunda berkemas. Aku mencentangi catatan, sedangkan Bunda memasukkan barang ke dalam koper. Lalu bergantian, aku yang memasukkan barang-barangku ke dalam koper dan travel bag, Bunda yang mencentangi catatan. Barang-barangku dan Bunda memang masih banyak yang ada di rumah dinas. Akan tetapi, aku dan Bunda tak mengindahkan lagi. Karena kami tak mungkin mengambil resiko untuk kembali ke Desa Sungai Ampar. Pertemuan antara Bunda dan Ayah harus dihindarkan dulu. Bagaimana pun kecurigaan Nenek bahwa Bunda selama ini berada dalam pengaruh Ayah, tidak bisa dianggap angin lalu. Aku tidak ingin hijrah kami gagal. Maka, aku dan Bunda hanya membawa semua pakaian yang ada di rumah Kakek dan Nenek. Untung saja, kami menyimpan cukup banyak pakaian dan buku-buku bacaan di kamar ini. Jika ada yang diperlukan lagi, Bunda bilang akan dibeli setelah tiba di Jogja. Akhirnya hari yang ditunggu telah tiba. Aku, Bunda, Kakek, dan Nenek sudah bersiap di ruang tamu. Koper dan barang yang akan dibawa ke Jogja sedang dimasukkan ke dalam mobil oleh Bang Pardi dan Mbak Etik. Karena mobil penuh dengan barang bawaan, Kakek sudah minta bantuan pada mantan supir kantornya sejak semalam. Kami akan terpisah mobil. Kakek bersama mantan supir membawa barang-barang dan check in. Sedangkan aku, Bunda, dan Nenek akan memakain mobil Kakek diantar oleh Bang Pardi dan Mbak Etik. Pak Saibani dan Ustadzah Azizah akan bertemu dengan kami di bandar udara Supadio. Aku sudah tak sabar melakukan perjalanan ini. Pasti akan sangat menyenangkan, seperti sedang liburan keluarga. "Endit, minum obat anti mual dulu, ya! Kamu kan biasanya mabuk darat." Bunda mengangsurkan air putih dalam botol dan sebutir pil. Aku menerima pil itu dan segera menelannya. Jangan sampai perjalananku terganggu dengan mabuk udara. "Ayo, kita berangkat sekarang! Pardi, jangan lupa kunci pintunya dicabut. Kompor sudah dimatikan, Tik?" Kakek mengingatkan Bang Pardi dan Mbak Etik. "Sudah, Pak." Mbak Etik menjawab pertanyaan Kakek. "Ya, Pak. Diperiksa dulu, ada yang ketinggalan tidak Pak, Bu, Mbak, dan Endit?" Bang Pardi ganti mengingatkan kami. "Insyaallah sudah terbawa semua." Bunda menjawab. "Iya, usahakan yang tertinggal hanyalah kenangan." Mbak Etik ikut menimpali. Kami tertawa terbahak mendengar ucapan Mbak Etik. Dia mengatakan ucapan itu dengan ekspresi wajah datar. Malah menambah kelucuannya. Kami pun mulai memasuki mobil. Aku duduk di belakang Bang Pardi. Di sebelahku ada Bunda dan Mbak Etik. Nenek duduk di depan. Mobil yang membawa Kakek dan barang-barang mulai meninggalkan halaman. Bang Pardi mengikutinya perlahan setelah mengunci pagar. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencoba merekam semua kondisi di sekitar. Entah kapan lagi aku akan kembali ke sini. Karena itu, kutatap lingkungan di sekitar rumah Kakek dan Nenek. Ingin kurekam dengan baik dalam ingatan. Semoga saat aku kembali ke rumah Kakek dan Nenek keadaan sudah lebih aman. Tak ada lagi teror ular siluman. Hingga hidup kami di sana lebih tenang. Aku juga sudah memiliki bekal. Untuk kembali ke Desa Sungai Ampar. Aku harus menyadarkan Ayah bahwa jalannya selama ini bersekutu dengan jin adalah jalan yang salah. Aku pun harus mengembalikan akidah masyarakat Desa Sungai Ampar. Mereka harus paham bahwa yang selama ini mereka lakukan tak sesuai dengan ajaran agama. Mereka mempercayai dukun, sama saja menyekutukan Tuhan. "Endit, kok melamun?" Suara Nenek membuyarkan pikiranku. "Endit sedang berandai-andai. Seperti apa kondisi ideal yang ada dalam bayangan Endit. Saat kembali lagi ke rumah Kakek dan Nenek nanti." Aku menjawab sambil tersenyum malu. "Bagus sekali! Tulislah angan terbaik. Kerahkan segenap usaha untuk menggapainya. Jangan lupa mohon kemudahan pada Allah untuk mencapai semua anganmu. Doa dan restu Nenek, Kakek, dan Bunda akan mengiringi langkahmu, Sayang." Nenek menoleh dan memandangku dengan lembut. Bunda segera memeluk tubuhku. Rasa haru menyelinap dalam hati. Begitu banyak dukungan cinta dari mereka. Semua ini akan menjadi penguat tekadku. Aku harus berusaha menimba ilmu. Agar anganku terwujud. Ada tanggung jawab besar yang kupikul.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN