KEBERUNTUNGAN

1013 Kata
Pagi ini aku bangun dengan penuh semangat. Rasanya hari-hari akan terus berjalan semakin ceria. Segala rasa takut, tertekan, dan khawatir sepertinya sirna. Padahal saat ini aku masih berada di Pontianak. Akan tetapi, aku sudah merasa semakin bersemangat hendak menjalani hari-hari baru bersekolah di Jogja. Aku harap semua berjalan lancar agar kami semua segera hijrah ke tempat dan lingkungan yang baru. Bunda dan Kakek sudah berangkat sejak jam 8 pagi. Selepas sarapan bersama dengan aku dan Nenek. Mereka akan bertemu dengan Pak Saibani setelah mengambil salinan dokumenku di dinas. Kakek dan Pak Saibani akan mematangkan rencana keberangkatan. Memastikan tanggal mulai masuk ke sekolahku yang baru. Lalu menentukan kapan waktu keberangkatan kami. Terdengar suara pintu diketuk dan didorong. Wajah Nenek yang tersenyum manis muncul di balik daun pintu. Aku balas senyumannya sambil memanggil, "Nenek, kangen, ya, sama Endit. Pake nyusulin ke kamar." Nenek tertawa dan menjawab, "iya, dong. Sama cucu tersayang pasti selalu membuat Nenek kangen. Temani Nenek nonton berita di televisi, yuk! Tidak seru nonton sendirian." Nenek berbicara sambil tetap berdiri di balik pintu. Aku tertawa dan segera bangkit dari kasur. Berjalan mendekat pada Nenek. "Nenek manja, pantes aja Endit juga manja." Kami tertawa bersama. Lalu berjalan bergandengan tangan menuju sofa. Televisi sudah menyala dan menayangkan berita. Aku duduk di sebelah Nenek. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Aku pun merubah posisi membaringkan kepalaku di pangkuannya. "Nenek, bikin Endit ngantuk. Kalau Endit beneran tidur dibangunin aja, ya. Nanti kaki Nenek jadi kesemutan dijadikan bantal begini." "Nih, pake bantal beneran aja. Kepalanya di sana, kakinya yang Nenek pangku. Kan lebih ringan." "Gak mau, nanti gak sopan kasi kaki ke Neneknya." Aku menolak tawaran Nenek. "Eh, gak apa. Ini kan karena Nenek yang minta. Sopan saja. Kecuali kalau Endit tiba-tiba menjulurkan kaki ke arah Nenek." Aku menggeleng dan menjawab, "Endit mau ambil bantal saja. Sebentar, ya, Nek." Aku bergegas bangun dan hendak mengambil bantal di dalam kamar. Saat sedang menuju kasur, sekilas aku mendengar suara desisan. Seketika bulu kudukku meremang. Aku menghentikan gerakan dan berusaha untuk konsentrasi mendengarkan. Suara itu terdengar semakin jelas. Segera aku mensejajarkan diri dengan lantai. Lalu menoleh ke segala penjuru. Mencoba mencari asal suara. Akan tetapi, aku tak melihat pemilik suara desisan itu. Segera aku berdiri kembali dan berjalan perlahan. Menelusuri ke segala penjuru kamar. Sesungguhnya aku takut. Bagaimana kalau tiba-tiba ular itu muncul di hadapanku. Padahal saat ini, aku hanya seorang diri. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku berjalan sambil memeluk diriku sendiri. Aku merinding dan sangat cemas. Tapi, rasa penasaran membuat keberanian membara dan mampu memberi kekuatan pada kakiku untuk terus melangkah. "Audzubikalimati tammah min syarri maa khalaq." Aku berjalan perlahan sambil terus membaca doa itu berulang kali. Mataku terus memperhatikan semua sudut ruangan. Saat sedang melintasi jendela. Aku merasa bahwa suara desisan itu semakin jelas. Segera aku menoleh ke arah jendela. Bagaikan terhipnotis, aku berjalan mendekati kaca. Padahal nampak jelas seekor ular sedang menempel di sana. Hati dan pikiranku berperang, ingin menghentikan kaki ini meneruskan langkah. Akan tetapi, entah mengapa tetap tak mampu mengontrol. Aku terus mendekat hingga hanya berjarak selangkah lagi dari ular itu. Suara desisan semakin jelas di telingaku. Darahku berdesir melihat lidah ular itu menjulur, bagaikan sedang mengejekku. Lalu dia menjilati permukaan kaca jendela. "Endit... ikut aku... ikut aku... ikut aku...." Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, aku kembali mengangkat kaki. Hendak melangkah lagi agar semakin dekat dengan ular itu. Sesungguhnya aku sedang berperang, hatiku mengatakan tidak. Akan tetapi, kakiku terus bergerak maju. "Endit!" Sebuah tarikan di bahu menahan tubuhku. Sekaligus membuat hatiku memenangkan peperangan itu. Seketika ular di hadapanku menghilang dari pandangan. "Kamu ngapain ambil bantal saja lama sekali, Nak? Malah berdiri di dekat jendela." Bunda bertanya sambil tetap memegang pundakku. Aku mengucap istighfar dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Lalu aku menunjuk ke arah kaca jendela dengan tangan kananku. "Tadi ular itu menjilati kaca jendela, Bun." "Ular itu? Ular siluman maksudmu, Nak?" Aku menganggukkan kepala. Wajah Bunda berubah menjadi cemas. Aku usap pipinya perlahan. "Bun, makasi tadi sudah memanggil Endit. Rasanya ular itu mengendalikan gerakan tubuh Endit. Hingga kaki ini terus saja berjalan, walaupun hati dan pikiran Endit menolak dan sebenarnya sangat ketakutan melihat ular." Bunda mengelus lembut kepalaku. Lalu mengecup lembut keningku. "Ya, Allah. Alhamdulillah. Allah masih melindungi kamu, Nak." "Alhamdulillah, Bun." Aku menarik tangan Bunda mengajaknya duduk di atas kasur. Ingin meneruskan cerita tentang kejadian tadi. Tapi, kakiku gemetar karena masih ada rasa takut yang tersisa. "Bunda ambilkan minum, ya, Nak." "Gak usah, Bun. Aku ditemani saja dulu. Masih ada yang mau Endit ceritakan." Bunda menatap ke mataku dalam-dalam. Dahinya berkerut. "Ada yang belum kamu ceritakan, Nak?" Aku menganggukkan kepala. "Jadi tadi itu, Bun, pas Endit mau ambil bantal. Tiba-tiba terdengar suara desisan. Endit penasaran dari mana asalnya. Berusaha cari sambil berjongkok dan mengamati seluruh ruangan. Gak terlihat ada benda yang bisa diduga sebagai asal suara." Aku menelan ludah dan memberi jeda sejenak. Bulu kudukku kembali meremang jika mengingat kejadian tadi. Wujud ular siluman itu menari-nari dalam ingatanku. "Saat Endit sedang mencari itu kan melintas di dekat jendela. Nah, suara desisan ular semakin keras! Endit menoleh dan bagai dihipnotis berjalan menuju jendela. Padahal jelas-jelas ada ular itu di sana. Dia menjulurkan lidahnya dan menjilati kaca jendela. Hii... menceritakan aja, Endit masih merinding, Bun." Bunda memeluk tubuhku dan menepuk-nepuk bahuku. Aku mengucapkan istighfar. Lalu meneruskan kembali ceritaku. "Saat tubuh Endit hanya tinggal selangkah lagi dari jendela. Kedengeran suara Bun." "Suara? Suara siapa?" Aku mengangkat kedua bahu dan menjawab, "ya, gak bisa memastikan juga suara siapa. Kalau menurut Endit, itu suara ular siluman." "Hah! Ularnya bilang apa, Nak?" "Endit... ikut aku... ikut aku... ikut aku...." "Huaaa!" Bunda menjerit lalu memelukku kencang. "Ya, Allah. Bunda takut, Nak. padahal hanya diceritakan ulang. Ya Allah, lindungilah Endit dan kami semua. Aamiin." Pintu kamar tiba-tiba dibuka. Kakek dan Nenek masuk ke dalam kamar dengan tergopoh. Kakek bertanya, "ada apa? Kok, teriak-teriak, Nur?" "Ya, Allah. Nenek dan Kakek buru-buru lari ke sini. Sampai deg-degan. Ada apa, Nur? Endit?" Kakek dan Nenek bertanya dengan napas yang masih memburu. Aku menarik lengan mereka berdua dan mengajak untuk ikut duduk di kasur bersamaku dan Bunda. Lalu aku ceritakan kembali semua kejadian tadi pada Kakek dan Nenek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN