KEBAHAGIAAN

1065 Kata
Di dalam rumah, Nenek langsung mengajak Kakek membersihkan diri di dalam kamar. Tangan dan celananya kotor karena terduduk di halaman. Untung saja Kakek tidak cedera setelah terjatuh. Aku memilih tetap duduk di sofa sendirian. Bunda sedang berganti pakaian di dalam kamar. Tak lama Mbak Etik mendekat sambil nembawa nampan. Dia berjongkok dan menurunkan cangkir berisi kopi dan teh. "Terima kasih, Mbak. Sebelum Endit sampai di dekat Mbak Etik, sebenarnya apa yang terjadi tadi?" Aku masih penasaran karena tadi semua menjadi terfokus membantu Kakek masuk. "Tadi itu, Mbak Etik kan lari membuka kunci gembok di pagar. Setelah mobil Kakek masuk, mengunci lagi. Begitu balik badan, Kakek dan Bunda baru saja turun dari mobil. Eh, Mbak Etik lihat ada ular yang melata dengan cepat mengejar kaki Kakek. Langsung teriak, memperingatkan Kakek." "Ya, Allah. Alhamdulillah Mbak Etik langsung teriak." Aku benar-benar mensyukuri spontanitas Mbak Etik. "Alhamdulillah. Allah melindungi, Kakek juga hebat langsung lompat dan menoleh. Jadi bisa menghindar, cuma Kakek terjengkang karena sudah lanjut usia kali, ya. Kakinya sudah tidak kuat. Nah, mantap lagi, Bundamu. Langsung sigap mengambil bambu kuning yang tersandar di pohon dan mengusir ular itu." "Masyaallah. Alhamdulillah. Allah melindungi kita semua. Terus ularnya lari, Mbak?" Belum sempat Mbak Etik menjawab, Bunda sudah menepuk pundaknya. "Mbak, aku bisa minta tolong buatkan mie goreng? Laper banget. Seperti biasa, ya." "Oke. Mbak Etik ke dapur dulu. Endit mau sekalian, gak?" Aku menjawab dengan anggukan sebelum Mbak Etik meninggalkan kami. "Alhamdulillah." Bunda mengucap syukur sambil menyandarkan punggung di sebelahku. "Capek, ya, Bunda? Endit pijat punggungnya, ya." Bunda menarik telapak tanganku yang sudah menempel di bahunya. Dia tersenyum sambil menggeleng. "Gak usah, Nak. Temani Bunda duduk saja di sini. Sudah membuat capek Bunda hilang." Aku tertawa mendengarnya. "Ada-ada saja, Bunda. Gimana urusan dokumennya tadi? Lancar semua, Bun?" "Alhamdulillah, Nak. Allah memudahkan semua urusan kita. Dokumen akta kelahiran dan kartu keluarga punya Endit, salinannya sudah bisa diambil besok. Sedangkan untuk kepindahan Bunda, prosesnya panjang." "Alhamdulillah. Jadi Endit bisa segera ke Jogja, ya? Tapi, gimana jadinya mengenai pekerjaan Bunda?" "Tadi Kakek dan Bunda dikasi dua pilihan, selama proses pindah selesai mau tetap bekerja di Desa Sungai Ampar. Kakek dan Bunda menolak. Akhirnya diberi pilihan kedua. Bunda mengajukan cuti besar sambil menunggu proses pindah selesai." Aku mengernyitkan dahi, tak memahami apa yang Bunda ceritakan. "Cuti besar itu apa, Bunda?" "Hmmm..." Bunda menoleh sambil menghentikan gerakannya yang sedang mengangkat cangkir. "Minum dulu, Bun. Jawabnya nanti." Aku tertawa pada Bunda. Segera aku raih remot televisi di meja. Aku mencari acara televisi favoritku. "Nonton berita saja, mau gak? Mana tahu ada berita tentang Jogja. Biar Endit ada gambaran seperti apa kota tempat tinggal kita nanti." Aku mengangguk dan mencari chanel berita. "Itu Bun." Bunda tak menjawab hanya mengangguk. "Oh, ya. Tadi Endit tanya apa sebelum Bunda minum? Cuti besar?" "Iya, Bun." Aku menjawab sambil menatap ke mata Bunda. "Cuti besar itu cuti salah satu jenis cuti yang menjadi hak pegawai negeri seperti Bunda. Pengajuannya sampai ke kepala daerah, tidak hanya sampai ke kepala dinas. Waktu cutinya panjang, bisa tiga bulan." "Wow, lama, Bun. Sampai tiga bulan. Alhamdulillah. Asyik!" Aku berseru sambil bertepuk tangan. "Asyik buat Bunda dan kamu, Nak. Karena Alhamdulillah masih ada uang tabungan. Orang lain banyak yang tidak mengambil cuti besar itu. Karena selama menjalani cuti besar, gajinya tidak dibayarkan penuh. Hanya gaji pokok saja. Jadi pendapatan bulanan berkurang jauh." Bunda menjelaskan sambil tersenyum. Mbak Etik memasuki ruangan sambil membawa nampan. Harum aroma mie goreng yang menggoda membuat liurku terbit. "Makasi, Mbak Etik. Ya, Allah. Baunya menggiurkan. Endit makan sekarang." "Sama-sama, Endit. Iya, enak langsung dimakan. Kalau sudah dingin nanti gak enak." Mbak Etik mengulurkan piring padaku. "Makasi, ya, Mbak Etik." "Sama-sama, Bun. Yok, dihabiskan setelah itu istirahat!" Bunda menganggukkan kepala sambil tersenyum. Mbak Etik membalas senyuman dan berlalu menuju dapur. Aku dan Bunda segera menyantap mie goreng. Kami makan dengan lahap. Tak ada sepatah kata pun berucap. Fokus menikmati lezatnya mie goreng buatan Mbak Etik. Selesai makan dan menghabiskan minuman, Bunda bersandar lagi di sofa. Matanya terpejam. Aku segera memindahkan saluran televisi ke acara kartun favoritku. Aku menahan tawa setiap melihat adegan lucu di televisi. Bunda tertidur. Aku tak ingin membangunkannya. Tak lama Bunda terjaga, lalu mengajakku tidur di kamar. Aku pun mematikan televisi. Segera mengikuti Bunda masuk ke dalam kamar. Seharian itu kami beristirahat dan tak membahas hal yang serius. Aku pikir Bunda pasti lelah setelah mengurus dokumen dengan Kakek. Jadi aku pun berbicara yamg ringan saja. Selepas salat Isya, kami makan malam bersama. Kakek meminta Mbak Etik dan Bang Pardi makan bersama kami. Suasana makan menjadi semakin hangat karena jumlah keluarga bertambah. "Tik, Di, Bapak mau titip rumah." Kakek berbicara sambil meletakkan gelas yang telah dihabiskan isinya. "Titip rumah? Bapak mau ke mana?" Bang Pardi bertanya dan mengurungkan gerakannya mengangkat piring. "Bapak dan Ibu mau mengantarkan Endit dan Nur ke Jogja. Untuk sementara kami tinggal di sana dulu, sampai semua tertata. Endit sudah betah di sekolah dan Nur sudah dapat kantor serta rumah baru." Bang Pardi dan Mbak Etik menganggukkan kepala. Lalu saling memandang. "Kita tidur di sini, Bang. Itu si piaraanmu dijual saja. Nanti repot kalau bolak-balik ngasi makan." Aku tertawa melihat Bang Pardi menggaruk kepalanya. Wajahnya tampak gusar mendengar ucapan Mbak Etik. Kakek, Nenek, dan Bunda pun tertawa. "Dengar itu ucapan istrimu, Di. Bukan hanya istri yang harus minta ridho suami. Sebenarnya suami pun semestinya komunikasi sama istri dulu. Biar tidak menyimpan rasa kesal. Kasian itu Etik, mangkel dan gondok." Nenek berkata menguatkan ucapak Mbak Etik. Aku kebingungan mendengar ucapan Nenek. "Memangnya Bang Pardi piara hewan apa? Kok Mbak Etik tidak suka?" "Piara Biawak, Endit. Bayangkan. Makanannya saja daging. Ngabisin duit banyak." Mbak Etik bercerita sambil emosi. Nenek, Kakek, dan Bunda tertawa lagi. "Astaghfirullah. Aneh-aneh aja. Biawak itu yang mirip seperti buaya bukan, Mbak?" Aku melotot saking terkejutnya. Tapi tetap memastikan lagi hewan yang dimaksud apakah sesuai dengan bayanganku. "Iya, biar pun ukurannya kecil tetap saja Mbak Etik ngeri melihatnya." "Lha, kenapa juga beli biawak buat dipelihara? Kok tidak kucing saja, seperti si Mpus?" Aku berkata sambil geleng-geleng kepala. Masih keheranan dengan jenis hewan piaraan Bang Pardi. "Itu gak beli, Endit. Pas lagi bersihkan halaman belakang rumah kami, tiba-tiba melihat ada biawak kecil. Abang tangkap jadinya. Buat peliharaan. Biar Abang tidak takut lagi kalau ketemu ular. Kan ada biawak yang bisa melawan ular, bukan Abang." Aku tertawa geli mendengar penjelasan Bang Pardi. "Bagus juga itu. Biawaknya jadi pengawal di rumah ini. Jadi kalau ada ular biar dia yang lawan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN