CERIA

1096 Kata
Aku teringat bahwa rumah ini beberapa kali diteror oleh ular. "Kek, kalau ular siluman itu apa juga bisa berantem dan dikalahkan oleh biawak?" Kakek menoleh padaku sambil tersenyum. "Biarpun ular itu siluman, saat dia menampakkan diri itu adalah saat yang tepat melumpuhkannya. Karena dia berada dalam kondisi lemah. Energi terkuras untuk mewujudkan diri pada manusia. "Wow, begitu rupanya! Nah, dibawa ke rumah ini saja, Bang Pardi. Biar dia tarung kalau ularnya muncul." Aku berkata dengan sangat bersemangat. "Tuh, Tik. Berguna juga kan hewan piaraanku. Kau jangan ngomel terus." Bang Pardi mencoba merayu istrinya. Aku tertawa melihat Mbak Etik hanya diam, tapi memuncungkan bibirnya. Mereka memang pasangan yang kocak. Tidak seperti Ayah dan Bunda yang serius. "Eh, iya. Endit baru ingat. Nenek sudah cerita belum ke Kakek kalau tadi ada Ayah datang?" Raut wajah Kakek dan Bunda berubah dari ceria menjadi tegang. Aku segera menyadari bahwa Nenek belum bercerita ke Kakek. Segera aku menutup mulutku dengan kedua tangan. "Oh, maaf, ya, Nek. Mestinya Nenek duluan yang menceritakan. Endit keceplosan." Aku meringis sambil menatap pada Nenek. "Gak apa, Nak. Nenek menunggu waktu yang tepat untuk membahas dengan Kakek. Mungkin sekarang saatnya kita membahas yang berat. Tadi seharian sudah istirahat, ya, Kek. Sudah segar lagi, kan? Sudah makan juga sekarang." Kakek mengangguk sambil tersenyum. Aku memilih tetap diam. Nenek kembali berbicara. "Tadi sewaktu hanya ada Nenek, Endit, dan Etik di rumah ada suara bel. Sewaktu diintip sama Etik, ternyata Ayahnya Endit. Dia pencet bel berulang kali. Sebenarnya kesal mendengarnya. Tapi, kalau dibukakan pintu malah takut dia membahayakan jiwa kami." "Benar, jangan sekali-kali buka pintu rumah kalau ada dia datang lagi. Tadi Pardi ke mana?" Kakek bertanya sambil mengerutkan dahi. "Memberi makan piaraanmu?" Belum sempat Bang Pardi menjawab, Kakek sudah menduga. "Eh, Hmm, iya, Pak." Bang Pardi menjawab sambil menahan takut. "Besok lagi jangan tinggalkan para perempuan di rumah ini kalau saya tidak ada di rumah. Lebih baik diajak semua, atau ditunda perginya sampai saya kembali." Aku menahan tawa mendengar ucapan Kakek. Bang Pardi tersenyum kecut sambil menggaruk kepala. Kakek ada-ada saja. "Tadi itu Etik oper tingking. Gimana kalau sampe Ayahnya Endit memanjat pagar dan mendobrak pintu. Etik terpaksa harus mengeluarkan lagi jurus. Seperti saat membantu Bunda melawan penjahat dulu." "Apa, Tik? Gayamu. Apa itu oper tingking?" Nenek bertanya sambil tertawa terkekeh. "Itu, lho, Bu. Bahasa kekinian. Terlalu khawatir artinya. Oper tingking bahasa inggrisnya." "Hmm, ya, ya. Gak sia-sia Bapak dan Ibu sekolahkan kamu sampai tamat, ya. Inggrismu bagus." "O, ya. Jelas! Siapa dulu, Etik!" Aku tertawa ngakak. Ya, Allah. Suasana rumah ini begitu hangat dan penuh canda lagi. Inilah yang aku rindukan. Setelah tekanan dan ketegangan selama di Desa Sungai Ampar, di rumah inilah aku merasakan kebahagiaan. Sayangnya kemarin sempat dirusak oleh kemunculan si ular siluman dan oleh masalah antara Bunda dan Ayah. "Kek, bagaimana langkah kita selanjutnya? Kemarin, kan, baru sampai ke rencana kepindahan Endit ke Jogja. Tadi sudah mengurusi salinan dokumen. Terus?" Kakek menoleh ke arahku. "Bunda sudah cerita belum kalau tidak bisa segera pindah kerja? Jadi Bundamu ambil cuti besar." "Iya, sudah, Kek." Aku menjawab sambil menganggukkan kepala. "Selama cuti besar Bunda mengantarkanmu ke Jogja. Sambil mencari peluang Dinas mana yang akan menerimanya di sana. Kebetulan Kakek sudah dibantu Pak Saibani juga. Jadi sebetulnya tinggal memastikan saja." "Alhamdulillah." Aku dan Nenek serempak mengucapkan hamdalah mendengar ucapan Kakek. "Pak, sebentar. Ini selamanya, ya, pindah semua ke Jogja?" Bang Pardi tampak kebingungan. "Yang pindah hanya Endit dan Nur saja. Hijrah. Biar meninggalkan semua keburukan semasa di Desa Sungai Ampar. Yang dibawa hanya yang baik-baik saja dari sana." Kakek menjelaskan sambil tersenyum berwibawa. Aku paling senang melihat Kakek seperti ini. Ganteng dan gagah, tak luntur walau pun telah lanjut usia. "Alhamdulillah. Pardi sedih kalau Bapak dan Ibu juga pindah. Bapak dan Ibu sudah seperti orang tua kami sendiri." "Etik juga sedih pisah dengan Endit dan Bunda. Tapi, kalau masih ada Bapak dan Ibu di sini. Masih ada kemungkinan ketemu lagi. Pasti sering mudik ke Pontianak, kan? Jadi kita bisa ketemu lagi." "InsyaAllah, Mbak." Bunda dan aku menjawab serempak. "Nanti Pardi dan Etik bisa ikut kami menengok Endit dan Bunda di sana. Kalau sudah dapat rumah baru, ya. Bantu merapikan." Bang Pardi dan Mbak Etik membelalak. Mata mereka berbinar mendengar ucaoan Nenek tadi. Mereka tamoak sangat bahagia. "Ya, Allah. Serius ini, Bu? Bang, kita mau diajak ke Jogja juga. Naik pesawat, Bu?" "Bukan, naik gethek." Aku menyela sambil tertawa. Senang rasanya menggoda Mbak Etik dan Bang Pardi. "Insyaallah. Doakan kami sehat dan panjang usia dalam keberkahan Allah. Agar bisa mengajak kalian berdua naik motor mabur ke Jogja." Kakek berkata sambil tersenyum. "Duh, naik motor kapan sampai, Pak? Apalagi naik gethek seperti Endit bilang tadi." Semua tertawa terbahak mendengar ucapan Mbak Etik. Perutku sampai sakit bolak balik tertawa. Malam ini sangat bahagia hatiku. "Motor mabur itu bahasa jawa, Mbak. Artinya pesawat. Insyaallah pemanasan dulu naik pesawat 1 jam lebih ke Jogja dari Jakarta. Lalu berhenti sejenak sambil bisa jalan-jalan di dalam bandara. Habis itu terbang lagi ke Jogja selama 1 jam." "Oh 2 kali naik pesawat?" "Iya, namanya transit. Selama tidak ada pesawat ke kota yang kita tuju. Bisa berhenti dulu di kota lain, yang ada koneksi penerbangan ke kota tujuan kita. Namanya transit. Nanti kalau mau berangkat umrah atau haji juga seperti itu. Berhenti di Jakarta atau Batam, baru menuju Arab Saudi, di kota Jeddah." "Ke jogja saja nunggu diajak Bapak dan Ibu. Apa bisa berangkat umrah atau haji yang lebih jauh dan mahal biayanya." "Eh, gak boleh pesimis. Mesti semangat dan bercita-cita setinggi mungkin. Sambil terus berdoa. Semoga Allah ijabah dan mudahkan jalan Mbak Etik dan Bang Pardi menunaikan ibadah haji dan umrah." "Aamiin." Semua yang ada di ruangan ini serempak mengamini ucapan Bunda. "Bun, kayaknya Bunda beda, deh." "Beda gimana, Endit?" "Bunda lebih ceria dan banyak bicara. Biasanya Bunda pendiem dan murung." "Apa iya? Ada-ada saja kamu, Nak." Bunda tertawa menanggapi ucapanku. "Bener, lho! Tidak seperti biasanya, Bun." "Bunda itu ceria karena rahasia yang selama ini Bunda simpan rapat, sudah terbuka. Alhamdulillah semua memberi dukungan pada Bunda. Dulu Bunda sangat khawatir membuat Kakek dan Nenek sedih. Lalu disalah-salahkan." Bunda memberiku jawaban atas perubahan pada dirinya. Lalu dia meneruskan lagi ucapannya. "Dulu Bunda takut kalau harus berpisah dengan Ayahmu. Takut memikirkan jalan di depan yang belum pasti. Bagaimana sekolahmu, bagaimana pekerjaan Bunda, dan paling takut membuat Kakek dan Nenek repot. Tapi, ternyata...." "Ternyata itu semua hanya ketakutan Bunda sendiri. Allah memudahkan semua jalan Bunda dan semua keluarga mendukung. Termasuk Etik dan Bang Pardi." Mbak Etik menyambung ucapan Bunda. Aku tertawa mendengarnya. Bunda menganggukkan kepala sambil mengacungkan jempol. Mereka berdua memang sangat dekat, bagai kakak adik. Hingga sudah saling memahami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN